Pengunjung

free counters

Sunday, December 16, 2012

Manusia ~ Makhluk dalam Persimpangan.

Mereka yang kejam dan pembenci,
adalah manusia-manusia yang paling hina di dunia ini;
Aku campakkan mereka berkali-kali ke dalam kandungan raksasa.
Terjerumus ke dalam kandungan raksasa, mereka yang bingung ini,
dalam berbagai kelahirannya tak akan pernah mencapai-Ku,
sehingga mereka jatuh ke jalan yang paling rendah, wahai Kuntiputra.

~Bhagavad Gita XVI-19 dan 20.

Antara Naluri dan Intuisi.

Naluri merupakan bagian dari kebinatangan, akal-budi merupakan bagian dari kemanusiaan, dan intuisi merupakan bagian dari kedewataan atau keilahian. Semakin sering dan semakin cenderung seseorang menggunakan nalurinya, ciri dari semakin kuat kebinatangannya.

Seperti halnya naluri, intuisipun memberi kepekaan kepada manusia. Bedanya, kalau kepekaan yang diberikan oleh naluri bersifat hewani, maka kepekaan yang diberikan oleh intuisi bersifat ilahi; kalau kepekaan dari naluri bertumpu pada kondisi fisikal dan kinerja indriawi, maka kepekaan dari intuisi bertumpu pada kondisi spiritual dan kinerja rokhani. Kalau naluri lebih dibutuhkan guna tetap bertahan hidup (survival-instink), maka intuisi dibutuhkan untuk meningkatkan martabat-kelahiran.

Hadirnya pikiran dan terutama akal-budi memberi kelebihan kepada manusia dibandingkan dengan binatang. Ia lebih halus dari naluri, namun lebih kasar dari intuisi. Ia merupakan ciri kemanusiaan kita. Akal-budi memberi manusia kemampuan untuk membedakan antara: baik dengan buruk, benar dengan salah, pantas dengan tak-pantas, patut dengan tak-patut, dan sejenisnya, yang tidak bisa diberi oleh naluri. Sejauh-jauhnya, naluri hanya mampu memberi manusia kemampuan untuk membedakan antara: bagus dengan jelek, enak dengan tidak-enak, nyaman dengan tidak-nyaman, menyenangkan dan tidak menyenangkan atau hal-hal sejenis yang bertumpu kuat pada kepekaan dan kinerja indriawi.

Naluri, akal-budi dan intuisi, ketiganya bisa diasah. Sebagai manusia hendaknyalah kita lebih mengasah akal-budi ketimbang naluri; dan sebagai manusia yang mendambakan keilahian, hendaknyalah kita memilih untuk lebih mengasah intuisi ketimbang akal-budi.

Kalau kuatnya naluri mencerminkan masih kuatnya kebinatangan seseorang, dan kuatnya akal-budi mencerminkan kuatnya kemanusiaan seseorang, maka kuatnya intuisi mencerminkan sudah kian kuatnya keilahiannya.

Keseimbangan Proporsinal dari Triguna.

Manusia yang kebinatangannya masih kuat, di dalam mithologi-mithologi digambarkan sebagai raksasa atau asura. Pada raksasa, baik naluri maupun akal-budi sama kuatnya. Kalau binatang lebih didominasi oleh sifat tamas dan rajas, maka pada raksasa juga demikian. Namun kelebihannya, pada raksasa sudah mulai ada unsur sattvam-nya.

Semakin kuat unsur sattvam pada raksasa, semakin manusiawilah ia jadinya. Raksasa merupakan wilayah transisi dari binatang ke manusia. Unsur sattvam yang masih remang-remang pada raksasa, sudah semakin jelas pada manusia.

Umumnya, pada manusia masing-masing guna ada dalam keseimbangan proporsional. Meningkatnya kadar tamasika, menguatkan kebinatangannya. Meningkatnya kadar rajasika, menguatkan keraksasaannya. Meningkatnya kadar sattvika, menguatkan kemanusiaannya. Kian menurunnya kadar tamasika-nya yang juga diikuti dengan kian naiknya kadar sattvika-nya, menguatkan kedewataannya. Sirnanya sifat tamasika-nya serta melemahnya rajasika-nya sehingga menjadi sedemikian kuat sattvika-nya menjadikannya manusia-dewa atau vasu.

Sattvam sudah bercahaya terang pada dewa. Kendati masih punya rajas, pada para dewa sifat tamas sudah sirna. Makanya manusia dikatakan bak ‘makhluk dalam persimpangan’; persimpangan antara raksasa (asura)—atau manusia yang masih kuat kadar kebinatangannya, kadar rajas dan tamas-nya—dengan dewa (sura).

Pertempuran Abadi.

Pada diri manusia terjadi tarik-menarik hingga peperangan antara dua kekuatan besar: surik dan asurik, tak-ubahnya seperti yang digambarkan di dalam kisah pengadukan Ksirarnawa dengan memutar Mandaragiri guna memperoleh Tirtha Amrta atau Anugerah Keabadian itu. Mendengar kisah itu, bisa saja Anda kemudian bertanya: Kenapa di dalam purana atau mithologi itu manusia tidak terlibat?; Kalau ia bersifat kesejarahan, apakah saat itu belum ada manusia?

Bukan begitu pola-pikir yang dianut oleh sebuah purana. Purana menuturkan segala sesuatunya secara simbolik. Sebuah purana penuh dengan simbol-simbol, kias-kias, sindir-sindir serta perlambang-perlambang. Memang begitulah gaya susastra yang dianut oleh para orang-orang suci di jaman itu di dalam mengungkapkan sesuatu yang bersifat kerokhanian dan ‘rahasia’. Dibutuhkan kematangan akal-budi (buddhi), kecukupan kearifan-rokhani (vijñana) dan seporsi intuisi untuk bisa mengungkap apa yang dimaksudkan. Secara simbolik, kisah itu justru mengilustrasikan apa yang terjadi pada diri manusia itu sendiri, dimana terkadang asura yang menang, dan terkadang sura yang menang. Pertempuran abadi selalu terjadi pada manusia. Bila asura yang menang, ia menjadi cenderung keraksasan. Bila sura yang menang, ia cenderung kedewataan. Dalam terminologi lain, asura adalah makhluk yang cenderung pada hal-hal yang bersifat adhrama; sebaliknya sura cenderung pada hal-hal yang bersifat dharma.

Hanya pada manusia, atau makhluk yang telah benar-benar proporsional triguna-nyalah mungkin terjadi konflik-internal antara kecenderungan surik dengan asurik, antara dharma dengan adharma. Kalau pada binatang konflik itu belum ada, karena binatang hanya didominasi oleh rajas dan tamas, maka pada raksasa ia sudah mulai ada namun masih samar, belum sejelas pada manusia. Mereka masih didominasi oleh rajas dan tamas serta masih rendah kadar akal-budinya. Sattvam masih sedemikian samarnya pada raksasa untuk bisa melahirkan konflik-internal. Sri Krishna menasehatkan: “Biarlah kitab-kitab suci menjadi penuntunmu di dalam menentukan apa-apa yang harus dan patut dikerjakan, serta yang tak-perlu dan tak-patut dikerjakan; setelah mengetahui ajaran-ajaran yang terumus di dalamnya, berjalan dalam tuntunanya, laksanakanlah kewajibanmu di dunia ini”.

Akhirnya, dalam rangka memantapkan dharma-sadhana setiap orang yang berhasrat kuat untuk memenangkan dharma atas adharma pada dirinya, pada tataran batiniahnya, terasa besar sekali manfaat dari petunjuk seorang wiku berikut:

Kalau tapa-brata melemahkan tamas dan rajas,
maka yoga-samadhi menguatkan sattvam.
Tapa-brata menguatkan akal-budi,
dan yoga-samadhi menguatkan intuisi.
Tapa-brata memanusiakan manusia,
yoga-samadhi mengangkat martabatnya menjadi dewata.


Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu setiap insan.

Pernah dipublikasikan di majalah Warta Hindu Dharma No. 465 — edisi Oktober 2005.
Source : BeCeKa

sumber :  http://okanila.brinkster.net/DataCetak.asp?ID=1364

No comments:

Post a Comment