Pengunjung

free counters

Sunday, December 23, 2012

Riwayat Sidharta Gautama I



Pengantar
Kisah kehidupan Sidharta Gautama atau lebih dikenal dengan Sang Buddha atau Buddha Gotama atau Samana Gotama atau Sang Bhagava ini diambil dari beberapa sumber diantaranya Dhammacakka, Info Buddhis, Samaggi-Phala, dan Bhagavantisi. Namun demikian, untuk memperkaya khazanah, didalamnya terdapat tambahan yang diambil dari [i]. Demikian pengantar ini semoga memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kota KapilavatthuKisah ini merupakan kisah hidup Pangeran Siddhartha, yang hidup lebih dari 2.500 tahun yang lampau. note: Berdasarkan pada tulisan Stephen Knapp (Excerpt from Proof of Vedic Culture's Global Existence), terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa masa kehidupan Sidharta Gautama tidak-lah di kisaran tahun 500 SM – 600 SM (atau 2500 tahun yang lalu), namun ditemukan justru jauh lebih tua dari tahun tersebut yaitu dikisaran tahun 1800 SM.

Ayah Sidharta Gautama adalah pemimpin suku Sakya, yang bernama Suddhodana. Raja Suddhodana mempunyai dua orang istri yaitu Maha Maya/Maya Dewi dan Pradjapati, anak seorang raja dari suku Koliyans (11 mil sebelah timur Kapilawastu). Ibu kandung Sidharta Gautama adalah seorang Ratu yang bernama Maha Maya. Mereka hidup di India, di sebuah kota yang disebut Kapilavatthu (kurang lebih 100 mil dari Utara timur Benares, luasnya 2000-3000 mil2, sekarang bernama Nepal di kaki pegunungan Himalaya. Raja Suddhodana begitu dihormati karena memerintah dengan baik. Raja Suddhodana dan Ratu Maha Maya disukai dan dicintai oleh rakyatnya.

Ratu Maha Maya dan Raja Suddhodana
Ibu dari Pangeran Siddhattha (Bodhisatta). Mahāpadāna Sutta; Digha Nikaya 14. Ia adalah putri dari Raja Anjana dari suku Koliyā dengan Yasodharā, putri dari Raja Jayasena dari suku Sākya. Mahāmāyā atau disebut Māyā memiliki tiga saudara kandung yaitu: Suppabuddha [Ayah dari Devadatta dan Yasodhara], Dandapāni, dan Mahāpajāpatī Gotami. Mahāmāyā lahir di Devadaha.

Saat Ratu Maya berusia 45 tahun, ia hamil. (Mahāvamsa ii. hal .15 - dst) Mahāmāyā memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan bagi seseorang untuk menjadi ibu bagi seorang Bodhisatta (calon Buddha), antara lain: ia tidak memiliki napsu yang berlebihan, ia tidak minum minuman yang memabukkan, ia berlatih pāramitā (kesempurnaan) selama ratusan ribu kappa, dan sejak lahir tidak pernah melakukan pelanggaran panca sila (lima kemoralan).

Pada masa awal pembuahan kandungan, ia mengikuti perayaan tahunan Uttarāsālhanakkhatta. Ia melakukan puasa, dan dalam tidurnya malam itu ia bermimpi: empat raja dewa mengangkat dan membawa dirinya duduk dikursi kerajaan menuju Manosilātala, di dekat Danau Anotatta di Himalaya. Di sana, ia ditempatkan di bawah naungan sebatang pohon sāla. Lalu, para istri dari keempat raja dewa itu mendekati dan memandikannya di danau tersebut. Mereka memakaikan busana surgawi, mengurapinya dengan minyak wangi, dan meriasinya dengan bunga-bunga surgawi. Mereka membiarkan dirinya tidur di dalam wisma keemasan yang terletak di sebuah gunung perak yang tidak jauh dari danau tersebut. Dalam mimpi itu, tampak olehnya seekor gajah putih yang membawa sekuntum teratai dengan belalainya yang berkilau. Gajah itu muncul dan mengelilinginya tiga kali searah jarum jam, lalu memasuki kandungannya melalui sisi kanan tubuhnya. Akhirnya, gajah itu menghilang, dan sang ratu terjaga dari tidurnya.

Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja. Kemudian Raja lalu memanggil para brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut. Para brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha. Memang sejak hari itu Ratu mengandung, dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.

Lahirnya Sidharta Gautama
Sepuluh bulan kemudian di bulan Vaisak, Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki (Jātaka i.h.49-dst). Ketika itu tepat purnama sidhi. (kelak Raja Asoka mendirikan suatu Pilar untuk memperingati hal ini).

Sesaat ia dilahirkan, Ia berjalan tujuh langkah dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk ke langit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. Saat ia menapakkan kakinya ke bumi, timbullah tujuh kuntum bunga padma yang besar dibawah setiap langkahnya. Setiap ia telah melangkahkan kakinya, ia menghadap ke sepuluh penjuru. Para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya.

Pada hari yang sama Sidharta Gautama dilahirkan, muncul (timbul) pula dalam dunia ini: Putri Yasodhara [Andak dari SuppaBuddha, saudara dari Devadatta, Yasodhara dikenal juga sebagai Rahulamata/Baddha kaccana, Istri Sidartha/ibu dari Rahula], Ananda [Anak dari Amitodana, saudara termuda Raja Suddhodana], yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha, Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha, Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Seekor gajah istana, Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung, Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.

Tidak jauh dari taman itu didalam rimba Asita, seorang Pertapa bernama Asita, yang mempunyai kemampuan membaca perubahan tanda-tanda alam dan masuk kealam para Dewa. Ia mengetahui ada kejadian luar biasa pertanda kelahiran seseorang yang Luar biasa. Saat itu Ia juga pergi ke Alam para Deva, Ia juga keheranan melihat para dewa sangat bersukacita pada hari itu dan mendapatkan konfirmasi ulang bahwa telah lahir seorang Calon Buddha. Ia kemudian menuju Istana. Ketika tiba, Ia melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (Manusia Agung) pada bayi tersebut, ia kemudian bersukacita dan memberikan hormat.

Melihat hal ini Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya. Setelah Petapa tersebut bergembira tidak berapa lama kemudian Ia menangis sehingga membuat kaget dan khawatir semua orang akan nasib Bayi itu Namun Petapa Asita menjelaskan bahwa ia menangis karena menyesal mengetahui umurnya sudah dekat hingga tidak berkesempatan mendapatkan berkah mendengar dan mengetahui Pengajaran Bayi itu kelak [Buddhaghosa, seorang Biksu India abad ke 5 M, menyatakan bahwa Asita mempunyai corak kulit hitam (SnA.ii.483), nama keduanya adalah Kanha Devala (SnA.ii.487) atau Kanha Siri (Sn.v.689) atau Siri Kanha (SnA.487) atau Kāla Devala (J.i.54)]. Petapa Asita kemudian terlahir di alam Arupa (Sn., pp.131-36; SnA.ii.483ff.; J.i.54f)]

Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul, bersama-sama dengan seratus delapan orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Nama yang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapailah segala cita-citanya". Diantara para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondañña, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Para 7 peramal meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondañña (Brahmana yang termuda) sajalah yang mengatakan dengan pasti bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Raja Suddhodana, menjadi khawatir karena Pertapa Asita (Kaladeva) juga telah meramalkan bahwa jika pangeran sudah melihat orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, maka pangeran akan meninggalkan istana untuk menjadi Pertapa, bukan menjadi seorang Raja.

Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maha Maya wafat dan kemudian terlahir di surga Tusita sebagai putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Kitab Komentar Theragāthā i.502) atau Santusita. Adik Ratu Maha Maya yaitu Maha Pajapati Gotami yang juga merupaan isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai ratu sekaligus ibu bagi si pangeran kecil. Dari Maha Pajapati Gotami, Raja Sudhodana mempunyai lagi seorang putra bernama Nanda (yang lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir) dan seorang putri bernama Nanda [Sundari Nanda]. Maha Pajapati Gotami merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri Pangeran Nanda.

Prajapati Gotami Mengurus Pangeran Siddharta yang masih bayi
Adik Ratu Maha Maya, Prajapati Gotami mengurus pangeran yang masih bayi dengan cinta kasih seperti mengurus anaknya sendiri. Pangeran Siddhartha adalah anak yang sehat dan bahagia. Saat berusia 8 tahun, Ia mempunyai Guru bernama Visvamitra.

[Note: Rama, salah satu Avatar Wisnu, juga mempunyai guru yang berama Visvamitra.]

Pangeran Siddharta merupakan murid yang terpandai di kelasnya dan yang terbaik dalam segala permainan. Ia sangat cepat memahami segala sesuatunya dan melebihi dari apa yang diajarkan tanpa melihat buku sehingga Gurunya heran kemudian bersujud dihadapan muridnya dan berkata: "Bukan aku, hanya Kaulah yang menjadi Guru, terimalah hormatku". Pada umur 12 tahun, Pangeran Sidharta telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah dan Pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra); Silpakarmasthana (ilmu dan matematika); Cikitsa (ramuan obat-obatan); Hatri (logika); Adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Tevijja [3 Veda: Irubbeda/Iruveda=Rg; yaju & sāma(Miln 178; DA i.247; SnA 447)].

Cinta kasih Pangeran Siddharta
Pangeran Siddharta, karena Ia adalah seorang pangeran, hidupnya adalah lebih menyenangkan dan bisa saja ia memilih untuk mengabaikan masalah-masalah orang lain. Namun hal ini justru tidak dilakukan oleh Pangeran Sidharta, Ia terkenal sebagai seorang yang sangat simpatik dan mudah merasa simpati terhadap orang lain. Ia sangat baik kepada semua orang, kudanya dan terhadap binatang-binatang lain.

Pangeran Siddharta Melindungi Seekor Ular
Pangeran Siddhartha selalu menjaga agar tidak melakukan hal yang dapat mengganggu semua makhluk. Sebagai contoh, suatu hari pangeran Siddharta melihat seorang anak kota memukul seekor ular dengan kayu. Pangeran Siddharta segera menghentikannya, dan memberitahu kepadanya agar tidak melukai ular itu.

Menyelamatkan Angsa Yang Dipanah Oleh Devadatta
Suatu hari, pangeran Siddhartha sedang bermain dengan teman-temannya di taman istana. Salah satu dari mereka adalah sepupunya, Pangeran Devadatta. Pangeran Siddhartha adalah seorang yang lembut dan baik, sedangkan pangeran Devadatta adalah seorang yang kejam dan suka membunuh makhluk lain. Ketika mereka sedang bermain, pangeran Devadatta membidik seekor angsa dengan panahnya. Angsa itu terluka parah. namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.

Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut.

Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut. Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”

Perayaan Membajak
Pangeran Siddhartha suka mengamati sesuatu yang terjadi dan berpikir mengenai berbagai hal. Suatu hari ayahnya mengajaknya ke perayaan membajak sawah tahunan. Sang raja memulai upacara dengan menunggang sepasang kerbau yang telah dihias indah. Pangeran Siddhartha duduk di bawah pohon jambu dan mengamati semua orang. Pangeran Siddharta memperhatikan ketika orang-orang sedang senang, sepasang kerbau itu harus bekerja keras dan membajak sawah. Kerbau-kerbau itu tidak tampak senang sama sekali.

Melihat Kehidupan Yang Alami
Kemudian pangeran Siddhartha mengamati makhluk lain disekitarnya. Ada seekor kadal sedang memakan semut-semut. Tetapi ular segera datang, menangkap kadal, dan memakannya. Kemudian, tiba-tiba seekor burung datang dari langit dan memangsa ular itu. Pangeran Siddhartha sadar bahwa semua makhluk ini senang sebentar, tetapi berakhir menderita.

Pangeran Siddhartha ditemukan sedang bermeditasi
Pangeran Siddhartha merenungi apa yang dilihatnya. Meskipun Ia bahagia, ada sejumlah penderitaan dalam hidup. Sehingga hatinya merasa begitu bersimpati terhadap semua makhluk. Ketika sang raja dan para pembantunya menyadari sang pangeran tidak ada di antara kerumunan, Para pelayan pergi mencarinya. Mereka terkejut menemukan sang pangeran duduk dengan kaki bersila, dalam meditasi yang dalam. Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut.

Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. Karena Pangeran saat itu telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.

Sang Raja memberikan Siddhartha sebuah istana
Raja Suddhodana tidak ingin anaknya berpikir hal-hal yang mendalam mengenai kehidupan. Ia ingat bahwa orang-orang bijak (Bramana/Pertapa) telah memprediksikan bahwa anaknya akan meninggalkan istana dan menjadi seorang bhikkhu.

Jadi, dalam rangka menarik perhatiannya, sang raja kemudian mendirikan sebuah istana yang megah. Raja memerintahkan untuk membuat tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika).

Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang terkenal sebagai penghasil barang-barang bermutu terbaik. Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya. Tetapi itu tidak menghentikan Pangeran Siddharta dari pemikiran mengenai penderitaan dan ketidakbahagiaan yang terjadi disekitarnya.

Mempelai wanita Siddhartha, Ratu Yasodhara
Saat Usia Sidharta 16 Tahun, Siddhartha tumbuh besar menjadi seorang pria muda yang tampan lagi kuat. Sekarang ia sudah cukup umur untuk menikah. Untuk menghentikan Siddhartha dari pikiran-pikirannya dan juga mencegahnya untuk meninggalkan rumah, Raja Suddhodana kemudian mengatur pernikahan anaknya dengan sepupunya yang cantik menawan, yaitu Putri Yasodhara.

Perlombaan Memanah, Pedang & menjinakkan kuda
Mengikuti tradisi, Ayah Yasodara (Suppabuddha, Raja Koliya) kemudian mengadakan perlombaan untuk mendapatkan Putrinya dan juga untuk membuktikan seberapa layak Siddhartha berhak mendapatkan Yasodhara. Saat perlombaan itu, yang menjadi lawannya adalah Dewadatta yang terkenal pandai memanah, Arjuna pandai menunggang Kuda dan Nanda pandai permainan Pedang. Pada pertandingan Panah, karena kuatnya tarikan lengan Siharta, maka beberapa kali Busur Panahnya Patah, sehingga ia kemudian mengambil suatu Busur panah yang tersimpan sudah sangat lama dalam suatu Biara. Busur itu terbuat dari Baja Hitam yang berbalut emas bernama "Sinhahanu". Busur itu sangat berat dan harus digotong oleh 4 orang. Dewadatta mencoba menarik busur itu namun tidak berhasil merentangkannya. Dengan Busur itu, ia kemudian memanah Tambur yang lebih jauh dari Dewadatta dan kemudian panah tersebut masuk kedalam suatu sumur.

Pada pertandingan berikutnya, Pedang Sidharta mampu menebas Pohon yang tebalnya 2 kali 9 Jari, karena kuat dan cepatnya Tebasan tersebut, Pohon itu tidak segera tumbang, setelah Angin meniupnya baru pohon Itu tumbang.

Sayembara terakhir adalah Menunggang Kuda, Sidharta menunggangi Kantaka dan menang, namun Nanda protes dan meminta untuk dicarikan kuda lainnya seperti kantaka. Didapatlah seekor kuda berbulu hitam yang terikat 3 rantai besi. Dewaddata, Arjuna dan Nanda berusaha menungganginya namun jatuh. Sidharta kemudian mencoba menjinakkan kuda liar. Siddhartha menjinakkan kuda tidak dengan memukulnya, seperti yang dilakukan peserta lainnya, melainkan dengan berbicara dengan kuda itu dan membelainya dengan lembut dan menungganginya.

Putri Yasodhara akhirnya menikah dengan Sidharta dalam upacara yang meriah. Pada banyak tahun kemudian, yaitu ketika Sidharta telah menjadi Buddha, ia berkata bahwa dalam banyak kehidupannya sebelumnya, Ia dan Yasodhara selalu menjadi Pasangan.

Istana yang menyenangkan
Masih dalam upaya untuk menghentikan pangeran Siddharta dari pikiran-pikirannya untuk meninggalkan rumah maka setelah menikah, Raja Suddhodana membangun sebuah istana yang dinamakan Wishramwan yang ditengah-tengahnya terdapat 3 Taman yang airnya berasal dari sungai Rohini (sekarang, bernama Kohana).

Di antara taman, di puncak bukit, didirikan paseban dengan tiang-tiang dan balok-balok yang diukir dengan hikayat jaman Kuno yaitu Krishna dan Radha, Sita dengan Rama dan Hanoman juga tentang Droupadi, ditengah-tengahnya ada patung Dewa Ganesha. Para penari dan penyanyi diminta untuk menghibur mereka, dan hanya orang-orang yang sehat dan muda saja yang diizinkan masuk ke dalam istana dan taman istana agar pangeran Siddhartha tidak dapat mengetahui bahwa semua orang bisa sakit, tua dan meninggal. Meskipun raja Suddhodana berusaha sedemikian rupa, pangeran Siddharta tetap tidak merasa bahagia dan tetap ingin mengetahui seperti apa kehidupan di luar tembok istana. Untuk itu ia meminta ijin Raja Sudhodana.

4 Tanda: Lanjut Usia
Akhirnya, Raja Suddhodana mengizinkan pangeran Siddhartha pergi mengunjungi kota-kota terdekat. Pangeran Siddhartha pergi bersama kusirnya, Channa. Dalam kunjungannya, pangeran Siddhartha melihat seorang kakek berambut putih yang berpakaian kumal. Itu sangat mengejutkannya karena pangeran Siddharta belum pernah melihat orang tua sebelumnya. Channa menjelaskan padanya bahwa itu adalah orang tua dan setiap orang kelak akan menjadi tua. Siddhartha merasa takut dan meminta Channa untuk membawanya pulang. Pada malam hari, Pangeran Siddharta tidak dapat tidur dan terus memikirkan mengenai ketuaan.

4 Tanda: Penyakit
Meskipun pangeran Siddhartha merasa haru, takut dengan ketuaan, ia ingin melihat lebih lanjut mengenai dunia luar. Pada kunjungan berikutnya, kali ini dengan menyamar, pangeran Siddharta melihat seseorang berbaring di tanah dan mengeluh. Merasa simpati, ia berlari ke orang itu. Channa memberitahu bahwa orang itu sakit dan setiap orang, bahkan orang-orang bangsawan seperti Siddhartha, atau sang raja, bisa sakit.

4 Tanda: Kematian
Pada kunjungan ketiganya, pangeran Siddhartha dan Channa melihat empat orang membawa seorang yang terbaring di atas papan. Channa memberitahu pangeran Siddhartha bahwa orang yang dibawa itu telah meninggal dan akan dikremasi (dibakar). Channa juga mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menghindari kematian, dan setiap orang akan mati pada suatu hari kelak. Ketika mereka kembali ke istana, pangeran Siddhartha terus berpikir mengenai apa yang telah dilihatnya. Akhirnya, pangeran Siddharta bertekad untuk mencari jalan keluar dari usia lanjut, penyakit dan kematian.

4 tanda: Seorang Pertapa
Beberapa saat kemudian, ketika pangeran Siddharta sedang menunggang kuda di dalam taman, ia melihat seorang pria berpakaian kuning. Pangeran Siddharta mengamati bahwa orang itu terlihat sangat damai dan bahagia. Channa menjelaskan bahwa orang tersebut adalah seorang pertapa. Pertapa itu telah meninggalkan keluarganya dan juga meninggalkan hasratnya akan kesenangan untuk mencari kebebasan dari penderitaan duniawi. Pangeran Siddharta terinspirasi dengan pandangan si pertapa itu dan mulai ingin meninggalkan istana untuk mencari kebebasan dengan cara yang sama (Beberapa Literatur, menyatakan bahwa Ia tidaklah bertemu dengan pertapa, namun muncul ketika ia merenung dibawah pohon jambu dan kemudian bercakap-cakap dengannya).

Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit yang tinggi dan kemudian berkata, "Rahulajato, bandhanam jatam."

Yang berarti : "Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir." Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama "Rahula".

Dalam perjalanan pulang ke istana, melewati tempat kediaman para Bangsawan, Sidharta bertemu dengan Kisa(Krishna) Gotami, Ponakan dari Baginda Raja, yang karena kagumnya melihat Sidharta kemudian mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

"Nibbuta nuna sa mata, Nibbuta nuna so pita, Nibbuta nuna sa nari, Yassa yam idiso pati."


Yang berarti : "Tenanglah ibunya, Tenanglah ayahnya, Tenanglah istrinya, Yang mempunyai suami seperti Anda."

Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan "Nibbuta" yang berarti: "tenang, padam semua nafsu-nafsu", Sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

Pada saat itu, istrinya melahirkan seorang bayi yang diberi nama Rahula. Meskipun pangeran Siddhartha mencintai anaknya, ia tidak begitu gembira setelah kunjungan-kunjungannya itu. Pangeran Siddharta sadar bahwa sekarang menjadi lebih sulit baginya untuk meninggalkan istana. Yasodara pun mengetahui akan hal itu, sehingga dalam tidurnya Ia sering mengigau "Waktunya sudah sampai! Temponya sudah datang!"

Menjauh dari para penari
Sejak memutuskan ingin meninggalkan istana, pangeran Siddharta kehilangan ketertarikannya menonton tarian kesenangan - kesenangan sejenisnya. Ia terus berpikir mengenai bagaimana membebaskan dirinya dan yang lainnya dari penyakit, usia lanjut dan kematian. Akhirnya, Pangeran Siddharta memutuskan harus meninggalkan istana dan keluarganya dan menjadi seorang pertapa (tanpa rumah), dalam rangka memahami kehidupan dan apa yang menyebabkan penderitaan.

Siddhartha meninggalkan rumah
Suatu malam, ketika orang-orang istana sedang tidur, Ia berdiri mengawasi Yasodara yang ia cintai tengah pulas sambil memeluk Rahula. Ia berlutut dan mencium kaki Yasodara. Ia mengawasi sekali lagi paras yang cantik itu dan ucapkan perkataan selamat tinggal, Hatinya ingin memondong bayi untuk diciumnya sebelum berangkat tapi ia kawatir Ibu dan anak bangun, tiga kali ia bolak-balik keluar masuk kamar seperti tertarik besi sembrani. Inilah suatu pergulatan yang jarang dapat dikalahkan. Setelah berjanji akan kembali setelah berhasil, akhirnya ia pergi dan melewati tempat dayang-dayangnya yang muda dan cantik. Kemudian pangeran Siddhartha menuju ketempat kusirnya dan membangunkannya, Ia meminta Channa untuk menyiapkan kudanya, Kanthaka.

Melihat Kapilavatthu untuk terakhir kalinya
Dalam kesunyian malam, Pangeran Siddhartha menunggang Kanthaka. Bersama Channa, ia meninggalkan istana dan kota Kapilavatthu. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma.

Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka/Sakra(Indra) dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.

Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang pertapa kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah pertapa, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana. Pada awalnya, Channa dan Kanthaka menolak untuk kembali, tetapi pangeran Siddhartha menegaskan harus pergi dan berkata, "Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati.

Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini."Dengan air mata bercucuran di wajahnya, Channa dan Kanthaka mengamati perginya pangeran Siddharta berjalan kaki menjauh. Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.

Hidup sebagai pertapa
Usianya saat itu 29 tahun, Siddhartha mulai menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai seorang pertapa. Dari Kapilavatthu, Sidharta berjalan ke arah selatan menuju Rajagaha, ibukota negara Magadha. Raja negara ini bernama Bimbisara. Di sebuah Gunung yaitu Ratnagiri (disebelah timur) Ia mengambil tempat, setiap pagi hari ia kekota, Siddhartha mendapatkan makanannya dengan jalan seperti para pertapa lainnya yaitu terserah dari apa yang orang hendak berikan.

Simpati terhadap seekor domba yang terluka
Setelah makan, Siddhartha memutuskan untuk pergi ke pegunungan dimana orang-orang yang hidup menyendiri dan orang-orang bijak tinggal. Dalam perjalanannya menuju kesana, Siddharta melewati sekumpulan domba. Para penggembala mengarahkan domba-dombanya ke Rajagaha untuk dikorbankan dalam suatu upacara pembakaran. Satu domba kecil terluka. Karena simpati, Siddhartha menggendong domba itu dan mengikuti para penggembala domba kembali ke kota.

Menghentikan pengorbanan binatang
Di kota, dalam suat pemujaan di rumah pemujaan, terdapat api menyala di atas altar, Raja Bimbisara dan sekelompok pendeta sedang melakukan upacara mereka kepada Dewa Indra diseputaran api. Diseputaran Api itu telah banyak darah mengucur sebelumnya dan Ketika seorang pemimpin dari para pemuja api itu mengangkat pedangnya untuk membunuh domba pertama, Siddhartha menghampiri pendeta itu dan meminta kepada raja untuk menghentikannya kemudian membuka tali yang mengikat domab itu dan tidak ada seorangpun yang sanggup mencegahnya. Siddharta meminta ijin raja Bimbisara untuk berbicara dan ini merupakan kotbah pertama Sidharta yang ringkasnya adalah semua dapat bikin musnah jiwa-jiwa mahluk lain namun tidak ada yang dapat bikin hidup mahluk yang sudah mati, Bagi yang ingin dikasihani Dewa-dewa kita juga mesti mengasihani mahluk lainnya, manusia tidak nanti dapat membersihkan jiwa mereka dengan menggunakan darah,

Siapa yang menabur penderitaan memetik buah yang sama
Sambil menghampiri Raja dengan merangkapkan keua tangan, ia berkata pula bahwa Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain. Setelah "Jika manusia mengharapkan belas kasih, mereka seharusnya menunjukkan belas kasih. Sesuai dengan hukum sebab-akibat (karma), mereka yang membunuh makhluk lain akan, pada gilirannya, dibunuh. Jika kita mengharapkan kebahagiaan di masa depan, kita tidak boleh melukai semua makhluk. Siapapun yang menabur penderitaan akan menuai buah yang sama. Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain. Ucapan ini mengubah pikiran raja Bimbisara sepenuhnya, Raja Bimbisara kemudian membuat maklumat bahwa sejak saat itu dilarang menumpahkan darah binatang-binatang baik untuk persembahan para Dewa maupun dimakan dagingnya kemudian Ia mengundang Siddhartha untuk tinggal dan mengajari rakyatnya. Tetapi Siddhartha menolak, karena ia belum menemukan kebenaran yang dicarinya.

Siddhartha dengan Alara Kalama
Setelah Siddhartha meninggalkan Rajagaha, ia pergi untuk melihat orang bijak yang bernama Alara Kalama (Arada). Siddharta tinggal dengan orang bijak itu dan belajar dengan giat. namun dengan segera, Siddharta tahu sebanyak yang diketahui gurunya namun masih terdapat hal-hal mengganjal baginya Ia masih tidak mengetahui cara menuju kebebasan dari segala penderitaan. Oleh karena itu Siddharta berterima kasih kepada Alara Kalama dan pergi mencari guru lain.

Mencari kebenaran
Siddhartha kemudian belajar dengan orang bijak lain yang bernama Uddaka Ramaputta. Ia mempelajari bagaimana membuat pikirannya sangat tenang (diam) dan kosong dari segala pikiran dan emosi. Tetapi Siddharta masih juga tidak memahami misteri kehidupan dan kematian, Ia tidak menemukan kebebasan sepenuhnya dari penderitaan yang dicarinya. Sekali lagi, Siddhartha berterima kasih kepada gurunya dan pergi. Ia mendapat kenyataan bahwa kebanyakan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru agama hanya diambil dari satu cabang bukan pokoknyai, kali ini, Siddharta memutuskan untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya dengan kebijakan dan usahanya sendiri.

Mencoba praktek tapabrata (hidup tanpa kenikmatan duniawi)
Ia kemudian menuju kearah utara pegunungan Windya. Pada waktu itu, banyak para Bhikkhu/Pertapa/Brahmana yang berkelana yang tergolong ke berbagai sekte. Mereka telah meninggalkan keluarganya untuk menjadi asetik (menjalani kehidupan tanpa kenikmatan duniawi). Mereka percaya bahwa dengan membuat diri mereka kelaparan atau menyiksa tubuhnya, mereka akan dilahirkan kembali di surga. Kepercayaan mereka adalah bahwa semakin mereka menderita dalam kehidupan ini, semakin besar kenikmatan yang akan mereka peroleh di masa depan. Sehingga beberapa diantaranya makan sedikit sekali, beberapa berdiri di atas satu kaki untuk waktu yang lama, dan yang lainnya tidur di atas papan yang berlapis paku-paku tajam.

Pangeran Siddhartha sang pertapa
Pangeran Siddhartha juga berusaha untuk menjadi seorang pertapa. Ia berpikir jika berlatih dengan keras, akan menjadi tercerahkan (yaitu, mengetahui cara dan mampu mengatasi penderitaan). Jadi Pangeran Siddharta menemukan tempat di Uruvela dekat sebuah sungai dan desa, dimana ia dapat mencuci dan mendapatkan makanan hariannya. Ada lima orang lainnya yang tinggal di sana, dan mereka menjadi kawan pangeran Siddhartha. Seperti pangeran Siddhartha, mereka juga berpraktek tapabrata. Nama kelima orang tersebut adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji.

Penderitaan yang disebabkan oleh praktek ekstrim
Pangeran Siddhartha mempraktekkan berbagai bentuk tapabrata selama enam tahun. Ia mengurangi makannya terus menerus sampai tidak makan sama sekali. Pangeran Siddharta menjadi sangat kurus, Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran tetapi Ia masih tidak ingin menyerah. Suatu hari, ketika meditasi sendirian pangeran Siddharta pingsan, terlalu letih oleh praktek-praktek tapabrata tersebut.

Pertolongan dari anak penggembala, Penari dan Penyanyi
Pada waktu itu, lewat seorang anak penggembala dengan seekor kambing. Ia melihat pangeran Siddhartha dan sadar bahwa tanpa makanan pangeran Siddhartha akan segera mati. Pada saat itu di Hindustanterdapat pantangan bahwa kapbila bersentuhan dengan kasta rendah maka hilanglah kesucian kaum Brahmana. Ia peras susu kambing tersebut dan dikucurkan kemulut Sidharta hati-hati agar tidak menyenggol badannya. Setelah siuman, Sidharta meminta lagi susu kambing itu dan anak tersebut menolak lantaran ia sebagai kasta Sudra, Lalu Sidharta Berkata " Darah manusia tidak mengenal perbedaan, begitu pula airmata, Siapa manusia yang lakukan perbuatan benar ialah seorang suci"

Anak Gembala itu tercengang karena anggapan itu belum pernah ia dapatkan sebelumnya dan memberinya susu kambing. Siddhartha mulai merasa lebih baik. Pangeran Siddharta sadar bahwa tanpa pertolongan anak gembala itu, ia dapat tewas sebelum mencapai pencerahan. Ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. kemudian timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.

Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.

Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.

Namun, pelajaran-pelajaran dari orang-orang berbagai kasta belumlah usai, Suatu ketika lewatlah kawanan penyanyi yang terdiri dari perempuan muda dan beberapak lelaki dan mendendangkan suatu lagu yang kurang lebih berbunyi "Kalau sitar dipentang terlalu keras, talinya putus, lagu pergi, kalau tali terlalu kendor iapun tidak bisa bersuara, ia punya nada tidak boleh terlalu kendor atau terlalu kencang, orang yang memainkan mesti bisa menimbang dan memperkirakannya".

Sidartha terheran-heran dan berkata "Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.".

Pertolongan Anak Tani, Nandabala yang memberikan Tajin & Sujata menawarkan susu beras
Ketika Sidharta pergi mandi, Ia tidak kuat berbangkit di air hampir tenggelam dan untunglah ada suatu cabang pohon ia merayap naik dan dengan perlahan berlalu dari sungai. menuju tempat pertapaannya, tidak berapa lama kemudian ia roboh dengan tubuh tidak bergerak. Kelima Pertapa yang bersamanya mengira bahwa ia sudah mati. Kebetulan hari itu ada seorang anak perempuan bernama Nandabala dan Sidharta diberikan nasi Tajin olehnya. Kelima Pertapa tadi tidak senang dan menganggap bahwa Siddhartha telah menjadi rakus sehingga mereka meninggalkannya sendirian. Sidharta bersedih karena mereka telah menduga secara keliru dan tidak ada lagi kawan yang mau mendekati dan menunjukan simpati pada Sidharta. Sejak saat itu, pangeran Siddhartha mulai makan dengan normal. Kesehatannya segera pulih sepenuhnya. Sekarang jelas baginya bahwa tapabrata bukan cara menuju pencerahan. Bagaimanapun, kelima kawannya melanjutkan praktek-praktek tapabrata mereka. Tempat ia tinggal berdekatan dengan seorang Tani bernama Senani dan mempunyai Istri bernama Sujata, Suatu pagi, Ia memberikan persembahan kepada Dewa, Ia melihat Sidharta tengah bersemedi dan menganggapnya sebagai Dewa, kemudian Sujata mempersembahkan Siddhartha beberapa susu beras yang lezat.

Berjanji untuk mendapatkan kebenaran
Setelah makan, Sidharta bertanya maksud dan tujuan Sujata memberikan persembahan itu. Sujata menjawab bahwa ia membuat haturan terima kasih untuk membayar kaul telah diberikan anak lelaki. Sidartha menyatakan bahwa Ia bukan Dewa hanya manusia biasa dan memberi berkat kepada anak itu. Sidharta bertanya apakah ia merasa cukup beruntung dan penghidupan seperti ini yang ia harapkan.

Sujata menjawab, "Aku tidak mengharapkan banyak, ia merasa cukup beruntung hany dengan memandang wajah suaminya, senyuman bayi-nya. Setiap hari, aku dengan senang hati mengurus pekerjaan rumah tangga, sesudah sembahyang pada Dewa, aku memasak, ketika Suami-ku kembali dari pekerjaan dan merebahkan kepalanya di pangkuakua maka aku kipas2kan badannya yang kegerahan itu, membuat senang kupingnya dengan nyanyian yang lemah lembut, mempersembahkan suguhan dan kue, ketika bintang-bintang muncul kami pergi tidur.

Sehabis ke kuil, berbincang-bincang dengan beberapa sahabat, Jadi bagaimanakah aku tidak merasa beruntung karena nantinya aku dipimpin oleh roh suamiku ke sorga, sebab dalam kitab2 suci dikatakan bahwa barang siapa yang menanam pohon dipinggir jalan buat berteduh orang yang lewat, atau menggali sumur untuk orang yang kehausan, mempunyai putra lelaki, maka saat Ia meninggal akan mendapat berkah.

Apa yang dikatakan oleh kitab-kitab itu aku percaya, karena aku tidak mempunyai kepintaran yang dapat bercakap2 dengan para Dewa, tahu segala doa-doa yang manjur, Aku juga pikir bahwa kebaikan mestinya datang dari perbuatan baik dan kejahatan datangnya dari perbuatan jahat. Ini adalah hal yang pasti. Maka, bagi orang yang berkelakuan baik, kalau sudah datang waktunya untuk mati, apakah yang perlu ditakuti? Apakah bedanya nasib kita di hari nanti dengan yang sekarang ini? Barang kali di akhirat ada lebih baik, sebab sebutir padi kalau ditanam mengeluarkan 50 butir.

Ah Tuanku, aku tahu bahwa manusia suatu waktu akan mengalami kesusahan yang nantinya akan rebahkan mukanya di dalam lumpur. Kalau putra-ku mesti berangkat dulu, tetunya hatiku bakal hancur, malah aku mau bilang bahwa ingin hatiku ini jadi hancur betul-betul supaya aku dapat terus peluki rohnya hingga diakhirat sambil menantikan kedatangan suamiku, buat menyambutnya dan terus merawatnya. Tapi kalau suamiku mati dulu, maka aku akan nanti naik di atas pembakaran mayatnya, meletakan kepalanya dipangkuanku seperti biasanya dan memandang dengan girang nyala api yang membuat kita berdua bersama menjadi abu.

Didalam kitab suci sudah tertulis, kalau seorang istri meninggal dengan cara demikian, kecintaannya itu dapat memberikan surga untuk suaminya untuk banyak tahun beberapa ratus kali lipat dari sebanyak rambut yang ada di kepala istrinya. Itulah sebabnya aku tidak takut segala kesusahan dan kesedihan yang mengancam. Inilah juga sebabnya, Tuanku yang suci, dipenghidupanku yang penuh kegirangan ini, aku juga tidak melupakan orang-orang yang hidup miskin dan melarat, menjauhi yang jahat dan bercilaka, Kepada Dewa, aku memohon belas kasihnya. Buat aku sendiri, segala apa yang kurasa baik dan benar, aku lakukan dan hidup menurut kebenaran, dengan menaruh percaya pada apa yang datang dan hendak datang, maka nantinya akan datang dengan baik".

Sesudah mendengarkan keterangan Sujata, Sidharta menyahut, "Kau sudah berikan pengajaran kepada mereka yang mesti menjadi guru, Keteranganmu begitu sederhana dan terdapat sari kebenaran yang lebih nyata dengan kebajikan yang tinggi, Walaupun kau tidak kenal dengan aliran apapun, tapi kau sudah sampai jalan dari kebenaran dan kewajiban, oh, Bunga biarlah kau mekar dengan sempurna dan sebarkan keharumanmu dipojokan yang teduh! Itulah cahaya matahari kebenaran. Kau sudah puja aku, oh hati yang baik sekali, dengan tanpa sengaja kau sudah pelajari apa yang paling betul, Biarlah aku juga temukan apa yang aku cari! Aku pandang kau sebagai satu dewa, maka doakan Aku agar maksudku terlaksana".

Sujata kemudian berkata kepadanya: "Semoga engkau berhasil dalam mencapai harapan-harapanmu!"

Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, "Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus." Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Pada hari yang sama, pangeran Siddhartha menerima penawaran jerami dari penjual jerami yang bernama Sotthiya, kemudian membuat tempat duduk dari bahan itu dan duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon bodhi yang besar, menghadap timur. Pangeran Siddharta berjanji pada dirinya sendiri: "Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana."

Meditasi di bawah pohon bodhi
Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Ketika sedang bermeditasi, pangeran Siddhartha mengabaikan semua gangguan luar dan ingatan-ingatan kenikmatan dari masa lalu. Ia mengabaikan semua pemikiran duniawi dan mengarahkan pikirannya untuk menemukan kebenaran sejati mengenai kehidupan. Pangeran Siddharta bertanya kepada dirinya sendiri, "Bagaimana penderitaan dimulai? Bagaimana seseorang dapat terbebas dari penderitaan?"

Pada mulanya banyak imaginasi-imaginasi yang mengganggu muncul dalam pikirannya seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.Perlawanan batin yang hebat dari Pertapa Gotama melawan keinginan, nafsu-nafsu dan Godaan Mara digambarkan dalam syair:

Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.


Mara hadir disertai oleh bala tentaranya yang amat besar Balatentara Mara yang amat mengerikan ini mengelilingi Bodhisatva, dari depan sejauh dua belas yojana (1 yojana = 16 Km atau 7 Mil) , dari belakang sejauh dua belas yojana, dari kiri dan kanan selebar sembilan yojana.

Mara sendiri membawa seribu senjata yang amat berbahaya dan duduk menunggangi Gajah Girimekhala, yang amat besar dengan tinggi seratus lima puluh yojana. Diikuti dengan bala tentaranya yang berwajah amat menyeramkan, mereka semuanya membawa senjata dengan meraung menakutkan, siap menghalangi Siddhartha mencapai maksudnya.

Saat Mara mendatangi Bodhisatva dengan bala tentara yang begitu besar, maka para dewa, seperti Maha Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan para dewa lainnya, Menjadi saksi di tempat itu. Bodhisatva harus menghadapi sendiri Mara beserta bala tentaranya dengan berbekal kepada sepuluh Paramita yang telah sejak lama dilatihnya.Sepuluh Paramita itu adalah :
  1. Dana Paramita (Kesempurnaan Kerelaan Hati)
  2. Sila Paramita (Kesempurnaan Kemoralan)
  3. Nekkhama Paramita (Kesempurnaan Pelepasan Keduniawian)
  4. Panna Paramita (Kesempurnaan Kebijaksanaan)
  5. Viriya Paramita (Kesempurnaan Semangat)
  6. Khanti Paramita (Kesempurnaan Kesabaran)
  7. Sacca Paramita (Kesempurnaan Kebenaran)
  8. Adhitthana Paramita (Kesempurnaan Tekad)
  9. Metta Paramita (Kesempurnaan Cinta Kasih)
  10. Upekkha Paramita (Kesempurnaan Keseimbangan Batin)
Dengan sepuluh Paramita inilah, semua usaha Mara beserta bala tentaranya untuk menakut-nakuti Bodhisatva, dengan hujan besar yang disertai angin kencang dan halilintar yang menggelegar terus-menerus, juga diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang amat mengerikan ternyata gagal semua. Akhirnya Mara dengan penuh kemarahan menyambit Bodhisatva dengan senjatanya yang terakhir yaitu Cakkavudha (Senjata paling saktinya). Tetapi senjata ini berubah menjadi payung yang amat indah (dalam literatur Hindu Cakra adalah Senjata Dewa Wisnu, sehingga ibarat menyerang kepada empuNya), yang dengan tenang bergantung dan memayungi Calon Buddha (Bodhisatva).

Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pangeran Sidharta dan Mara menghilang bersama-sama dengan bala tentaranya.

Akhirnya pikirannya menjadi sangat tenang bagai genangan air yang diam. Dalam keheningan meditasi yang dalam, Siddhartha konsentrasi pada bagaimana hidupnya dimulai.Sang Bodhisatva berkata, "Dengan melihat bala tentara pada semua sisi berbaris dengan Mara yang mengatur di atas Gajah Girimekhala. Aku maju ke depan untuk berperang, Mara tidak akan dapat mendorongKu dari posisiKu. Bala tentaramu dengan dunia beserta dewa-dewa tak terkalahkan. Dengan KebijaksanaanKu, Aku terus menghancurkan mereka, bagaikan Aku menghancurkan mangkok yang belum dibakar. Dengan mengawasi pikiranKu, dan dengan kesadaran yang kuat, Aku akan mengembara dari negara ke negara, sambil melatih banyak murid. Dengan rajin dan bersungguh-sungguh, dalam mempraktekkan AjaranKu, mereka tidak akan memperdulikanmu dan akan pergi ke tempat yang tidak ada lagi penderitaan."

[Note: Arti dari Dewa Mara(Devaputta), Nafsu(kilesa), Kamma(Abhisamkhara), Kelompiok (Khandha), Kematian (Maccu), kesusahan, kemalangan, Keengganan Hidup Suci(Arati), Hawa Nafsu(Raga), Nafsu Keinginan(Tanha), tiga terakhir disebut tiga putri Mara )]

Pencerahan sempurna
Mulanya, pangeran Siddhartha ingat akan kehidupannya sebelumnya. Kemudian, ia melihat bagaimana makhluk-makhluk hidup dilahirkan kembali berdasarkan hukum sebab dan akibat, atau karma. Ia melihat bahwa berbuat baik itu menjauhi penderitaan dan berbuat jahat itu menambahkan penderitaan.

Kemudian pangeran Siddharta melihat asal penderitaan adalah keserakahan, yang muncul dari pemikiran bahwa kita yang lebih penting dari orang lain. Akhirnya, ia menjadi bebas sepenuhnya dari pemikiran seperti ini Dengan Muka bercahaya, dengan penuh kebahagiaan ia lontarkan pekik kemenangannya,

"Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini, Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir, Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya, Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui, Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi, Semua atapmu telah Kurobohkan, Semua sendi-sendimu telah Kubongkar,Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nirvana Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.". Siddhartha menjadi Buddha, Sang Pencerahan Sempurna pada usia 35 tahun.

Setelah mencapai pencerahan sempurna, sang Buddha tetap duduk dalam kebahagiaan nirvana selama beberapa minggu.

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.

Selama minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.

Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.

Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut yang disebut Buddharasmi atau Sinar Buddha. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.

Sejak saat itu dan selama hidup-Nya, Beliau dapat memancarkan enam sinar suci itu bilamana dikehendaki-Nya. Kadang-kadang Beliau mengirim sinar suci-Nya dengan warna-warna itu untuk mengubah tabiat para manusia. Enam warna sinar-Nya adalah :

1.Nila = biru. Berarti bakti atau pengabdian. Dia telah menjadi Buddha mempunyai sifat bakti dan pengabdian yang tiada taranya kepada manusia yang menderita.
2.Pita = kuning. Berarti kebijaksanaan, mahatahu, seorang Buddha adalah berpengetahuan luas dan mahatahu (Sarvakarajnata).
3.Rohita = merah. Berarti kasih sayang dan welas asih. Seorang Buddha mempunyai rasa maha kasih sayang dan maha welas asih yang tidak terbatas terhadap semua makhluk. Pada seorang Buddha sudah tidak ada lagi rasa benci, sentimen, kejam, iri hati, dan dengki, yang ada pada diri-Nya hanya maha welas asih kasihan tanpa perbedaan dan perasaan bahagia bila mengetahui atau melihat orang lain dapat hidup senang dan bahagia.
4.Avadata = putih Berarti suci. Seorang Buddha telah suci batin-Nya dan pikiran-Nya tidak dapat dikotori lagi oleh segala macam kekotoran dunia. Maka dari itu seorang Buddha atau Bodhisattva dilukiskan sebagai mutiara yang berada di atas bunga teratai (mani-padma). Bunga teratai meskipun tumbuh dirawa yang penuh lumpur, diatas bunga teratai itulah seorang Buddha atau Bodhisattva duduk atau berdiri laksana mutiara yang putih berkilauan, yang bebas dari segala kekotoran dan tidak dapat kena kotoran karena dialasi bunga teratai.
5.Manjistha = orange, jingga. Berarti giat, Seorang Buddha mempunyai semangat yang luarbiasa, giat menyebar Dharma kepada dewa dan manusia serta melakukan segala perbuatan baik yang berfaedah bagi orang banyak dan makhluk-makhluk lainnya.
6.Prabhasvara
= bersinar-sinar, sangat terang, cemerlang merupakan warna campuran dari kelima warna tersebut diatas; berarti campuran dari kelima sifat tersebut diatas.

Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.

Selama minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut, "Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya 'Sang Aku' merupakan berkah yang tertinggi."

Selama minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya.

Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong. Masing-masing datang dengan membawa satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk. Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma.

Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal di kota Pokkharawata, Ukkala [Myanmar], mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini [Pagoda adalah Shwedagon berlokasi di Yangon, Myanmar, telah di pugar oleh banyak generasi sesudahnya dan menjadi Pagoda terbesar di dunia]

Sang Buddha memutuskan untuk mengajarSang Buddha mengetahui bahwa Maha Brahma Sahampati adalah Brahma yang sangat dihormati oleh Dewa-dewa [dan juga manusia] dan berpikir akan baik jika Brahma Sahampati melakukan permohonan untuk mengajarkan sehingga yang lain lebih mau mendengar Dhamma [Sangyutta Atthakata 1.155]. Sang Buddha lalu mengarahkan pikirannya agar terbaca oleh Brahma Sahampati, "Dhamma ini sungguh dalam, halus, sulit dilihat, tidak bisa dimengerti dengan pemikiran semata, hanya bisa dipahami oleh bijaksanawan bahkan sulit dimengerti oleh Dewa dan Manusia". Brahma Sahampati Yang agung menyadari pemikiran Buddha tersebut hadir di hadapan Buddha dan memohon kepada Buddha, "Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan."

Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:

"Brahma ca lokadhipati Sahampati, Katañjali andhivaram ayacatha, Santidha sattapparajakkhajatika, Desetu Dhammam anukampimam pajam."

Artinya: "Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini Merangkap kedua tangannya dan memohon, Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. "

Sang Buddha melihat ke seputar Jagad dengan Buddha cakkhu (Mata sakti Buddha) dan melihat bahwa ada yang mampu memahami Dhamma walaupun di babarkan secara singkat; Ada yang mampu memahami Dhamma setelah dibimbing dan diberi penjelasan rinci; Ada yang mampu memahami Dhamma karena dibimbing dan mempraktikan Dhamma selama bertahun-tahun; Ada yang tak akan menyadari Dhamma dalam hidup ini namun akan memetik manfaat dalam kehidupan selanjutnya.

Maka Buddha lalu berkata: "Terbukalah pintu Kehidupan Abadi Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan."[Sanyutta Nikaya 1.137f]. Brahma Sahampati merasa girang, karena Buddha telah meluluskan permintaannya itu dan kemudian menghilang.

Sang Buddha mencari orang-orang yang pernah bertapa denganNya
Dengan Mata batinya Sang Buddha melihat bahwa Guru-gurunya, Alara Kalama telah wafat 7 hari sebelumnya [Majjima Nikaya 1.170-1]; Uddaka Ramaputta baru wafat semalam. Kemudian Sang Buddha teringat akan kelima teman asetiknya, Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama and Assaji, mengetahui bahwa mereka tinggal di Sarnath, dekat Varanasi, Beliau segera pergi untuk mencari mereka.

Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka yang sungguh-sungguh berniat mempelajari Dharma. Ketika dia melihat Buddha Gautama di jalan, karena keheranan Ia mendekat dan bersikap anjali, kemudian berkata, "Teman, bagian tubuh-Mu, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran-Mu begitu jernih, kulit-Mu juga begitu bersih dan bercahaya. Teman-Ku, dari siapakah Engkau belajar? Siapakah guru-Mu? Dhamma siapakah yang Engkau pelajari?" Buddha memberikan jawaban kepada Petapa Upaka dalam syair berikut:

(1) Sabbàbhibhå sabbàvidå’ham asmi;
sabbesu dhammesu ampalitto.
Sabba¤’jaho taõhà’kkhaye vimutto;
sayaÿ Abhi¤¤àya kam uddiseyyaÿ.


Upaka, Aku, Buddha, telah menguasai semua Dhamma di tiga alam dan memiliki Kesempurnaan dan pengetahuan yang lengkap mengenai segalanya; Aku juga telah terbebas dari noda kilesa, seperti keserakahan, perbuatan jahat, kebodohan, dan lain-lain sehubungan dengan tiga bentuk kelahiran (tebhåmaka Dhamma). Aku telah menyingkirkan semua tebhåmaka Dhamma. Aku juga telah aman dalam Nibbàna di mana taõhà padam. Sebagai seorang yang telah menembus semua Dhamma oleh diri sendiri, tanpa diajarkan oleh orang lain, siapa yang dapat Kusebut, ‘Dia adalah guru-Ku’, yang sebenarnya tidak ada.

(2) Na me àcariyo atthi;
sadiso me na vijjati.
Sadevakasmim lokasmiÿ;
n’atthi me patipuggalo.


Upaka, tidak ada guru bagi-Ku. (Tidak ada guru yang dapat melebihi-Ku). Bahkan tidak ada yang sebanding dengan-Ku. Tidak ada satu pun di dunia ini makhluk-makhluk, termasuk dewa, yang dapat menyamai-Ku dalam hal kualitas seperti sãla, dan lain-lain.

(3) Ahaÿ hi Arahà loke;
ahaÿ satthà anuttaro.
Eko’mhi Sammàsambhuddo;
sitibhåto’smi nibbuto.


Upaka, Aku adalah Arahanta di dunia ini, seorang yang layak menerima penghormatan istimewa. Aku juga seorang guru yang luar biasa dan tidak ada bandingnya bagi manusia dan dewa di dunia ini. Karena Aku dapat melihat dengan Sayambhu¥àõa semua Dhamma tanpa kesalahan, Aku adalah yang tertinggi yang telah mencapai Pencerahan Sempurna. Aku juga seorang yang telah memadamkan api kilesa.

(4) Dhammacakkaÿ pavattetuÿ;
gacchàmi kasiõaÿ puraÿ.
Andhibhåtasmiÿ lokasmiÿ;
àhanchaÿ amatadundubiÿ.


Upaka, Aku akan pergi ke Taman Rusa Isipatana dekat Vàràõasã di Negara Kasi untuk memutar Roda Dhamma. Aku akan menabuh genderang besar keabadian bagi semua dewa dan manusia yang, tanpa mata kebijaksanaan, meraba-raba seperti orang buta.

Setelah itu, Petapa Upaka berkata, “Temanku, Jika apa yang Engkau katakan itu benar, Engkau pastilah seorang yang memiliki kebijaksanaan yang tidak terbatas (Ananta ¥àõa) dan yang telah menaklukkan lima kejahatan (Màra).

Buddha menjawab:
(5) Màdisà ve Jinà honti;
ye pattà àsavakkhayaÿ.
Jità me pàpakà dhammà;
tasmà’ham Upaka jino.


Upaka, para Buddha seperti diri-Ku disebut penakluk (Jina) karena mereka telah mencapai Arahatta-Magga ¥àõa, padamnya empat àsava dan telah melenyapkan faktor-faktor jahat (akusala-Dhamma). Aku juga dikenal dengan nama Jina, karena, seperti para Buddha lainnya, Aku telah mencapai Pengetahuan mengenai padamnya àsava, âsavakkhaya (Arahatta-Magga) ¥àõa, dan melenyapkan akusala-Dhamma.

Selanjutnya, Petapa Upaka berkata, “Temanku, apa yang Engkau katakan pasti benar!”. Karena pertemuan itu, maka di kemudian hari, setelah lewat bertahun-tahun kemudian, Petapa Upaka akhirnya bertemu Buddha kembali, Ia menjadi muridnya, mencapai Anagami, wafat dan terlahir di alam Sudhavasa terbawah [Aviha] serta tak lama kemudian, Iapun mencapai Arahanta Pala [Riwayat Agung Para Buddha, Buku ke-1, Hal 693-698]

Bertemu dengan lima rekannya
Di Sarnath, ketika kelima pertapa asetik melihat kedatangan sang Buddha, mereka memutuskan untuk tidak menyambutnya atau berbicara kepadanya. Mereka masih berpikir bahwa ia rakus dan telah menyerah dalam usahanya mencari kebenaran. Tetapi sebagaimana Sang Buddha mendekat, mereka sadar bahwa ia dikelilingi oleh sinar dan terlihat sangat mulia. Mereka begitu terkejut sehingga mereka lupa akan keputusan sebelumnya. Mereka menyambutnya, menawarkannya air dan segera menyiapkan tempat duduk.

Sang Buddha meyakinkan 5 Rekannya
Setelah duduk, sang Buddha memberitahu mereka: "Wahai para Pertapa! Saya telah menyadari kebenaran akan berakhirnya penderitaan (nirvana), dan cara untuk mengakhiri penderitaan. Jika kalian belajar dan mempraktekkannya, kalian akan segera tercerahkan. Kalian harus bertanggungjawab untuk memahami hal-hal ini."

Pada mulanya, kelima Bhikkhu tersebut meragukan kata-kata Sang Buddha dan menanyakan banyak pertanyaan. Tetapi akhirnya mereka mulai mempercayainya dan mau mendengar ajaran Sang Buddha. Maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha.

Inilah ringkasan kotbah pertama yang legendaris itu, "Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana".

"Selanjutnya oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/Kegemaran) itu adalah penderitaan".

"Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri".

"Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan".

"Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar"."Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti".

"Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti".

"Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti".

"Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti"."

Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan manusia".

"Dengan demikian timbul dalam diriKu Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanKu yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir."

Berdirinya Sangha(5 orang Bikkhu)
Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu). Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, "Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan."

Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan "ehi bhikkhu".

Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut. Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat "ehi bhikkhu". Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat "ehi bhikkhu".

Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhanasutta. Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut:

Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.'

Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya 'Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.' Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini,

"Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?"
"Mereka tidak kekal, Bhante."
"Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?"
"Di sana terdapat penderitaan, Bhante."
"Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah 'milikku', 'aku' dan 'diriku' ?"
"Tidak tepat, Bhante."Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut:

Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kehidupan/Kegemaran) semata-mata. Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah 'milikmu' atau 'kamu' atau 'dirimu'.

Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.

Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Menginstruksikan Yasa
Ketika Sang Buddha masih di Taman Rusa di Sarnath. Waktu itu di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan.

Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, "Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!" Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, "Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.". Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir, "Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan." Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.

Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa.

Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan.

Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, "Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku." Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.

Seperti dijelaskan di atas, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karma pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu)

Kemudian Ayah yasa mengundang Sang Buddha kerumahnya. Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Sang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, "Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci." Perbedaannya bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan "dan singkirkanlah penderitaan" karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).

Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun rnemperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha).

Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha.

Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.

Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.

Menyebarkan Dharma
Ketika Sang Buddha telah memiliki enam puluh Bhikkhu sebagai pengikutnya, Beliau mengadakan suatu pertemuan. Sang Buddha memberitahukan mereka: "Pergilah dan sebarkanlah Dharma ke tempat lain, untuk memberi kesempatan ke banyak orang untuk mencapai kebebasan dari penderitaan. Sebarkanlah Dharma supaya jiwa manusia dapat disucikan dan dicerahkan. Ada orang-orang yang siap untuk Dharma. Mereka akan mampu memahaminya. Saya sendiri akan pergi mengajar di Uruvela."

Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.

"Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, "Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya."

Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat "ehi bhikkhu" dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan "Tisaranagamana".

Sepanjang Perjalanan di Desa Uruvela
Ia berjalan menuju Magadha di sebelah tenggara, ke desa Uruvela. pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.

Mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, "Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?". Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, yang mahir melakukan ilmu-ilmu gaib, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang.

Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.

Sang Buddha menemui pertapa Uruvela Kassapa dan berkata:
"Apabila tidak menyusahkanmu, bolehkah Saya bermalam di ruang perapian?"
"O Bhikkhu Yang Mulia, tidaklah menyusahkan bagi saya, tetapi ada seekor ular yang ganas, berbisa dan mempunyai kemampuan yang tinggi di ruang perapian itu. Jangan sampai ular itu menggangguMu."

Sang Buddha meminta izin untuk ketiga kalinya, dan Beliau menerima jawaban yang sama dari pertapa tersebut. Kemudian Sang Buddha berkata:
"Ular itu tidak akan menggangguKu, Kassapa. Izinkanlah Saya tinggal satu malam di ruang perapian itu."

Setelah memperoleh izin, Sang Buddha memasuki ruang perapian dan menebarkan alas tempat duduk, dan Sang Guru kemudian duduk dengan tubuh dan pikiran yang tenang. Ular itu melihat dengan rasa ingin tahu siapa yang memasuki ruangannya, dan ia mengeluarkan desisnya yang mengeluarkan asap. Sang Buddha bermaksud untuk menghalangi kekuatan ular itu, dan Beliau juga mengeluarkan asap yang lebih banyak. Ular itu kemudian menyemburkan api; dan Sang Buddha juga melakukan hal yang sama.

Ketika para pertapa berambut kusut melihat ruang perapian itu bersinar terang, mereka mulai berpikir bahwa tamu yang cakap ini, akan dihancurkan oleh ular tersebut. Tetapi, keesokan paginya, Sang Buddha keluar dari ruang perapian dengan ular yang tergeletak di dalam mangkukNya, dan berkata:
"Datanglah ke sini Kassapa, ularmu yang mempunyai kekuatan ini dikalahkan oleh kekuatannya sendiri."

Lalu Uruvela Kassapa, pertapa berambut kusut ini berpikir:
"Dengan kemampuannya yang begitu luar biasa, sesungguhnya Beliau adalah Bhikkhu yang hebat, ia menaklukkan ular itu dengan kekuatanNya, kekuatan terhadap ular yang ganas dan berbisa itu. Sekalipun demikian, ia tidak dapat menjadi seorang Arahat (Orang Suci), seperti diriku."

Karena ia sudah melihat kemampuan yang besar dari Sang Buddha, Uruvela Kassapa berkata:
"O Bhikkhu Yang Mulia, maukah kamu tinggal di sini? Saya akan menyediakan makanan untukMu."

Kemudian Sang Buddha tinggal di hutan di dekat pertapaan Uruvela Kassapa. Pada malam itu, empat dewa penjaga mendatangi Sang Buddha, menyinari hutan itu dengan sinar terang yang memancar dari tubuhnya, dan sesudah menghormat kepada Sang Buddha mereka berdiri di empat penjuru seperti pancaran sinar api yang tinggi.

Pada pagi harinya, Uruvela Kassapa mendatangi Sang Buddha dan mengundang untuk menerima dana makanan, dan bertanya siapakah yang datang semalam, dan dijawab itu adalah empat dewa penjaga. Ia berpendapat bahwa Sang Buddha adalah Bhikkhu yang hebat, meskipun Beliau mempunyai kemampuan yang amat tinggi, tetapi Beliau bukanlah seorang Arahat, seperti dirinya.

Pada suatu hari, Uruvela Kassapa mengatur upacara persembahan yang besar dengan mengundang penduduk dari kerajaan Anga dan Magadha, dan menyediakan sejumlah besar makanan dan minuman. Ia takut apabila Sang Buddha tampil dengan mempertunjukkan kemampuan spiritualnya yang tinggi, maka ia akan kehilangan muka dari para pendukungnya, dan berharap supaya Sang Buddha tidak tampil pada upacara persembahan itu.

Sang Buddha mengetahui terlebih dahulu apa yang dipikirkan dan diharapkan dari tuan rumah, dan Beliau berjalan menuju Kuru (India Utara) untuk menerima dana makan siang yang Beliau nikmati di dekat Danau Anottata. Pada keesokan paginya, Uruvela Kassapa mengunjungi Sang Buddha dan bertanya mengapa kemarin Beliau tidak hadir pada upacara persembahan. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau telah mengetahui terlebih dahulu apa yang dipikirkan dan diharapkan Uruvela Kassapa dan Beliau pergi menuju India Utara untuk menerima dana makan siang.

Uruvela Kassapa mengakui Sang Buddha adalah orang yang memiliki kemampuan spriritual tinggi, karena Beliau dapat membaca pikiran orang lain, tetapi ia tetap berpendapat bahwa tamunya bukanlah seorang Arahat seperti dirinya.

Pada suatu hari, Sang Buddha ingin mencuci jubahNya, dan mencari sumber air yang jernih. Raja Sakka mengetahui keinginan Sang Buddha, lalu menciptakan empang dengan air yang jernih. Sesudah mencuci jubahNya, Sang Buddha mencari sebuah batu yang dapat digunakan untuk menggosok. Raja Sakka lalu memberikan sebuah batu. Hal yang sama, ketika Sang Buddha mencari tempat untuk menjemur jubah yang baru dicuci, sebuah cabang dari pohon Kakudha dibengkokkan oleh dewa yang berada di pohon itu. akhirnya, ketika jubah itu dibentangkan, Raja Sakka menyediakan papan batu yang besar.

Ketika Uruvela Kassapa mendatangi Sang Buddha keesokan paginya, ia melihat perbedaan di tempat itu, dan mengajukan beberapa pertanyaan dan ia mendengar adanya bantuan dari para dewa. Ia mengetahui kemampuan Sang Buddha yang amat tinggi, tetapi tetap menyatakan Beliau bukanlah seorang Arahat seperti dirinya.

Pada suatu hari, Sang Buddha memperoleh sebuah apel merah dari pohon apel yang berada di India (Jambudipa), asal dari pohon apel merah itu, yang amat terkenal dan Beliau menawarkannya kepada Uruvela Kassapa. Hal yang sama pula, Beliau memperoleh sekuntum bunga dari Parichattaka di alam surga. Sang Buddha dengan kemampuan yang amat tinggi membuat lima ratus ikat kayu bakar terbelah-belah, lalu membakar ke lima ratus ikat kayu tersebut, kemudian memadamkannya. Tidak ada seorang pertapapun yang mampu melakukan hal yang sama. Uruvela Kassapa hanya dapat menciptakan kobaran api di kayu bakar itu. Meskipun melihat hal demikian, Uruvela Kassapa tetap beranggapan Sang Buddha bukanlah seorang Arahat, seperti dirinya.

Akhirnya, terjadi hujan amat lebat sepeti ditumpahkan dari langit, yang menyebabkan banjir yang amat hebat. Tetapi tempat di mana Sang Buddha berada tidak tersentuh oleh banjir itu sedikitpun. Uruvela Kassapa datang dengan sebuah perahu untuk menolong Sang Guru Agung, tetapi ia amat keheranan ketika melihat Sang Buddha terbang ke angkasa dan turun ke atas perahunya. Tetapi ia tetap saja beranggapan Sang Buddha bukanlah seorang Arahat seperti dirinya.

Kemudian Sang Buddha menerangkan kepada Uruvela Kassapa, bahwa ia [Uruvela Kassapa] bukanlah seorang Arahat seperti yang disangkanya dan juga tidak menempuh jalan yang benar untuk menuju kebebasan yang sempurna. Uruvela Kassapa sadar, lalu menyatakan ia mencari perlindungan di bawah Sang Buddha, dan menjadi murid Sang Buddha.

Sang Buddha mengingatkan kepadanya bahwa ia harus memikirkan kesejahteraan kelima ratus muridnya. Ia lalu berbicara kepada kelima ratus muridnya, akhirnya Uruvela Kassapa beserta murid-muridnya membuang semua pakaian pertapa mereka ke sungai dan menjadi murid Sang Buddha.

Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya. Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa. Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.

Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta. Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut:

"Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama).

Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua).

Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga).

Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat).

Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima).

Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin (Ini adalah kelompok keenam).

Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa.Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu.
Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan.
Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung."

Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.

Menuju Kota Rajagaha
Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka. Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha. Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat,

"Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi."

Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.

Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.

Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).

Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.

Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.

Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.

Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.

Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran.

Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma.

Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, "Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?"

Uruvela Kassapa menjawab, "Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api."

Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, "Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan."

Kassapa menjawab, "Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan."

Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.

Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil, "Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi." .

Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dibawah perlindungan dari Sang Buddha dan menjadi pengikutNya. Raja Bimbisara menyumbangkan Taman Veluvana sebagai tempat tinggal Sang Buddha dan para Bhikkhu. Veluvana menjadi vihara pertama. Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.

Sigala Memuja di enam arah
Pada suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di Rajagaha, di Vihara Hutan Bambu, di Kandakavinapa (Tempat Pemeliharaan Tupai). Pada waktu itu, Sigala, putra kepala keluarga, bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha, dengan rambut dan pakaian basah, sambil ber-anjali ia menyembah ke berbagai arah, yaitu arah Timur, Selatan, Barat, Utara, bawah dan atas. Dan Sang Bhagava pada pagi hari itu, setelah mengenakan jubah serta membawa mangkukNya, pergi ke Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan (pindapatta). Kemudian Sang Bhagava melihat Sigala, putera kepala keluarga itu menyembah ke berbagai arah dan bertanya :
"O Putera kepala keluarga, mengapa engkau bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha, dengan rambut dan pakaian basah sambil ber-anjali, engkau menyembah ke berbagai arah, yaitu ke arah Timur, Selatan, Barat, Utara, bawah dan atas?"

"Yang Mulia, ketika ayahku menjelang wafat, beliau berkata kepadaku untuk menyembah ke enam arah. Demikianlah Yang Mulia, karena menghormati, mengindahkan, menjunjung dan menganggap suci kata-kata ayah itulah, maka saya bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha. Dengan rambut dan pakaian basah, sambil ber-anjali, saya menyembah ke enam arah."

Sang Buddha lalu berkata, "Tetapi anakKu, dalam agama seorang Ariya enam arah itu tidak seharusnya disembah dengan cara demikian."

Sigala, putera kepala keluarga itu bertanya :
"Yang Mulia, bagaimanakah seharusnya seorang Ariya menyembah ke enam arah itu? Alangkah baiknya apabila Sang Bhagava berkenan mengajarkan kepada saya, ajaran yang menguraikan caranya menyembah ke enam arah itu sesuai dengan agama seorang Ariya."

Memberi lima arahan pada Sigala
Sang Buddha kemudian menjelaskan kepada Sigala mengenai apa yang sebenarnya dimaksud oleh ayahnya, "O putera kepala keluarga, dengarkan dan perhatikan dengan baik kata-kataKu ini.

Karena siswa Ariya telah menyingkirkan empat kekotoran tingkah laku (kammakilesa), karena ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat (papakamma) yang didasari oleh empat dorongan, karena ia tidak mengejar enam saluran yang memboroskan kekayaan, maka dengan menjauhi (nasevati) empat belas hal buruk ini, ia adalah seorang pengayom enam arah itu, seorang penakluk (vijaya), yaitu ia akan sejahtera dalam alam ini dan alam berikutnya.

Pada saat penghancuran tubuhnya, setelah mati, ia akan terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga.

Apakah empat kekotoran tingkah laku yang telah ia singkirkan itu?

Yaitu membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berzinah dan berbohong.

Apakah empat dorongan yang mendasari perbuatan-perbuatan jahat yang tidak ia lakukan?
Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan :
  • atas dorongan rasa senang sepihak (chanda gati),
  • atas dorongan kebencian (dosa gati),
  • atas dorongan ketidak-tahuan (moha gati), dan
  • atas dorongan rasa takut (bhaya gati).
Tetapi karena para siswa Ariya tidak terseret oleh keempat dorongan-dorongan tersebut, maka ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat."

Kemudian Sang Buddha menerangkan lebih lanjut:

"Siapa pun yang karena rasa senang sepihak atau kebencian atau ketidak-tahuan atau ketakutan telah melanggar Dhamma, maka nama baik dan kemashyurannya akan menjadi pudar, bagaikan bulan yang susut pada masa bulan gelap."

"Siapa pun yang karena rasa senang sepihak atau kebencian, atau ketidak-tahuan atau ketakutan tidak pernah melanggar Dhamma, maka nama baik dan kemashyurannya menjadi sempurna dan penuh, bagaikan bulan purnama pada masa bulan terang."

"Dan apakah enam saluran yang memboroskan kekayaan itu?" Yaitu:
  1. Gemar minum minuman yang memabukkan,
  2. Berkeliaran di jalan pada saat yang tidak pantas,
  3. Mengejar tempat-tempat hiburan,
  4. Gemar berjudi,
  5. Bergaul dengan teman-teman jahat,
  6. Kebiasaan malas.
"O putera kepala keluarga, terdapat pula enam bahaya karena :
  1. Gemar minum minuman yang memabukkan, yaitu :

    • Kerugian harta secara nyata,
    • Bertambahnya pertengkaran,
    • Tubuh mudah terserang penyakit,
    • Kehilangan sifat yang baik,
    • Terlihat tidak sopan,
    • Kecerdasan menjadi lemah.

  2. Berkeliaran di jalan pada saat yang tidak pantas, terdapat enam bahayanya, yaitu:

    • Dirinya sendiri tidak terjaga dan tidak terlindung,
    • Anak isterinya tidak terjaga dan tidak terlindung,
    • Harta kekayaannya tidak terjaga dan tidak terlindung,
    • Ia dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan-kejahatan yang belum terbukti,
    • Menjadi sasaran desas-desus palsu,
    • Ia akan menjumpai banyak kesulitan.

  3. Mengejar tempat-tempat hiburan, bahaya-bahayanya adalah ia akan selalu berpikir:

    • Dimanakah ada tari-tarian,
    • Dimanakah ada nyanyi-nyanyian,
    • Dimanakah ada pertunjukan musik,
    • Dimanakah ada pembacaan deklamasi,
    • Dimanakah ada permainan tambur,
    • Dimanakah ada permainan genderang.

  4. Gemar berjudi, bahaya-bahayanya adalah :

    • Bila menang, ia memperoleh kebencian,
    • Bila kalah, ia kehilangan harta kekayaannya,
    • Kerugian harta benda secara nyata,
    • Di pengadilan kata-katanya tidak berharga,
    • Ia dipandang rendah oleh sahabat-sahabat dan pejabat-pejabat pemerintah,
    • Ia tidak disukai oleh orang-orang yang akan mencari menantu, karena mereka akan berkata bahwa seorang penjudi tidak dapat memelihara seorang isteri.

  5. Bergaul dengan teman-teman jahat, bahaya-bahayanya adalah ia menjadi teman dan sahabat dari:

    • Setiap penjudi,
    • Setiap orang yang gemar berfoya-foya,
    • Setiap pemabuk,
    • Setiap penipu,
    • Setiap orang yang kejam.

  6. Kebiasaan menganggur (malas), bahaya-bahayanya adalah ia akan selalu berkata:

    • 'Terlalu dingin' dan ia tidak bekerja,
    • 'Terlalu panas' dan ia tidak bekerja,
    • 'Terlalu pagi' dan ia tidak bekerja,
    • 'Terlalu siang' dan ia tidak bekerja,
    • 'Aku terlalu lapar' dan ia tidak bekerja,
    • 'Aku terlalu kenyang' dan ia tidak bekerja.
Dengan demikian semua yang harus ia kerjakan tetap tidak dikerjakan, harta kekayaan baru tidak ia peroleh dan harta kekayaan yang sudah ia miliki menjadi habis."

Sang Buddha kemudian menerangkan :
"O putera kepala keluarga, terdapat empat macam orang yang harus dianggap musuh yang berpura-pura menjadi sahabat, yaitu :
  1. Orang yang tamak,
  2. Orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apapun,
  3. Penjilat,
  4. Kawan pemboros.
Terdapat pula empat dasar yang menyebabkan orang yang seharusnya dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat, yaitu :
  1. Orang yang tamak, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

    • Ia tamak,
    • Ia memberi sedikit dan meminta banyak,
    • Ia melakukan kewajibannya karena takut,
    • Ia hanya ingat akan kepentingannya sendiri.

  2. Orang yang banyak bicara, tetapi tidak berbuat sesuatu apapun, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

    • Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang lampau,
    • Ia menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang mendatang,
    • Ia berusaha untuk mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong,
    • Bila ada kesempatan untuk membantu ia mengatakan tidak sanggup.

  3. Penjilat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

    • Ia menyetujui hal-hal yang salah,
    • Ia tidak menganjurkan hal-hal yang benar,
    • Ia akan memuji dirimu dihadapanmu,
    • Ia berbicara jelek tentang dirimu dihadapan orang-orang lain.

  4. Kawan pemboros mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

    • Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar akan minum minuman keras,
    • Ia menjadi kawanmu apabila engkau sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas,
    • Ia menjadi kawanmu apabila engkau mengejar tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan,
    • Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar berjudi."
Sang Bhagava lalu mengucapkan syair berikut:

"Sahabat yang selalu mencari apa-apa untuk diambil, sahabat yang kata-katanya berlainan dengan perbuatannya, sahabat yang menjilat, lagi pula hanya berusaha membuat engkau senang, sahabat yang gembira dengan cara-cara jahat. Empat ini adalah musuh-musuh. Setelah menyadarinya demikian, biarlah orang bijaksana menghindari mereka dari jauh, seakan mereka jalan yang berbahaya dan menakutkan."

"O putera kepala keluarga, terdapat empat macam sahabat yang harus dipandang berhati tulus (suhada), yaitu:
  1. Sahabat penolong,
  2. Sahabat pada waktu senang dan susah,
  3. Sahabat yang memberi nasehat yang baik,
  4. Sahabat yang bersimpati.
Atas empat dasar inilah sahabat penolong harus dipandang berhati tulus:
  1. Sahabat penolong berhati tulus karena :

    • Ia menjaga dirimu sewaktu engkau lengah,
    • Ia menjaga milikmu sewaktu engkau lengah,
    • Ia menjadi pelindung dirimu sewaktu engkau dalam ketakutan,
    • Ia memberikan bantuan dua kali daripada apa yang engkau perlukan.

  2. Sahabat pada waktu senang dan susah berhati tulus karena:

    • Ia menceritakan rahasia-rahasia dirinya kepadamu,
    • Ia menjaga rahasia dirimu,
    • Ia tidak akan meninggalkan dirimu sewaktu engkau berada dalam kesulitan
    • Ia bahkan bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.

  3. Sahabat yang memberi nasehat yang baik, berhati tulus karena:

    • Ia mencegah engkau berbuat jahat,
    • Ia menganjurkan engkau untuk berbuat yang benar,
    • Ia memberitahukan apa yang belum engkau pernah dengar,
    • Ia menunjukkan engkau jalan ke surga.

  4. Sahabat yang bersimpati, berhati tulus karena:

    • Ia tidak bergembira atas kesengsaraanmu,
    • Ia merasa senang atas kesejahteraanmu,
    • Ia mencegah orang lain berbicara jelek tentang dirimu,
    • Ia membenarkan orang lain yang memuji dirimu.
"O putera kepala keluarga, bagaimanakah caranya siswa Ariya melindungi enam arah itu?

Enam arah itu harus dipandang sebagai berikut:
  1. Ibu dan ayah seperti arah Timur,
  2. Para guru seperti arah Selatan,
  3. Isteri dan anak-anak seperti arah Barat,
  4. Sahabat-sahabat dan kawan-kawan seperti arah Utara,
  5. Pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan seperti arah bawah,
  6. Guru-guru agama dan brahmana-brahmana seperti arah atas,
"AnakKu, Sigala, putera kepala keluarga, dengarkanlah baik-baik keterangan ini :
  1. Ibu dan ayah seperti arah Timur.

    Ada lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur:

    • Dahulu aku ditunjang oleh mereka, sekarang aku menjadi
      penunjang mereka,
    • Aku akan menjalankan kewajibanku terhadap mereka
    • Aku akan pertahankan kehormatan keluargaku,
    • Aku akan mengurus warisanku,
    • Aku akan melakukan/mengatur persembahan untuk sanak keluarga yang telah meninggal.

    • [note: konteks persembahan kepada yang telah meninggal adalah upacara pelimpahan jasa sebagaimana tercantum pada tirokudda sutta dan Sariputtattheramatupetivatthuvannana, Pembahasannya lihat di sini]

    Dalam lima cara inilah, orang tua yang diperlakukan demikian oleh seorang anak seperti arah Timur, menunjukkan kecintaan mereka kepadanya dengan:

    • Mencegah anaknya berbuat jahat,
    • Mendorong mereka berbuat baik,
    • Melatihnya dalam suatu profesi,
    • Mencarikan pasangan (suami/isteri) yang pantas,
    • Pada waktu yang tepat, mereka menyerahkan warisan kepada anaknya.

    O putera kepala keluarga, dalam lima cara inilah seorang anak memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur.

    Dalam lima cara inilah orang tua menunjukkan kecintaan mereka kepadanya. Demikianlah arah Timur ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.

  2. Para guru seperti arah Selatan.

    Ada lima cara siswa-siswa harus memperlakukan guru-guru mereka seperti arah Selatan:

    • Dengan bangkit (dari tempat duduk untuk memberi hormat),
    • Dengan melayani mereka,
    • Dengan bersemangat untuk belajar,
    • Dengan memberikan jasa-jasa kepada mereka,
    • Dengan memberikan perhatian sewaktu menerima ajaran dari mereka.

    Dalam lima cara inilah, guru-guru yang diperlakukan demikian oleh siswa-siswa mereka seperti arah Selatan, akan mencintai siswa-siswanya dengan:

    • Melatihnya sedemikian rupa sehingga ia selalu baik,
    • Membuatnya menguasai apa yang telah diajarkan,
    • Mengajarnya secara menyeluruh dalam berbagai ilmu dan seni,
    • Berbicara baik tentang dirinya di antara sahabat-sahabatnya dan kawan-kawannya,
    • Menjaga keselamatannya di semua tempat.

    O putera kepala keluarga, dengan lima cara inilah siswa-siswa memperlakukan guru-guru mereka seperti arah Selatan.

    Dalam lima cara inilah guru-buru mencintai siswa-siswa mereka. Demikianlah arah Selatan ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.

  3. Isteri dan anak-anak seperti arah Barat.

    Dengan lima cara seorang isteri harus diperlakukan oleh suaminya seperti arah Barat:

    • Dengan menghormati,
    • Dengan bersikap ramah-tamah,
    • Dengan kesetiaan,
    • Dengan menyerahkan kekuasaan rumah-tangga kepadanya,
    • Dengan memberikan barang-barang perhiasan kepadanya.

    Dengan enam cara inilah, seorang isteri yang diperlakukan demikian oleh suaminya seperti arah Barat dengan:

    • Mencintainya,
    • Menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik,
    • Bersikap ramah-tamah terhadap sanak-keluarga kedua belah pihak,
    • Dengan kesetiaan,
    • Dengan menjaga barang-barang yang diberikan suaminya,
    • Pandai dan rajin dalam melaksanakan segala tanggung-jawabnya.

    O putera kepala keluarga, dengan lima cara inilah seorang suami memperlakukan isterinya seperti arah Barat.

    Dalam enam cara inilah seorang isteri mencintai suaminya. Demikianlah arah Barat ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.

  4. Sahabat-sahabat dan kawan-kawan seperti arah Utara.

    Dengan lima cara seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan kawan-kawannya seperti arah Utara dengan:

    • Bermurah hati,
    • Berlaku ramah,
    • Memberikan bantuan,
    • Memperlakukan mereka seperti ia memperlakukan dirinya sendiri,
    • Berbuat sebaik ucapannya.

    Dalam lima cara inilah, o putera kepala keluarga, sahabat-sahabat dan kawan-kawan yang diperlakukan demikian oleh seorang warga keluarga seperti arah Utara, mencintainya dengan:

    • Mereka melindunginya sewaktu ia lengah,
    • Mereka melindungi harta miliknya sewaktu ia lengah,
    • Mereka menjadi pelindung sewaktu ia berada dalam bahaya,
    • Mereka tidak akan meninggalkannya sewaktu ia sedang dalam kesulitan,
    • Mereka menghormati keluarganya.

    O putera kepala keluarga, dalam lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan kawan-kawannya seperti arah Utara.

    Dalam lima cara inilah sahabat-sahabat dan kawan-kawan mencintainya. Demikianlah arah Utara ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.

  5. Pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan seperti arah bawah.

    Dalam lima cara seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan karyawan-karyawannya seperti arah bawah:

    • Dengan memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka,
    • Dengan memberikan mereka makanan dan upah,
    • Dengan merawat mereka sewaktu mereka sakit,
    • Dengan membagi barang-barang kebutuhan hidupnya,
    • Dengan memberikan cuti pada waktu-waktu tertentu.

    Dalam lima cara inilah, o putera kepala keluarga, pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan yang diperlakukan demikian oleh majikan seperti arah bawah, akan mencintainya dengan cara:

    • Mereka bangun lebih pagi daripadanya,
    • Mereka merebahkan diri untuk beristirahat setelahnya,
    • Mereka puas dengan apa yang diberikan kepada mereka,
    • Mereka melakukan kewajiban-kewajiban mereka dengan baik,
    • Dimanapun mereka berada mereka akan memuji majikannya, memuji keharuman namanya.

    O putera kepala keluarga, dalam lima cara inilah seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan karyawan-karyawannya seperti arah bawah.

    Dalam lima cara inilah pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan mencintainya. Demikianlah arah bawah ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.

  6. Guru-guru agama dan brahmana-brahmana seperti arah atas.

    Dalam lima cara seorang warga keluarga harus memperlakukan para pertapa dan brahmana seperti arah atas:

    • Dengan cinta kasih dalam perbuatan,
    • Dengan cinta kasih dalam perkataan,
    • Dengan cinta kasih dalam pikiran,
    • Membuka pintu rumah bagi mereka (mempersilahkan mereka),
    • Menunjang kebutuhan hidup mereka pada waktu-waktu tertentu.

    Dalam enam cara inilah, o putera kepala keluarga, para pertapa dan brahmana yang diperlakukan demikian oleh seorang warga keluarga seperti arah atas, akan menunjukkan kecintaan mereka:

    • Mereka mencegah ia berbuat jahat,
    • Mereka menganjurkan ia barbuat baik,
    • Mereka mencintainya dengan pikiran penuh kasih sayang,
    • Mereka mengajarkan apa yang belum pernah ia dengar,
    • Mereka membenarkan dan memurnikan apa yang pernah ia dengar,
    • Mereka menunjukkan ia jalan ke surga.

    O putera kepala keluarga, dalam lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana seperti arah atas.

    Dalam enam cara inilah para pertapa dan brahmana menunjukkan kecintaan mereka kepadanya. Demikianlah arah atas ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya."
Setelah Beliau selesai berkata demikian, Sigala, putera kepala keluarga itu, berkata dengan amat gembira,

"Sungguh mengagumkan, Yang Mulia! Sungguh mengagumkan, Yang Mulia!

Sama halnya seperti seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan, agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya.

Demikian pula, dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Bhagava kepada saya.

Dan sekarang, Yang Mulia, saya menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma serta Sangha.

Semoga Yang Mulia berkenan menerima saya sebagai seorang upasaka (Pengikut Buddha bukan Bikkhu), yang sejak hari ini sampai selama-lamanya telah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma serta Sangha."
 
sumber :  http://wirajhana-eka.blogspot.com/2007/11/tantrayana-bhairawa-rwa-bineda-dan-siwa.html

No comments:

Post a Comment