Pengunjung

free counters

Thursday, December 6, 2012

Anjing yang Masuk Swarga



0Sh
Anjing yang Masuk Swarga
Sekelumit catatan ini, hanyalah sebagai respon curhatan atau lebih tepatnya obrolan saya dengan seorang Ibu yang memiliki putri kelas 3 SD. Ibu ini bertutur kepada saya, tentang pertanyaan-pertanyaan yang nyleneh dari putrinya—lebih tepatnya cukup membuat Ibu’nya bingung untuk mendapatkan jawaban yang tepat atas pertanyaan putrinya tersebut. Ada dua pertanyaan dari putrinya yang diceritakan kepada saya. Pertama, kenapa malaikat gak mau masuk ke rumah yg ada anjingnya? kan malaikat itu makhluk yg tak bernafsu,kok dia gak mau sih? Kemudian kedua, suatu saat putrinya gak mau diajak pulang dari masjid sama mbaknya alasannya karena belum ketemu sama allah.
Catatan ini hanya sekedar memberikan tambahan catatan yang mungkin teman-teman sudah memiliki catatan tertentu berkaitan tentang anjing. Apapun catatan Anda,…monggo. Dan catatan saya ini hanyalah catatan yang bisa jadi berbeda dengan catatan yang selama ini sudah Anda catat—atau bahkan catatan Anda selama ini malah sudah menjadi keyakinan Anda terhadap Anjing.
Apapun catatan kita tentang anjing adalah sah. Toh,…semua itu juga hanya sekedar catatan dari proses kita membaca; hasil dari pengalaman olah panca indera kita mencatat kasunyatan yang ada. So, dengan demikian sangat tidak bijak ketika kemudian kita bertengkar ataupun membela mati-matian catatan kita masing-masing. Jelas, bahwa di wilayah catatan bisa jadi setiap kita tidak sama.
Anjing yang masuk Swarga dalam cerita perjalanan hidup Yudistira
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjadi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan anjingnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma, Ayahnya. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian, karena waktunya yang sebentar di Neraka adalah sebagai penebus dosa ketidakjujuran Yudistira terhadap Drona soal kematian Aswatama. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga, sementara para korawa akan menjalani siksaan yang kekal di neraka.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
Bagi kebanyakan orang -terutama muslim-, hewan yang satu ini dianggap sebagai hewan yang menakutkan, menjijikkan, kotor dan label-label “minus” lainnya. Dalam syariat (hukum) Islam sendiri, segala sesuatu yang basah (kullu ruthbin) dan berasal dari tubuh anjing -seperti air liur, kencing, kotoran, hidung dan lain sebagainya- dihukumi sebagai najis mugholladzoh (najis berat). Sehingga ketika seseorang terkena olehnya, ia diwajibkan untuk mencucinya dengan 7 kali basuhan dan salahsatunya menggunakan tanah. Selain itu, hukum memakannya adalah haram.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan anjing. Saya lebih tertarik untuk sedikit mengupas sisi baik yang terdapat pada hewan yang “kadung” dicap sebagai hewan berkasta rendah lagi najis ini, lalu kemudian mencoba meneladaninya.
Lha, kok meneladani anjing? Yak!, seperti saya bilang di atas, di balik label-label negatif dari hewan ini, ada sifat-sifat baik yang justeru menurut al-Qulyubi dalam kitabnya an-Nawadir patut dijadikan sebagai teladan. Bahkan beliau menambahkan, sekiranya sifat-sifat baik yang melekat pada diri anjing dimiliki oleh manusia, niscaya ia akan sampai pada kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT. Lagi pula, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari segala sesuatu yang baik. Jangankan anjing yang termasuk hewan besar, Allah SWT juga memerintahkan kita mengambil pelajaran serta hikmah dari seekor nyamuk atau lalat yang juga “bernasib sama”, yaitu sama-sama dicap menjijikkan, kotor dan biang penyakit.
Nah, berikut ini sifat-sifat baik yang ada pada seekor anjing.
Pertama, anjing adalah hewan yang seringkali merasakan lapar. Hal ini mengingatkan kita pada keadaan orang-orang yang saleh. Orang-orang saleh adalah mereka yang senantiasa ruhaninya merasakan lapar akan ”harapan dan rindu” untuk diridlai dan dicintai oleh Allah SWT. Bagi orang-orang saleh, setiap perintah Allah SWT adalah pengenyang lapar ruhaninya, dan setiap detik usia adalah waktu untuk bersantap.
Kedua, pada umumnya anjing tidak memiliki tempat tinggal yang mewah di dunia. Anjing tidak pernah meminta diberikan tempat tinggal yang mewah kepada tuannya. Di manapun ia ditempatkan, ia akan dengan senang hati menerimanya. Sama seperti halnya orang yang berpasrah diri (tawakkal) kepada Allah SWT. Insan yang bertawakkal adalah mereka yang menyerahkan segala urusan hidupnya kepada Allah SWT. Karenanya, di manapun, bagaimanapun dan seperti apapun keadaan dirinya, ia tidak pernah berkeluh kesah karena kuatnya keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan apa yang dibutuhkan olehnya, bukan apa yang diinginkan.
Ketiga, Anjing adalah hewan yang biasanya hanya tidur sebentar, seperti keberadaan orang yang punya kecintaan besar pada Allah (muhibbin). Seorang pecinta Tuhan, lebih banyak menggunakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, daripada “membuangnya” percuma dengan tidur yang berlebihan. Bahkan ketika tidurpun, ruhaninya tetap “siaga” dan “terjaga” untuk mengingat Allah.
Keempat, anjing tidak memiliki harta, sebagaimana kondisi orang-orang zuhud atau merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Kelima, anjing tidak akan meninggalkan tuannya sendirian, kendati tuannya sendiri tidak menghiraukannya, seperti sifat orang-orang yang selalu ingin dekat pada Allah (muridin).
Keenam, anjing rela ditempatkan di mana saja, seperti sifatnya orang-orang tawadlu’.
Ketujuh, anjing rela untuk pergi dari tempat di mana ia diusir ke tempat lainnya, seperti sifatnya orang-orang yang ridla kepada kehendak Allah.
Kedelapan, jika seekor anjing dipukul lalu diberi sesuatu. Ia akan kembali dan mengambilnya tanpa merasa dendam, seperti sifat orang-orang yang khusyu’.
Masih banyak sebenarnya sifat-sifat baik yang terdapat pada seekor anjing yang bisa kita jadikan sebagai sebuah tauladan. Tinggal terserah kita saja, mau tidak belajar dari seekor anjing?
Anjing sebagai symbol Dewa Dharma
Dalam cerita Yudistira yang memasuki swarga dengan anjing, dan ternyata anjing kemudian berubah wujud menjadi Dewa Dharma yang tak lain adalah Anyahnya. Yang mendampingi Yudistira masuk swarga adalah Dewa Dharma. Wujudnya adalah anjing. Ini sebagai symbol, bahwa hanya dengan dharma-lah manusia bisa memasuki swarga. Dharma memiliki arti segala perbuatan atau tindakan yang memuliakan, yang luhur yang bermafaat bagi orang banyak dan selaras dengan alam. Dan anjing memberikan teladan bagaimana agar manusia memiliki sifat juga sikap dharma tersebut.
Khasanah kearifan Jawa memberikan penjelasan tersendiri terhadap siapakah orang yang akan masuk swarga? Ritual-ritual yang kita lakukan (contoh: sholat, puasa,dll), berikut persembahan-persembahan yang kita persembahkan kepada Tuhan—tidak akan mampu menghantarkan diri kita masuk swarga. Tetapi yang akan membuat diri kita memasuki swarga adalah perilaku-perilaku bajik kita. Tindakan-tindakan dharma kita. Karenanyalah, Jawa sangat memegang prinsip “wong nandhur bakal ngundhuh atau manungsa bakal ngundhuh wohing pakarti”.
Referensi tentang Anjing:
1. Anjing yang Masuk Surga (pengarang Dawam Rahardjo)
2. Berguru kepada Anjing (pengarang lupa)
3. Ceritera Ash-haabul Kahfi

sumber :  http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/11/anjing-yang-masuk-swarga/

No comments:

Post a Comment