Pengunjung

free counters

Wednesday, March 20, 2013

Misteri Penderitaan, Yang Telah Tersibak

Di antara semua misteri kehidupan yang ada di Alam Semesta ini, penderitaan merupakan suatu misteri kehidupan yang terpelik dan terumit. Betapa tidak! Ada banyak orang yang bahkan masih meragukan eksistensi penderitaan itu sendiri, apakah memang betul-betul ada ataukah hanya semata-mata berfungsi sebagai pengungkap lawan-kata kata "kebahagiaan". Padahal, eksistensi penderitaan ini sebenarnya boleh dianggap sebagai sisi yang paling dasar jika dibandingkan dengan banyak sisi lainnya. Dengan bersumber acuan pada Kitab Suci Tipitaka Pâli, semua sisi itu secara garis besarnya akan diungkap melalui artikel di bawah ini. Selanjutnya, setelah artikel ini selesai disimak dan dipahami dengan seksama, pertanyaan-pertanyaan yang bernada seperti: Memang ada penderitaankah? Apakah penderitaan itu? Dapatkah penderitaan itu dilenyapkan? bagaimanakah cara melenyapkannya? Siapakah sesungguhnya yang berhasil melenyapkan penderitaan itu? Dan banyak rentetan pertanyaan lain; diharapkan tidak akan mencuat lagi di benak umat Buddha khususnya, dan umat manusia umumnya.

        Penderitaan adalah suatu misteri kehidupan yang sangat sulit dipecahkan. Kapan misteri ini mulai muncul dan mengisi Alam Semesta ini belumlah dapat dipastikan. Yang jelas, misteri ini tidak pernah menjadi catatan yang basi dalam sejarah perjalanan Alam Semesta ini.
        Makhluk hidup, sebagai penghuni Alam Semesta, tentu saja mempunyai kaitan dan hubungan erat dengan penderitaan. Dengan perkataan lain yang lebih jelas, dapatlah dinyatakan bahwa penderitaan adalah persoalan tunggal yang dihadapi setiap makhluk. Sejak dini sekali, penderitaan telah bercengkerama dengan semua makhluk hidup. Kekuasaannya tidak hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup yang masih lugu di zaman baheula saja. Tetapi, lebih dari itu, penderitaan masih tetap merajalela pada zaman apa pun dan di mana pun juga. Selama masih ada kehidupan, penderitaan selalu dapat dikenali dan dijumpai. Ketidak-hadirannya berarti tidak adanya kehidupan. Semua waktu yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup tersita untuk melayani ulahnya yang sesungguhnya sangat menjengkelkan itu. Tetapi, penderitaan tidak pernah peduli dengan semua itu. Penderitaan seakan-akan tidak pernah merasa bosan dan jemu dengan tampang-tampang menyedihkan yang terlukis dan tergurat secara jelas maupun samar-samar pada setiap makhluk hidup. Tampaknya, penderitaan tidak ingin dikubur atau dilupakan begitu saja. Hasrat untuk dapat selalu hadir di tengah-tengah makhluk hidup terasa berat untuk dilepaskan.
        Dalam menentukan mangsanya, penderitaan sama sekali tidak pernah pandang bulu. Apakah makhluk hidup itu tinggal di Alam Neraka, Alam Setan, Alam Binatang, Alam Raksasa, Alam manusia, Alam Surga[1], maupun di Alam Brahma; kesemuanya berada di dalam cengkeramannya yang mengerikan.
[1] Tanpa meneliti definisi kata "Surga" berdasarkan kata induknya, "SVARGA" (sanskrit), banyak orang menganggap Alam ini sebagai suatu Alam yang kekal; yang di dalamnya terdapat kehidupan bahagia yang abadi. Tampaknya, masih banyak orang yang terperangkap oleh perwujudan semu penderitaan sebagai "kesenangan sesaat". Berkenaan dengan hal ini, Prof. Rhys Davids, Ph.D. mengomentari, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah kemanusiaan, Sang Buddha menyatakan bahwa para dewa/gods —makhluk yang tinggal di Alam Surga— juga membutuhkan Kebebasan Sejati bagi diri mereka sendiri!"
        Secara teoritis, penderitaan dapat dipilih menjadi tiga bagian, yaitu: penderitaan sebagai derita biasa, penderitaan sebagai akibat dari perubahan, dan penderitaan sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi. Adapun penampilannya dalam kehidupan sehari-hari, penderitaan jenis pertama terwujud dalam bentuk: kelahiran; usia tua; kesakitan; berkumpul dengan yang tidak disenangi; terpisah dari yang dicintai; tidak mendapatkan apa yang didambakan; kesedihan; keluh-kesah; kekecewaan; gangguan fisik maupun mental; dan kematian. Penderitaan jenis kedua mencakup semua keadaan yang terpengaruh oleh hukum perubahan. Penderitaan jenis terakhir timbul sebagai akibat dari tidak adanya inti yang kekal dari unsur-unsur yang membentuk setiap makhluk hidup, yaitu: badan jasmani, perasaan, pencerapan/ingatan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran; yang secara garis besarnya lebih dikenali sebagai unsur jasmani dan unsur batin.
        Bertolak-belakang dengan kecenderungan umat manusia pada umumnya, yang seakan-akan menyembunyikan adanya penderitaan dengan mengkhayalkan keselamatan-keselamatan semu yang diharapkan akan dapat dicapai setelah kematian, Sang Buddha mengakui keabsahan penderitaan sebagai suatu keadaan-tetap yang mewarnai kehidupan ini. Bahkan Beliau memaparkan bukti-bukti nyata tentang adanya penderitaan. Pemahaman tentang adanya penderitaan itulah yang justru menjadi salah satu sebab yang membuat Beliau berani menyatakan diri kepada dunia dan kepada semua makhluk bahwa Beliau telah mencapai Pencerahan Agung (Anuttara Sammasambodhi). Tanpa memiliki pengetahuan dan pengertian tentang hal itu, Sang Buddha tidak akan menyatakan diri sebagai Sammasambuddha[2]. Kepada seorang brahmana yang bernama Sela, Sang Buddha menyatakan:
"Saya telah memahami apa yang seharusnya dipahami. Apa yang seharusnya dikembangkan telah Saya kembangkan, dan apa yang seharusnya dilenyapkan telah Saya lenyapkan. Oleh karena itulah, O Brahmana, Saya menjadi Buddha". (Sutta Nipata 558).
[2] Sammasambuddha adalah suatu sebutan bagi seseorang yang berhasil mencapai Pencerahan Agung dengan kemampuan, usaha dan kekuatan sendiri. Tingkatan ini sama sekali tidak pernah dimonopoli oleh Sang Buddha Gautama. Tidak ada pendiri agama selain Sang Buddha pernah menyatakan bahwa para pengikut-Nya mempunyai kesempatan untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pendiri-Nya!
        Melihat kehidupan ini sebagai suatu keadaan yang diliputi oleh penderitaan tidaklah menandakan bahwa seseorang itu bersifat pesimistis karena penderitaan itu memang benar-benar ada. Sebaliknya, mengingkari adanya penderitaan dapat dianggap sebagai tindakan yang sama pengecutnya dengan memalingkan diri dari fakta yang dihadapi. Pesimistis sebenarnya adalah suatu sikap yang putus asa dan pasrah dengan segala keadaan menderita yang dialami; tanpa suatu usaha untuk berjuang mengatasi dan mengubahnya. Sikap hidup yang memprihatinkan itu pada dasarnya timbul karena tidak adanya keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sedikit banyak karena teracuni oleh aci-acian sesat yang beranggapan bahwa kehidupan setiap makhluk telah ditentukan dan digariskan terlebih dahulu oleh sesuatu yang berada di luar dirinya.
        Sang Buddha dapat dianggap sebagai seorang pesimistis apabila Beliau hanya mengajarkan eksistensi penderitaan. Dalam realitas, dengan pelbagai cara Beliau telah menunjukkan serta membuktikan adanya kemampuan laten umat manusia dan makhluk-makhluk lain untuk bebas dari cengkeraman penderitaan pada kehidupan sekarang ini juga —tanpa harus menunggu ajal. Inilah perbedaan radikal antara Kebebasan Sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha— dengan keselamatan semu yang dianggap dapat dicapai setelah kematian.
        Para cendekiawan di abad-abad sekarang ini —yang cenderung untuk menerima segala sesuatu berdasarkan pada pengertian empiris, tentu akan meronta-ronta jika dipaksa untuk mempercayai ataupun mengakui adanya keselamatan yang tidak dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan ini. Dapat diperkirakan bahwa tidak begitu lama lagi ceritera-ceritera fiksi yang mengisahkan kehidupan abadi setelah kematian hanya diperlukan sebagai sajian pengisi waktu senggang bagi anak-anak kecil yang masih gemar mengkhayal, tetapi tidak cukup berbobot untuk meyakinkan —apalagi memuaskan— para pemikir modern yang rasionalistis dan realistis. Alam pemikiran modern kini rupanya telah banyak berubah sehingga tidak bersedia lagi memberikan tempat bagi ceritera-ceritera fiksi semacam itu sebagai doktrin-doktrin keagamaan. Fakta dan fiksi memang seharusnya dipisahkan, dan diperjelas batas-batasnya. Ajaran-ajaran yang tidak sanggup merealisasikan tugas ini, pasti tidak mampu mengimbangi derap kemajuan kecerdasan berpikir umat manusia. Pembelaan yang bernada seperti "Kebenaran agamis itu harus diterima berdasarkan pada iman atau kepercayaan saja; tidak boleh atau tidak dapat dijajaki dengan rasio, logika serta kecerdasan", dinilai tidak lebih hanyalah sebagai suatu sikap pelarian diri dari keadaan terpojok.
        Agama Buddha tidak menganak-emaskan rasio, logika dan kecerdasan dengan menyatakan bahwa kebebasan dari penderitaan dapat diraih dengan tiga hal itu saja. Pencapaian Kebebasan Sejati itu berada di luar jangkauan rasio, logika dan kecerdasan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa pencapaian Kebebasan Sejati itu bertentangan dengan rasio, logika dan kecerdasan. Rasio, logika dan kecerdasan diakui sebagai penghantar awal bagi pencapaian itu, sedangkan Kebijaksanaan dan Pengertian Empiris adalah puncaknya. Dalam Sutta Nipata 839 tertulis:
"Bukan karena pandangan-pandangan, tradisi-tradisi, pengetahuan semata-mata ataupun karena kebajikan dan kecerdasan, maka Kebebasan Sejati dapat dicapai. Tetapi, bukan juga tanpa pandangan-pandangan, tanpa tradisi-tradisi, tanpa pengetahuan, tanpa kebajikan dan tanpa kecerdasan, bahwasanya Kebebasan Sejati itu dapat dicapai".
        Suatu hal yang sangat mengherankan terjadi pada saat pertama Sang Buddha membabarkan Dhamma (Kebenaran) kepada lima orang pertapa yang masih meragukan dan menyangsikan pencapaian Pencerahan Agung-Nya. Walaupun sebelum kelahiran-Nya yang terakhir pernah tinggal di Alam Surga, —Sang Buddha tidak mengawali misi-Nya dengan mengisahkan kehidupan di Alam Surga; tempat di mana Beliau berasal, ataupun mempropagandakan Ajaran-Nya dengan menyatakan bahwa mereka yang mentaati serta mematuhi petunjuk-petunjuk-Nya akan dilahirkan di Alam tersebut. Beliau mengawali Ajaran-Nya justru dengan membeberkan Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, sesuatu yang lazimnya dianggap sebagai permasalahan yang tidak enak untuk didengar, dirasakan, dialami maupun dibayangkan. Dari situ dapat dilihat dengan jelas bahwa pemahaman tentang seluk-beluk penderitaan adalah salah satu syarat mutlak pertama untuk mencapai Kebebasan Sejati. Pemahaman tentang penderitaan dapat dianggap sebagai landasan utama yang terpenting dalam pandangan hidup seorang umat Buddha. Tanpa memahami penderitaan dengan jelas dan terang, rasanya tidak mungkin seseorang dapat mencapai Kebebasan Sejati. Kebebasan Sejati merupakan konsekuensi wajar dari eksistensi penderitaan. Kalau tidak ada penderitaan, Kebebasan Sejati juga tidak mungkin ada. Oleh karena itu, sangatlah mustahil jika seseorang yang tidak menyadari bahwa dirinya pernah mengalami penderitaan dapat merasakan betapa bahagiannya Kebebasan Sejati itu. Dalam Samyutta Nikaya v. 433 terdapat sabda Sang Buddha yang memperjelas hal ini, yang tertulis demikian:
"Ia yang melihat penderitaan, juga akan melihat asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia[3] menuju lenyapnya penderitaan".
[3] Jalan Mulia ini juga sering disebut "Jalan Madya" —yang berfaktor delapan, yakni: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata pencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar. Dalam bahasa Pali, Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini disebut: Ariya Atthangika Magga.
        Perlu diketahui bahwa Sang Buddha hanya menunjukkan asal mula penderitaan, yaitu: nafsu keinginan akan pemuasan kenikmatan indera, nafsu keinginan akan perwujudan dan kelahiran, dan nafsu keinginan akan pemusnahan diri; bukan asal mula kehidupan. Sang Buddha tidak mencoba memecahkan semua persoalan filsafat yang membingungkan umat manusia. Beliau tidak pernah membuang waktu-Nya yang sangat berharga hanya untuk berurusan dengan teori-teori dan spekulasi-spekulasi yang tidak membawa kemajuan batin dan Pencerahan Agung. Sang Buddha bukanlah mesin komputer yang selalu dengan sukarela menjawab setiap pertanyaan yang disodorkan padanya; tanpa menghiraukan apakah jawaban yang diberikan itu akan membawa manfaat pada si penerima atau tidak. Mengetahui asal mula kehidupan bukanlah suatu jaminan bagi seseorang untuk mencapai Kebebasan Sejati. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak menaruh perhatian pada masalah yang tak berfaedah itu.
        Pada suatu ketika, sewaktu tinggal di Kosambi di hutan Simsapa, Sang Buddha memungut segenggam daun yang terjatuh dari pohon, lalu bertanya kepada para bhikkhu,
        "Bagaimana pendapatmu, O para bhikkhu, manakah yang lebih banyak, daun-daun yang ada di tangan-Ku ini, ataukah daun-daun yang masih ada di pohonnya di hutan ini?"
        "Tentu lebih banyak yang masih di pohonnya di hutan ini", jawab para bhikkhu.
        Beliau kemudian bersabda, "Demikian juga, O para bhikkhu, masih sangat banyak hal-hal yang Saya ketahui, tetapi tidak Saya terangkan kepadamu. Apakah sebabnya Saya tidak membabarkannya? Hal-hal itu, O para bhikkhu, sesungguhnya tidak berguna, tidak penting dalam menempuh kehidupan suci, tidak membawa tanpa-kemelekatan, tanpa nafsu indera, penghentian, ketenangan, pengertian-sempurna, pencerahan agung, dan Kebebasan Sejati. Kemudian, O para bhikkhu, apakah yang telah Saya babarkan padamu? Penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan itulah yang telah Saya babarkan kepadamu!" (Samyutta Nikaya v. 437).
        Alih-alih membiarkan para pengikut-Nya terperangkap dalam spekulasi tentang asal mula kehidupan, Sang Buddha menasehatkan para pengikut-Nya untuk selalu bersemangat dalam berjuang mengatasi penderitaan.
        Penderitaan baru dapat diatasi setelah seseorang melenyapkan sebab-sebab yang mendorong dirinya mengalami proses kelahiran yang tiada hentinya. Amat sia-sialah jika seseorang mendambakan kebebasan dari penderitaan dengan masih memegang erat-erat keinginan untuk hadir dalam kehidupan ini. Keinginan akan perwujudan atau kelahiran adalah salah satu sebab yang menyeret seseorang untuk bertumimbal-lahir.
        Dalam Dhammapada XXIV: 9 tertulis:
"Makhluk-makhluk yangterikat pada nafsu-nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti kelinci yangterjebak. Karena terikat erat-erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, mereka mengalami penderitaan berulang kali dalam waktu yang lama".
        Jika pengertian seperti ini telah ditembus, seseorang juga tidak mungkin akan menuding-nuding makhluk lain sebagai penyebab penderitaan bagi dirinya. Pelimpahan kesalahan kepada makhluk lain sebagai perwujudan dari kemiskinan tanggung jawab pribadi juga akan dapat dihindarkan. Satu kali pun Sang Buddha tidak pernah menganggap penderitaan sebagai pelampiasan kebencian suatu makhluk yang tak bertanggung jawab. Alih-alih menggambarkan penderitaan sebagai akibat dari suatu "kutukan" tak terampunkan, ataupun sebagai penentuan "nasib" yang tak dapat diganggu gugat; yang harus diterima "tanpa komentar" dan "tanpa syarat", Sang Buddha menyatakan penderitaan sebagai akibat dari kebodohan batin sehingga makhluk hidup terjerumus dalam pemuasan tiga macam nafsu keinginan. Lebih lanjut, Beliau juga menyingkirkan anggapan sesat sementara orang bahwa dunia ini terciptakan sebagai tempat "pengujian" dan "peradilan" moral bagi umat manusia. Agaknya cukup naif seseorang memberikan komentar bahwa, "Jika kehidupan ini berjalan sesuai dengan takdir atau nasib, maka dunia ini sesungguhnya tidak lebih dari sebuah panggung sandiwara; di mana umat manusia dan makhluk lain dipaksa untuk memerankan suatu drama kehidupan yang mengharukan yang menuntut mereka berlari tunggang-langgang dalam lumpur kesedihan dan jurang penderitaan".
        Bertitik-tolak dari sabda suci yang tercantum dalam Samyutta Nikaya v. 433, dapatlah disimpulkan bahwa keempat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan pertama kali di Isipatana di Migadaya itu saling berkaitan dan bergantungan satu dengan yang lain. Keempatnya tidak dapat dipisahkan datu dengan yang lain. Empat Kesunyataan Mulia adalah suatu analisa praktis tentang misteri penderitaan yang telah lama terkubur di Alam Semesta ini. Pola berpikir yang sistematis itulah yang dewasa ini sering kali diterapkan oleh banyak ilmuwan terkemuka dalam melakukan penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian ilmiah. Oleh karena itu, agaknya tidak terlalu berkelebihan jika dalam bahasa Pali, Sang Buddha sering disebut "bhisakko" yang berarti "Tabib Agung yang tiada bandingnya". Berkisar pada masalah ini, dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul "Great Personalities on Buddhism", Ven. Dr. K. Sri Dhammananda tidak lupa menyitir kata-kata Dr. Edward Conze yang menyatakan bahwa sebagaimana seorang dokter yang pertama-tama harus menentukan diagnosa penyakit, kemudian menemukan penyebabnya, merenungkan kesembuhannya, dan akhirnya mempergunakan obatnya; demikian pula halnya dengan yang dilakukan Sang Buddha. Beliau telah membabarkan Empat Kesunyataan Mulia —yang menunjukkan bentuk-bentuk penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan".
        Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Sang Buddha menegaskan bahwa Kesunyataan Mulia tentang penderitaan itu harus dipahami (parinneyya), asal mula penderitaan itu harus dilenyapkan (pahatabba), sedangkan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan itu harus dikembangkan (bhavetabba). Dengan memahami Kesunyataan Mulia tentang penderitaan; dengan melenyapkan asal mula penderitaan; dan dengan mengembangkan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan, seseorang akan mencapai (saccikatabba) Kebebasan Sejati dari penderitaan (Nibbana). Kebebasan Sejati tidak pernah dan tidak akan pernah dapat dicapai dengan diratapi, ditangisi, direnungi maupun dengan berdoa, bersembahyang serta mempersembahkan sajian kurban.
        Empat Kesunyataan Mulia yang dapat menimbulkan Pandangan (Cakkhu), Pengetahuan (Nana), Kebijaksanaan (Pañña), Penembusan (Vijjâ) dan Pencerahan (Âloko) itu jelas membutuhkan kemandirian dari masing-masing individu. Dalam Anguttara Nikaya ii. 48 tertulis penjelasan lebih lanjut Sang Buddha berkenaan dengan hal ini, yang berbunyi demikian:
"Dalam tubuh yang panjangnya sepadem ini, beserta kesadaran dan pencerapannya, Kunyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan".
        Berdasarkan pada sabda suci ini, Eksistensi seorang Juru Selamat bagi umat Buddha dalam mencapai Kebebasan Sejati sangat tidak diperlukan[4]. Sang Buddha mengajarkan umat manusia untuk bersikap sebagai orang dewasa yang harus berikhtiar sendiri dalam segala hal, bukan seperti bayi cilik yang hanya untuk makan saja harus disuapi. Tampaknya, Sang Buddha sangat menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berjiwa besar yang tanggap, tangkas dan cakap dalam berupaya mencapai Kebebasan Sejati bagi dirinya sendiri dan oleh dirinya sendiri; tanpa harus merengek-rengek ataupun memelas pada makhluk lain apapun juga.
[4] Bandingkan dengan sabda suci Sang Buddha Gotama yang berbunyi: "Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Buddha hanyalah Penunjuk Jalan".
        Walaupun memfokuskan segala sesuatunya pada diri sendiri, Ajaran Sang Buddha kurang begitu tepat jika dianggap sebagai suatu pandangan yang Egoposentris —arus pemikiran yang cenderung berkisar pada dan ke dalam "pribadi" sendiri— karena Agama Buddha tidak mempercayai adanya atma (Ego) atau Roh yang kekal dalam diri setiap makhluk hidup.
        Anggapan ornag-orang tertentu bahwa di dalam diri setiap makhluk terdapat suatu atma yang bersumber dari suatu atma yang lebih tinggi (Paramatma) sebenarnya dapat dianggap sebagai manifestasi dari keadaan batin yang lemah sehingga membutuhkan suatu perlindungan yang dikhayalkan dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman penderitaan.
        Uskup Berkeley pun telah mengakui bahwa apa yang disebut atom —yang di dalamnya dianggap terdapat suatu inti spritual yang disebut Roh— itu sesungguhnya hanyalah suatu fiksi metafisik. Profesor James kemudian menambahkan, "Sejauh berkenaan dengan pembuktian fakta-fakta pengalaman kesadaran yang sesungguhnya, teori Roh merupakan suatu teori yang berlebih-lebihan. Sedemikian jauh, tak seorangpun dapat dipaksa menyetujuinya demi alasan-alasan ilmiah". Sebagai jalan keluar sementara dalam menyelesaikan masalah Roh, ia menyimpulkan, "Pikiran itu sendiri adalah sang pemikir".
        Tetapi, seseorang mungkin akan menyangsikan, "Kalau memang tidak ada Roh yang kekal, lalu siapakah yang mencapai Kebebasan Sejati itu?" Suatu Roh yang kekal memang sangat diperlukan untuk menopang kepercayaan tentang adanya kehidupan abadi di Alam Surga yang kekal, dan/atau siksaan tanpa akhir dalam Neraka abadi. Namun, Kebebasan Sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha justru tidak memerlukan hal itu karena Kebebasan Sejati bukanlah suatu Alam Kehidupan apapun juga. Kebebasan Sejati adalah suatu pencapaian yang unik; yang tak terperikan; yang hanya dapat diselami oleh mereka yang telah terbebas dari keserakahan, kebencian dan kesesatan batin.
        Untuk memberikan kejelasan mengenai pencapaian Kebebasan Sejati berkaitan dengan doktrin "tanpa Roh" (Anatta), dalam bukunya yag berjudul Visuddhi Magga, Bhikkhu Buddhaghosa menuliskan:
"Hanya penderitaan yang ada, namun tidak ada seorang pun yang menderita. Hanya perbuatan yang ada, namun tidak ada seorang pun yang berbuat. Hanya Jalan Mulia yang ada, namun tidak ada seorang pun yang berjalan di atasnya. Hanya Kebebasan Sejati (Nibbana) yang ada, namun tidak ada seorang pun yang memasukinya".
        Pernyataan ini bukanlah permainan kata-kata sebagaimana acapkali dilakukan oleh para ahli debat, tetapi merupakan filsafat Agama Buddha tertinggi yang memerlukan perenungan mendalam sehingga nantinya akan dapat mengikis habis semua aci-acian sesat yang mengkhayalkan segala sesuatu sebagai "aku", "diriku" dan "milikku".
        Kebebasan Sejati memang bukan sesuatu yang gampang dicapai, dan misteri penderitaan juga bukan sesuatu yang mudah terkuakkan. Pada galibnya, untuk dapat menyibak tabir misteri penderitaan, dibutuhkan suatu perjuangan yang maha dahsyat; suatu perjuangan yang tak tergambarkan dan tak tertandingkan; yang mungkin hanya mampu dilaksanakan oleh segelintir makhluk hidup. Sang Budha Gotama adalah salah satu makhluk hidup yang telah berhasil menyibak tabir misteri penderitaan yang telah menyelimuti Alam Semesta selama lebih dari beribu-ribu tahun, dan mampu menunjukkan Jalan yang ditempuh-Nya kepada makhluk lain. Dengan tersibaknya misteri penderitaan, berarti Beliau juga telah menyampaikan "good bye" kepada dunia yang terliputi oleh penderitaan ini. Tak tergoncangkan Kebebasan Batin yang telah dicapainya. Itulah kelahiran-Nya yang terakhir. Bagi-Nya, tidak ada lagi tumimbal lahir dalam Alam mana pun, dan dalam wujud apa pun.
        Kemunculan seorang Penyibak misteri penderitaan betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat langka. Menurut catatan sejarah kuno, di bumi yang sekarang ini[5], telah lahir empat orang Penyibak misteri penderitaan, dan Sang Buddha Gotama adalah orang yang keempat. Dalam catatan sejarah kuno itu juga, dituliskan bahwa sebelum bumi ini hancur, akan muncul seorang penyibak misteri penderitaan yang lain. Kemunculan-Nya tentu sangat diharapkan dan dinantikan oleh semua makhluk hidup yang batinnya waras, dan yang pasti, kehadiran-Nya di bumi ini bukan untuk "mengadili" dan "menghukum" orang-orang jahat, tetapi semata-mata untuk mengajak umat manusia dan makhluk-makhluk lain mencapai Kebebasan Sejati dari penderitaan.***
[5] Menurut pandangan Agama Buddha, bumi yang sekarang ini —yang ditempati umat manusia dan makhluk-makhluk lain— bukanlah bumi yang pertama dan bukan pula bumi yang terakhir, tetapi telah ada dan akan ada beribu-ribu bumi lain yang muncul dan hancur kembali sesuai dengan hukum perubahan dan hukum ketidak-kekalan.

Apakah dipercayai atau tidak, penderitaan; penyebab penderitaan; lenyapnya penderitaan; dan jalan menuju lenyapnya penderitaan tetap berada dalam diri makhluk hidup masing-masing.



sumber :
http://sasanaonline.tripod.com/dhamma/misteri_.htm


Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha

Penjelasan Dhammacakkappavattana Sutta
Empat Kebenaran Mulia

Setelah menjelaskan tentang Jalan Tengah yang mendukung pandangan dan pengetahuan serta membawa pada ketenangan, kebijaksanaan yang lebih tinggi, pencerahan, dan Nibbāna, Sang Buddha menguraikan tentang Empat Kebenaran Mulia kepada lima pertapa.

Empat Kebenaran Mulia merupakan kebenaran yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam upayanya mencapai Penerangan Sempurna. Melalui praktek Jalan Tengah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, seseorang dapat menyadari dan menyelami Empat Kebenaran Mulia. Apakah para Buddha muncul atau tidak di dunia ini, kebenaran ini selalu ada. Adalah seorang Buddha yang mengungkap kebenaran ini kepada dunia yang telah melupakannya. Kebenaran ini tidak berubah seiring waktu karena mereka adalah kebenaran yang abadi.

Empat Kebenaran Mulia terdiri atas Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (dukkha), Sebab Penderitaan (dukkha samudaya), Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha), dan Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha gāminipatipadā).

Kebenaran Mulia tentang Penderitaan

Secara harfiah, kata "dukkha" diterjemahkan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, atau hal yang tidak menyenangkan. Sebagai bentuk perasaan, dukkha berarti yang sulit untuk dipertahankan (du = sulit, kha = dipertahankan). Sebagai kebenaran, dukkha digunakan dalam pengertian rendah dan kosong (du = rendah, kha = kosong). Dunia ini bersifat tidak menyenangkan karena ia rendah; dunia ini kosong dari realitas yang sejati. Oleh sebab itu, dukkha berarti kekosongan yang rendah.

Kesenangan dan kebahagiaan yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan hanya pemuasan keinginan. Bagi mereka yang telah menyadarinya dengan pandangan benar, kehidupan ini tidak memuaskan. Kebahagiaan sejati bukan kebahagiaan yang didasarkan pada pemuasan keinginan karena keinginan jika dipuaskan tidak akan habis-habisnya. Oleh sebab itu, para bijaksana menerima kebahagiaan dan penderitaan dunia dengan seimbang dan tidak melekat padanya.

Semua yang muncul atau lahir pasti akan tunduk pada kelapukan atau usia tua, penyakit, dan akhirnya kematian. Tidak ada yang dapat mengelak dari empat jenis penderitaan fisik ini. Keinginan atau harapan yang tidak terpenuhi juga adalah penderitaan. Kita tidak berharap untuk bertemu dengan hal-hal yang tidak menyenangkan atau orang yang tidak disukai dan berharap untuk bertemu dengan hal-hal yang menyenangkan atau orang yang disukai. Namun, harapan atau keinginan tersebut tidak selalu terjadi. Seringkali apa yang tidak kita harapkan itulah yang terjadi pada kita. Ini menyebabkan penderitaan batin yang tidak terelakkan oleh siapa pun.

Ini bukan berarti ajaran Buddha bersifat pesimistik karena memandang kehidupan ini sebagai penderitaan. Sang Buddha juga mengajarkan bahwa terdapat kebahagiaan dari perolehan duniawi, seperti kekayaan, kedudukan, dan kehormatan. Namun jika kebahagiaan yang bersifat sementara ini dipandang dengan penuh kemelekatan dan tidak dipergunakan sebaik-baiknya, ini akan menjadi sumber penderitaan. Kebahagiaan sejati bukan terletak pada hal-hal yang di luar diri kita, melainkan dapat ditemukan dalam diri kita.

Secara singkat, penderitaan berasal dari kemelekatan pada jasmani dan batin, yang disebut lima kelompok kehidupan. Lima kelompok kehidupan merupakan lima unsur yang membentuk kehidupan semua makhluk, yang terdiri atas kelompok jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan atau persepsi (sañña), bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran (viññana). Empat kelompok terakhir membentuk apa yang disebut batin atau pikiran.

Kelompok jasmani merupakan tubuh kita yang dapat dilihat dan dirasakan secara fisik. Menurut filsafat Buddhis (Abhidhamma), tubuh fisik terbentuk dari empat unsur utama, yaitu unsur padat, cair, panas, dan gerak. Unsur padat terlihat pada bagian tubuh yang padat seperti daging, otot, dan tulang; unsur cair terlihat pada bagian tubuh berbentuk cairan seperti darah, nanah, dan ingus; unsur panas memberikan energi dan vitalitas pada tubuh yang terlihat dari suhu dan panas tubuh; unsur gerak memberi pergerakan pada tubuh dan fungsi pernapasan adalah salah satu contohnya. Dalam tubuh jasmani inilah terdapat pancaindera yang menjadi sarana hubungan atau kontak antara batin dengan dunia luar, yaitu objek-objek pancaindera tersebut.

Kelompok perasaan merupakan semua perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral yang timbul dari kontak antara indera dengan objeknya. Kelompok pencerapan merupakan fungsi mental yang mengenali objek yang ditanggapi oleh indera; di sinilah seseorang dapat mengingat suatu objek dengan ingatannya. Kelompok bentuk-bentuk pikiran merupakan semua bentuk mental yang timbul karena kontak indera dengan objeknya, seperti kehendak, dorongan mental, pemikiran, gagasan, keyakinan, kebijaksanaan, keinginan, keserakahan, dan kebencian. Dari bentuk-bentuk pikiran inilah hukum karma bekerja dan memberikan akibat sesuai dengan baik atau buruknya bentuk pikiran tersebut. Kelompok kesadaran merupakan fungsi mental yang mengetahui sepenuhnya objek tersebut. Dalam hal ini antara kesadaran dan faktor mental lainnya (perasaan, pencerapan, dan bentuk-bentuk pikiran) adalah tidak terpisahkan dan berkaitan satu sama lainnya, seperti buah apel yang tidak dapat dibedakan dari atribut-atributnya seperti bau, bentuk, dan warnanya. Keempat kelompok mental inilah membentuk keseluruhan dunia psikologis kita.

Melekat pada jasmani, seseorang menganggap jasmani sebagai aku, diriku, milikku; berharap jasmani tersebut kekal dan tidak berubah. Ketika jasmani ini berubah, melapuk karena usia tua, diliputi penyakit, dan dihantui kematian, seseorang yang melekat padanya tidak dapat menerima hal ini, maka timbul penderitaan. Demikian pula, melekat pada perasaan, seseorang menganggap perasaan sebagai aku, diriku, miliki; berharap perasaan yang menyenangkan selalu timbul dan tidak mengharapkan timbulnya perasaan yang tidak menyenangkan. Namun saat perasaan yang tidak menyenangkan timbul, perasaan yang menyenangkan lenyap, maka seseorang yang melekat pada perasaan merasakan penderitaan. Demikian juga hal yang sama berlaku untuk pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran.

Di sini lima kelompok kehidupan merupakan objek dari kemelekatan (upadana) itu sendiri. Kemelekatan atau keterikatan itulah yang menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan atau tidak memuaskan yang kita sebut penderitaan. Pemuasan kesenangan indera juga berasal dari kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan ini. Bagi mereka yang tercerahkan (para Buddha dan Arahat), walaupun memiliki batin dan jasmani dalam kehidupan terakhirnya sebelum mencapai Nibbana yang sempurna (Parinibbana), tidak terdapat kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan lagi. Oleh sebab itu, penderitaan tidak timbul dalam diri mereka; meskipun mereka masih merasakan penderitaan fisik karena sakit, luka, dan sejenisnya, tetapi batin mereka tetap seimbang dan tidak terpengaruh.

"Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan." (Dhammapada syair 214)

Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan

Keinginan yang menyebabkan kelahiran kembali dan disertai nafsu dan kemelekatan adalah sumber penderitaan atau permasalahan kehidupan ini. Terdapat tiga jenis keinginan, yaitu keinginan terhadap kesenangan indera, keinginan terhadap kelangsungan, dan keinginan terhadap pemusnahan diri.

Keinginan terhadap kesenangan indera meliputi semua jenis keinginan terhadap objek-objek yang menyenangkan bagi indera kita, seperti bentuk yang indah, suara yang merdu, rasa yang enak, sentuhan yang menyenangkan, dan seterusnya, yang menimbulkan pemuasan nafsu-nafsu indera. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan atau kegelapan batin yang menganggap objek-objek tersebut adalah kekal dan menyenangkan dan oleh sebab itu dianggap sumber kebahagiaan.

Keinginan terhadap kelangsungan merupakan keinginan yang didasari oleh pandangan tentang adanya suatu diri yang kekal yang akan tetap ada setelah kematian (eternalisme). Dalam hal ini, seseorang memuaskan keinginannya agar dirinya tetap dapat menikmati kesenangan indera tersebut pada masa yang akan datang, bahkan setelah kematian. Keinginan untuk terus hidup nyawan dan mewah, terlahir kembali sebagai manusia, terlahir di alam surga termasuk keinginan jenis ini.

Keinginan terhadap pemusnahan diri berhubungan pandangan nihilisme bahwa segala sesuatu lenyap setelah kematian. Karena pandangan ini, seseorang menganggap kehidupan ini hanya sekali dan cenderung mencari kesenangan indera yang ada saat ini karena tidak mau kehilangan kesempatan memuaskan keinginannya tersebut di masa yang akan datang. Kasus orang-orang yang bunuh diri karena suatu masalah yang tidak terpecahkan juga termasuk keinginan jenis ini.

Dua jenis keinginan yang terakhir merupakan keinginan yang sangat halus di mana seringkali kita sendiri pun tidak menyadarinya karena dipengaruhi oleh pandangan salah yang telah berakar kuat dari budaya, bahasa dan pandangan hidup kita. Kedua jenis keinginan ini bisa menimbulkan keinginan terhadap kesenangan indera yang lebih kasar dan mudah kita sadari.

Timbul pertanyaan: Apakah ini berarti kita tidak boleh memiliki keinginan atau cita-cita untuk maju? Selama cita-cita tersebut tidak menjurus pada pemuasan kesenangan indera, kelangsungan, dan pemusnahan diri, maka cita-cita tersebut tidak masalah bagi umat awam seperti kita. Misalnya cita-cita untuk menjadi orang kaya dan makmur adalah baik selama tidak menganggap kekayaan dan kemakmuran sebagai sumber kepuasan indera semata, tetapi menyadari bahwa kekayaan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak melekat padanya serta digunakan sebaik-baiknya untuk menunjang kehidupan semata. Dengan demikian, ketika cita-cita tersebut tidak terwujud, tidak timbul kesengsaraan dan kesedihan; atau ketika cita-cita tersebut tercapai, tidak menjadi serakah dan gelap mata karenanya.

Selanjutnya bagaimanakah keinginan dapat menimbulkan nafsu dan kemelekatan serta menyebabkan penderitaan? Hal ini dapat dijelaskan melalui hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) yang direnungkan Sang Buddha pada minggu pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna:

Bergantung pada ketidaktahuan (avijja), timbul aktivitas atau bentuk-bentuk mental (sankhara);
Bergantung pada bentuk-bentuk mental, timbul kesadaran (viññana);
Bergantung pada kesadaran, timbul batin dan jasmani (namarupa);
Bergantung pada batin dan jasmani, timbul enam landasan indera (salayatana);
Bergantung pada enam landasan indera, timbul kontak (phassa);
Bergantung pada kontak, timbul perasaan (vedana);
Bergantung pada perasaan, timbul keinginan (tanha);
Bergantung pada keinginan, timbul kemelekatan (updana);
Bergantung pada kemelekatan, timbul kemunculan atau kemenjadian (bhava);
Bergantung pada kemenjadian, timbul kelahiran (jati);
Bergantung pada kelahiran, timbul kelapukan atau usia tua (jara), kematian (marana), kesedihan (soka), ratap tangis (parideva), penderitaan (dukkha), kesakitan (domanassa), dam keputusasaan (upayasa).
Demikianlah keseluruhan penderitaan ini berawal mula.

Dari rumusan hukum sebab akibat yang saling bergantungan di atas, keinginan muncul dari serangkaian sebab akibat yang berawal mula dari ketidaktahuan, yaitu ketidaktahuan akan hakekat kehidupan sebagaimana adanya. Keinginan ini menimbulkan kemelekatan yang pada akhirnya menyebabkan kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan, kesakitan, dan keputusasaan.

"Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari keinginan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan." (Dhammapada syair 216)

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan

Dengan meninggalkan dan melenyapkan sepenuhnya keinginan, maka sebab penderitaan dicabut dan dengan lenyapnya sebab penderitaan, maka penderitaan tidak akan timbul lagi. Dengan demikian tercapailah kebahagiaan sejati atau Nibbana. Karena ajaran Buddha mengajarkan adanya kebahagiaan dengan melepaskan sebab penderitaan beserta jalan menuju kebahagiaan tersebut, maka tidak tepat mengatakan ajaran Buddha sebagai pesimistik yang hanya mengajarkan tentang penderitaan kehidupan ini.

Membicarakan Kebenaran Mulia keempat ini sama dengan membicarakan tentang Nibbana, yang di luar pemahaman akal dan logika kita karena Nibbana adalah yang tidak berkondisi dan di atas duniawi. Hal ini diibaratkan dalam perumpamaan seekor kura-kura yang berusaha menjelaskan daratan kering kepada seekor ikan yang hidup di perairan dan tidak pernah melihat daratan; kura-kura itu adalah mereka yang telah melepaskan diri dari kelahiran kembali dan mencapai Nibbana, sedangkan ikan adalah kita orang-orang biasa yang masih belum lepas dari lingkaran kelahiran kembali.  Semua pembicaraan tentang Nibbana, realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhir agama Buddha, pada akhirnya akan menjadi semacam spekulasi filosofis semata karena Nibbana bukan untuk dibicarakan atau didiskusikan, melainkan untuk direalisasi melalui praktek Jalan Mulai Berunsur Delapan.

Namun demikian, sedikit pengertian Nibbana akan dibahas di sini sebagai bekal pengetahuan bagi kita semua. Nibbana berasal dari kata Pali "ni" yang merupakan awalan yang bermakna negatif (penyangkalan) dan "vana" yang berarti nafsu atau keinginan. Secara harfiah, Nibbana berarti pelepasan dari nafsu keinginan. Ketika nafsu keinginan (tanha) telah dilenyapkan, kekuatan karma yang membentuk kelahiran berikutnya terputuskan. Inilah yang disebut pembebasan dari kelahiran kembali atau Nibbana.

Pengertian Nibbana yang dapat ditemukan dalam teks-teks Buddhis antara lain:

"Nibbana ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, meninggalkan, terbebas dan terlepas dari keinginan."

"O bhikkhu, apakah yang tidak berkondisi (asankhata) itu? Itu adalah, padamnya nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo) dan padamnya kebodohan (mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang disebut yang tidak berkondisi.

"O Radha, padamnya keinginan adalah Nibbana."

"O bhikkhu, di antara semua fenomena, yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi, maka viraga (pelenyapan nafsu) adalah yang paling tinggi. Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan kehausan, membasmi ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan, padamnya tanha, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana."

"Pelepasan dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada lima kelompok kehidupan inilah akhir dari penderitaan."

"Penghentian kelangsungan dan kelahiran kembali adalah Nibbana."

"O, bhikkhu, terdapat keadaan di mana tidak ada tanah,  tidak ada air, tidak ada api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan ruang, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan kesadaran, tidak ada dasar yang terdiri dari kekosongan, tidak ada dasar yang terdiri dari bukan persepsi dan tidak bukan persepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun kedua dunia itu; tidak ada matahari atau rembulan. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan. Tidak terpasang, tidak dapat digerakkan, tidak mempunyai penyangga (yaitu tidak berkondisi). Inilah akhir dari penderitaan.” (Udana bab VIII Parinibbana Sutta 1)

"Di manakah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasannya? Di manakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa – Di manakah batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya?
Di mana kesadaran adalah tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang. Di sanalah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasan. Di sanalah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa - Di sana batin dan jasmani dihancurkan seluruhnya. Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan." (Digha Nikaya 11 -  Kevaddha Sutta)

Nibbana bukan pemusnahan diri (nihilisme) karena pemusnahan diri merupakan salah satu bentuk keinginan (yaitu keinginan terhadap pemusnahan diri) yang harus dilenyapkan untuk mencapai Nibbana. Nibbana juga bukan pengekalan diri (eternalisme) karena tidak ada diri yang kekal yang mencapai Nibbana. Oleh sebab itu, lebih tepat mengatakan bahwa Nibbana merupakan akhir dari semua proses yang berkondisi yang tidak bisa digambarkan dengan keterbatasan bahasa kita. Untuk lebih jelasnya, tentang pembahasan Nibbana sebagai fenomena yang tidak berkondisi dalam filsafat agama Buddha bisa dibaca pada tulisan ini.

Sebagai kebahagiaan, Nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi. Dalam Bahuvedaniya Sutta (Majjhima Nikaya 59), Sang Buddha menguraikan tentang berbagai jenis kebahagiaan yang dapat dicapai dalam kehidupan ini, dari kebahagiaan yang timbul dari kesenangan indera sampai dengan berbagai jenis kebahagiaan yang timbul dari pencapaian meditasi (jhana). Melampaui berbagai jenis kebahagiaan ini, terdapat kebahagiaan yang dicapai dengan berhentinya persepsi dan perasaan, yaitu ketika seseorang mencapai Nibbana.

Mungkin timbul pertanyaan: Bagaimanakah Nibbana disebut kebahagiaan jika tidak dapat dirasakan dengan perasaan? Hal ini dijawab dalam teks sutta tersebut sebagai berikut: "Teman-teman, Sang Bhagavā menggambarkan kebahagiaan bukan hanya dengan merujuk pada perasaan menyenangkan; akan tetapi, teman-teman, Sang Tathāgata menggambarkan segala jenis kebahagiaan dimanapun dan dalam cara apapun kebahagiaan itu ditemukan."

Segala sesuatu yang dialami oleh indera dan dirasakan melalui perasaan adalah penderitaan karena seseorang yang menderita ingin menjadi bahagia dan yang bahagia ingin menjadi lebih bahagia. Dengan demikian, tidak akan pernah terpuaskan kebahagiaan yang tidak kekal, bergantung pada kondisi-kondisi, seperti ini. Oleh sebab itu, dikatakan dalam Dhammapada syair 204 bahwa Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi (Nibbānam paramam sukham).

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan

Untuk mencapai akhir penderitaan, diperlukan suatu jalan atau cara yang dapat membawa pada pelenyapan penderitaan tersebut. Inilah yang dijelaskan sebagai Kebenaran Mulia keempat dan terakhir, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah dibahas pada bagian di atas (bagian 1 dari tulisan ini).

Pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia ini dapat digunakan sebagai objek meditasi untuk mengembangkan perhatian benar seperti yang dijelaskan dalam Mahasatipatthana Sutta berikut ini:

"Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah asal-mula penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah lenyapnya penderitaan'; ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.'

Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran, merenungkan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran. Atau, penuh perhatian bahwa 'ada objek-objek pikiran' muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia."

Pengetahuan Intuitif Sejati atas Empat Kebenaran Mulia

Dengan pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan, seorang praktisi akan memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang Empat Kebenaran Mulia yang dapat digunakan untuk menghancurkan kekotoran batin dan mencapai Penerangan Sempurna seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam kotbah pertama-Nya ini:

"Ketika, O para bhikkhu, pengetahuan intuitif sejati yang mutlak tentang Empat Kebenaran Mulia ini dalam tiga aspeknya dan dua belas caranya caranya menjadi sepenuhnya jelas bagi-Ku, maka hanya dengan demikian Aku menyatakan di dunia ini termasuk para dewa, Māra, dan Brahma, dan di antara kumpulan para pertapa, dewa, dan manusia, bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya."

Pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia ini dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu pengetahuan bahwa inilah Kebenaran Mulia (sacca ñāna), pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari Kebenaran Mulia yang seharusnya dilakukan (kicca ñāna), dan pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari Kebenaran Mulia yang telah dilakukan (kata ñāna). Karena terdapat empat Kebenaran Mulia dengan masing-masing tiga aspek pengetahuannya, maka secara keseluruhan ada dua belas pengetahuan atas Kebenaran Mulia ini.

Kebenaran Mulia tentang Penderitaan adalah untuk dipahami, bukan hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga secara praktek melalui pengembangan pandangan benar sehingga kita memahami hakekat kehidupan ini sebagaimana adanya. Ketika dalam praktek meditasi Pandangan Terang (vipassana), seseorang mengetahui bahwa kelahiran, usia tua, sakit, kematian, dan seterusnya adalah penderitaan, inilah yang disebut pengetahuan atas Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (sacca ñāna). Saat menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini seharusnya diketahui dan dipahami, inilah yang disebut pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan seharusnya diketahui (kicca ñāna). Ketika mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan telah sepenuhnya dipahami dengan benar, inilah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini telah diketahui (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan adalah untuk dilenyapkan. Mengetahui bahwa keinginan atas kesenangan indera, keinginan atas kelangsungan, dan keinginan atas pemusnahan diri adalah sebab penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan ini seharusnya ditinggalkan dan dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini seharusnya dilenyapkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan telah sepenuhnya dilenyapkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia kedua ini telah dilenyapkan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan adalah untuk direalisasikan atau dicapai. Mengetahui bahwa pelepasan dan pelenyapan atas keinginan adalah lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia ketiga ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya direalisasikan dan dicapai adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini seharusnya direalisasikan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya direalisasikan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia ketiga ini telah direalisasikan (kata ñāna).

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan adalah untuk dikembangkan atau dipraktekkan. Mengetahui bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan merupakan pengetahuan tentang Kebenaran Mulia keempat ini (sacca ñāna). Menyadari bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya dikembangkan dan dipraktekkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini seharusnya dikembangkan (kicca ñāna). Mengetahui melalui pengingatan kembali bahwa Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan telah sepenuhnya dikembangkan adalah pengetahuan bahwa Kebenaran Mulia keempat ini telah dikembangkan (kata ñāna).

Demikianlah, dengan memahami dan menyelami pengetahuan Empat Kebenaran Mulia dalam tiga aspek dan dua belas caranya ini, seseorang dapat mengakui bahwa dirinya telah mencapai Penerangan Sempurna karena pengetahuan ini membawa pada tujuan akhir, Nibbana. Ini juga tercermin dalam kalimat terakhir Sang Buddha: "Tidak tergoyahkan pembebasan pikiran-Ku. Inilah kelahiran terakhir-Ku, dan saat ini tidak ada kelahiran kembali lagi." Semua pengetahuan ini bukan semata-mata pengetahuan teoritis, melainkan pengetahuan dari hasil praktek kebijaksanaan pandangan terang seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Bagi seorang Buddha, pengetahuan ini diperoleh dengan upayanya sendiri, tanpa mendapatkannya dari guru mana pun. Walaupun dalam masa pencariannya, Pertapa Gotama berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, namun keduanya hanya mengajarkan beliau cara mencapai arupa jhana (tingkat pemusatan pikiran dengan menggunakan objek-objek yang tidak berbentuk), bukan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia ini. Oleh sebab itu, disebutkan dalam teks sutta ini bahwa "berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan" (atas pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia ini). Dengan alasan yang sama, pengetahuan ini disebut pengetahuan intuitif sejati atas Empat Kebenaran Mulia.

Akhir Kotbah

Setelah mendengarkan kotbah pertama ini, Kondañña mencapai apa yang disebut Mata Dhamma atau mata kebijaksanaan, yaitu pencapaian tingkat kesucian pertama (Sotapanna), dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang muncul pasti tunduk pada kelenyapan. Ini adalah pemahaman sejati atas hukum sebab akibat yang saling bergantungan bahwa semua fenomena yang muncul karena sebab dan kondisi, di dalamnya terdapat sebab yang menyebabkannya lenyap kembali. Dengan mata kebijaksanaan ini, seseorang memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu sebagai proses timbul dan lenyapnya fenomena karena sebab dan kondisi tertentu.

Sering dipertanyakan, bagaimana mungkin Kondañña hanya dengan mendengarkan kotbah ini dapat mencapai tingkat kesucian pertama? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Jauh pada masa lampau Kondañña telah mengembangkan kesempurnaan (parami) untuk menjadi seorang yang pertama kali mendapatkan Mata Dhamma pada masa Buddha Gotama ini. Dikisahkan pada masa Buddha Padumuttara, satu asankheyya dan seratus ribu kappa yang lampau, ia terlahir kembali sebagai seorang perumah tangga kaya. Melihat Buddha Padumuttara menyebutkan salah seorang siswa-Nya yang terkemuka di antara mereka yang pertama kali mencapai kesucian, sang perumah tangga bertekad untuk mencapai hal yang sama pada masa yang akan datang. Sejak saat itulah, dalam setiap kelahiran ia berlatih mengembangkan kesempurnaan guna memenuhi tekadnya. Pada kelahirannya sebagai Kondañña, ia dapat mencapai tingkat kesucian pertama karena latihan yang telah ia lakukan dari banyak kehidupan sebelumnya, yang disempurnakan pada saat mendengarkan kotbah ini.

Setelah kotbah ini dibabarkan, para dewa mulai dari yang terendah yang berdiam di bumi sampai pada para dewa brahma yang tertinggi meneriakkan seruan tentang pengajaran pertama ini yang tidak dapat diajarkan oleh siapa pun di dunia ini, kecuali seorang Samma Sambuddha, yang diberikan Sang Buddha di Taman Rusa di Isipatana, dekat Benares.

Seketika itu juga sepuluh ribu tata surya berguncang, bergoyang, dan bergetar dengan hebat. Dalam Mahaparinibbana Sutta, kotbah terakhir Sang Buddha sebelum wafat-Nya, dijelaskan tentang delapan sebab gempa bumi, yaitu:

  1. Bumi ini ditopang oleh air, air ditopang oleh udara, udara ditopang oleh ruang kosong; ketika terjadi gangguan pada udara, maka air akan mendapatkan tekanan dan lapisan bumi akan bergeser sehingga timbullah gempa bumi.
  2. Seorang pertapa atau dewa dengan kekuatan konsentrasinya menyebabkan bumi berguncang.
  3. Ketika seorang calon Buddha (Bodhisatta) meninggalkan surga Tusita untuk masuk ke rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  4. Ketika Bodhisatta keluar dari rahim ibunya dengan penuh kesadaran, bumi berguncang dengan hebat.
  5. Ketika Bodhisatta mencapai Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya, bumi berguncang dengan hebat.
  6. Ketika Buddha memutar roda Dhamma, bumi berguncang dengan hebat.
  7. Ketika Buddha memutuskan untuk melepaskan proses yang menunjang kehidupannya, bumi berguncang dengan hebat.
  8. Ketika Buddha meninggal dunia dengan sempurna (Parinibbana), bumi berguncang dengan hebat.

Sebab pertama merupakan proses terjadinya gempa bumi secara alamiah, sedangkan tujuh sebab sisanya diakibatkan oleh kekuatan batin seorang pertapa, dewa, atau seseorang luar biasa yang akan atau telah mencapai Penerangan Sempurna. Terjadinya gempa bumi yang dahsyat sampai mengguncang sepuluh ribu tata surya saat kotbah pertama Sang Buddha ini adalah sebab keenam dari delapan sebab gempa bumi ini. Tak hanya itu, cahaya cemerlang yang melampaui cahaya para dewa meliputi seluruh alam semesta saat itu.

Saat itu Sang Buddha juga memuji Kondañña yang telah memahami Empat Kebenaran Mulia ini dengan mata Dhamma. Oleh sebab itu, Kondañña dikenal juga sebagai Aññāta Kondañña (Kondañña yang memahami).

Kemudian Kondañña meminta untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu dan Sang Buddha menahbiskannya dengan kata-kata: "Datanglah, O bhikkhu. Dhamma telah diajarkan dengan baik. Jalankanlah kehidupan suci demi pelenyapan penderitaan sepenuhnya." Demikianlah Kondañña menjadi bhikkhu pertama dalam sejarah agama Buddha.

Tak lama kemudian, setelah mendengarkan uraian Dhamma dari Sang Buddha, dua orang pertapa lainnya, Vappa dan Bhaddiya, memperoleh Mata Dhamma dan meminta untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu juga. Mereka pun ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan perkataan "Datanglah, O bhikkhu." Demikian juga, Mahanama dan Assaji, dua orang pertapa sisanya, mencapai kesucian batin Sotapanna dan ditahbiskan sebagai bhikkhu dengan cara yang sama. Maka pada saat itu telah ada 5 orang bhikkhu di dunia ini dan perkumpulan para siswa yang telah mencapai kesucian batin (Ariya Sangha) telah terbentuk. Lengkaplah Tiga Permata: Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Lima hari kemudian Sang Buddha memberikan kotbah kedua-Nya yang diberi nama Anattalakkhana Sutta (Kotbah tentang Karakteristik Bukan Aku)  kepada lima orang bhikkhu pertama ini. Setelah mendengarkan kotbah ini, kelima bhikkhu mencapai tingkat kesucian Arahat. Namun kita akan membahas isi kotbah kedua Sang Buddha ini pada kesempatan lain.

Penutup

Demikianlah, ajaran pertama Sang Buddha yang dikotbahkan kepada lima pertapa lebih dari 2500 tahun yang lalu di Taman Rusa di Isipatana, Benares. Ajaran ini berisi tentang Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk menghindari kedua ekstrem praktek kehidupan yang salah dan membawa pada tujuan akhir, Nibbana, dan Empat Kebenaran Mulia yang menunjukkan hakekat kehidupan ini yang tidak menyenangkan dan sebabnya serta jalan atau solusi untuk mencapai kebahagiaan sejati.

Tentu saja, ajaran kebenaran ini tidak hanya untuk dibaca atau direnungkan saja, tetapi untuk dijalankan dalam kehidupan kita sehari-hari agar tercapai kebahagiaan yang diharapkan semua orang.

Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat awam di zaman modern ini, Kebenaran Mulia Pertama menunjukkan pada kita bahwa terdapat masalah kehidupan yang timbul dari perubahan-perubahan dalam kehidupan yang tidak kita harapkan. Kebenaran Mulia Kedua menunjukkan bahwa sebab masalah kehidupan tersebut adalah keinginan atau harapan yang berlebihan terhadap kehidupan, hanya mengharapkan hal-hal yang menyenangkan saja yang terjadi dalam kehidupan kita. Kebenaran Mulia Ketiga menyatakan bahwa terdapat kebahagiaan jika kita bisa mengatasi harapan kita yang berlebihan tersebut. Akhirnya, Kebenaran Mulia Keempat menyatakan solusi mengatasi permasalahan kehidupan tersebut, yang tercermin dari Jalan Tengah di mana kita menghindari melekat pada kesenangan indera dan pada sisi lain menghindari penyiksaan diri yang tidak perlu.

Selamat Hari Asadha 2555 BE/2011. Semoga kebenaran mulia yang diajarkan Sang Guru dapat menjadi pegangan hidup kita semua dalam mengarungi lautan kehidupan ini hingga akhirnya tiba di Pantai Bahagia. Semoga semua makhluk berbahagia.

Sumber:

1. Dhammacakkappavattana Sutta dalam The Buddha and His Teaching oleh Ven. Narada Mahathera.

2. The Wheel of Dhamma (Dhammacakkappavattana Sutta) oleh Ven. Mahasi Sayadaw.

3. http://humaniora.kompasiana.com/filsafat/2011/07/20/3/381213/dhammacakkappavattana-sutta-ajaran-pertama-sang-buddha-bagian-2.html

Saturday, March 2, 2013

Memutar Kehidupan dengan Bekerja (Serial Pandita Sakti)

Oleh: De Van Diva
“There are no secrets to success. It is the result of preparation, hard work, and learning from failure.” Tidak ada rahasia-rahasia untuk sukses. Sukses hasil dari persiapan, Kerja keras, dan belajar dari kesalahan. - Colin Powell.
Di penghujung tahun 2011 ini, marilah kita merenung sejenak, merefleksi masa 2011 untuk merenda kehidupan di masa lalu yang lebih cerah. Untuk menemani mereka yang menyambut tahun baru 2012, marilah kita simak sebuah kisah dari Pulau Dewata.
Al kisah pada jaman dahulu tersebutlah seorang Pertapa yang terkenal kewisesaannya. Beliau bertempat tinggal di sebuah lembah yang dikelilingi oleh bukit Bibun, Kapasjawa dan Timbul. Lembah itu masuk wilayah Desa Tinggarsari, kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Ketiga bukit tersebut sangat hijau dan dipenuhi oleh berbagai jenis kembang berwarna-warni yang membuat tempat itu sangat asri dan indah untuk dipandang. Di dalam lembah air jernih mengucur dari pancuran-pancuran bambu yang disusun sedemikian rupa, sehingga tampak begitu menawan, membuat siapa saja yang mengunjunginya menjadi betah. Terasa nuasa kedamaian menyelimuti hati setiap pengunjung yang menginjakkan kakinya di lembah itu.
Salah satu kewisesan Beliau adalah kemampuan supranatural yang tidak dimiliki oleh banyak orang saat itu.  Satu kejadian yang dicatat oleh masyarakat di mana Beliau mendirikan pesramannya hingga kini adalah, peristiwa ketika pertama kali Beliau dan murid-muridnya tiba dilembah itu, semua murid merasakan kecapean dan kehausan, semua perbekalan air habis, mereka berusaha mencari sumber air ditempat itu tidak satupun yang menemukannya. Melihat kondisi para muridnya yang sudah hampir kehabisan tenaga, Sang Wiku kemudian duduk bersila mengucapkan doa mantra, sambil menancapkan tongkatnya.. keluarlah kemudian air dari dalam Ibu Pertiwi, daerah itu kemudian dikenal dengan nama Toya Mantra/Yeh Mantra, Toya = Yeh = Air, Mantra = Karena air keluar setelah Sang Wiku menguncarkan Mantra.
Masyarakat menyebut Beliau sebagai Pandita Sakti, Pandita = Beliau yang mahir dalam sastra agama dan telah mencapai pencerahan, melewati proses dwijati yaitu lahir dua kali, pertama lahir dari rahim sang Ibu, kedua lahir dari Sang Nabe,karena kemampuan Beliau dalam memahami sastra agama dan ilmu-ilmu duniawi. Beliau selalu membimbing masyarakatnya untuk menjadi orang baik, mengajarkan cara pemecahan masalah yang sistematis dan metodis,  dan mampu menjadi penerang  bagi mereka yang kegelapan. Sakti=Karena kemampuan Beliau yang luar biasa dalam mewujudkan sesuatu yang sulit dijangkau dengan akal.Tak heran bila banyak sekali orang datang dari berbagai daerah berguru padanya.
Salah seorang keturunan Beliau ada yang mewarisi kebijaksanaanya, Oleh masyarakat Beliau juga sering dipanggil Pandita Sakti seperti julukan leluhurnya.
Pagi itu sinar mentari bersinar terang, langit biru bersih bening, burung-burung berkicau merdu seakan berlomba memperdengarkan tembang-tembang indahnya, kupu-kupu tidak ketinggalan menari riang mengikuti kicau burung sambil mengisap madu dari sari-sari bunga yang indah berwarna-warni di tepi kolam pesraman sang Pandita.
Tampak Pandita sedang berkumpul bersama murid-muridnya di bawah pohon di taman depan Pesraman Toya Mantra. Salah seorang murid mengacungkan tangan sambil bertanya:” Guru banyak orang mengatakan bahwa tanpa kerja sesungguhnya orang itu mati…benarkah hal ini?
“Kita sebagai manusia disebut sebagai mahluk hidup, ciri mahluk hidup itu adalah adanya aktivitas atau Kerja, misalnya: jantung bekerja untuk mengedarkan oksigen keseluruh tubuh, mengedarkan sari-sari makanan keseluruh tubuh sehingga setiap bagian dari tubuh mendapatkan jatah makanan secukupnya. Coba bayangkan bila jantung manusia berhenti bekerja sehari saja, bisakah kita dikatakan hidup…?
“Tidak Guru” jawab para murid serentak.
“Nah demikianlah jadi Kerja adalah cirri dari kehidupan ini, jadi bila kita tidak bekarja maka sama dengan kita akan mati. Salah seorang master spiritual mengatakan bahwa kehidupan sebagai manusia ini adalah penderitaan.
“Kenapa Guru? Tanya para murid
“Ketika hari mulai malam, mata mengantuk, kalo tidak tidur maka tubuh jadi tidak enak rasanya. Ketika pagi hari tiba, perut sakit minta diantar ke toilet untuk buang air kecil dan besar. Setelah itu perut keroncongan minta diisi, hari beranjak siang perut lapar dan kerongkongan kering haus lagi minta diisi, setelah makan dan minum, malam tiba kembali lagi peristiwanya terulang… binatangpun mengalami hal yang sama.
Bila kita sebagai manusia hanya melakukan rutinitas seperti diatas maka kita tidak beda dengan binatang, oleh karena itu maka kita mesti mengisi waktu dan kehidupan, menggunakan energi kita dengan lebih kreatif dari binatang sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kita dalam alam sekitarnya.
Alam inipun tidak berhenti bekerja, bayangkan bila bumi berhenti berputar, atau matahari berhenti bersinar, apakah kehidupan di bumi ini akan tetap berlangsung…? Karena bumi berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari maka ada waktu, ada pergantian musim, yang membuat kehidupan di bumi ini bertahan.
Demikian pula Anakku, sebagai manusia kita jangan sampai tidak bekerja, karena perut ini minta diisi dengan makanan, tubuh ini minta dibersihkan dengan air, kita perlu tempat tinggal, perlu pakaian, perlu alat-alat komunikasi, transportasi, perlu hiburan, perlu peningkatan diri dan apresiasi yang semuanya dilakukan dengan Kerja.
Ananda boleh bermimpi tinggi-tinggi, tapi kalo tidak diwujudnyatakan dengan tindakan Kerja nyata (action) dia akan terkubur bersama sang waktu. Ananda memiliki banyak ilmu dan teori kalo tidak dipraktikkan akan seperti burung beo hanya bisa bicara saja, seperti pepatah di Bali orang yang pinter ngomong saja dikatakan seperti Subatah, pepatah melayu mengatakan; Tong kosong nyaring bunyinya.
Bapak jadi teringat dengan nasehat seorang teman ketika masih di luar negeri: Words just take you to the gate only action will bring you inside. Kata-kata hanya mengantar kita pada gerbang kesuksesan, namun tindakan nyata yang membawa kita menikmati kesuksesan. Jadi Kerja atau aktivitas itulah sesungguhnya yang membawa Ananda menikmati kesuksesan.
Oleh karenanya dapatkanlah pekerjaan, bila tidak dapat pekerjaan sesuai dengan yang diinginkan, cintailah pekerjaan Ananda saat ini, namun jangan batasi diri dengan tempat Ananda bekerja. Bukalah mata dan telinga, raihlah kesempatan, tingkatkanlah diri Ananda dengan terus mengasah kompetensi diri. Miliki kompetensi dari pekerjaan yang diinginkan.
Dengan memiliki pekerjaan, kita akan memiliki pendapatan, dengan adanya pendapatan maka kita minimal bisa memenuhi kebutuhan sendiri, tidak menjadi beban bagi orang lain. Bila ada rejeki yang berlebih jangan lupa Ananda sisihkan untuk mereka yang membutuhkan seperti, orang-orang jompo, anak-anak yatim piatu, anak-anak miskin, pembangunan tempat ibadah, sekolah, sarana umum, sehingga hasil keringat Ananda bisa dinikmati oleh banyak orang. Jadi anakku, dengan bekerja sesungguhnya Ananda ikut memutar roda kehidupan ini.
De Van Diva (DVD)

sumber : http://fiksi.kompasiana.com/dongeng/2011/12/31/memutar-kehidupan-dengan-bekerja-serial-pandita-sakti-426950.html#