Pengunjung

free counters

Wednesday, December 19, 2012

Empat Macam Kebahagiaan



Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau menderita, itu adalah hakikat dasar semua mahluk. Sehingga setiap orang mencari kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Ada empat macam kebahagiaan bagi para mahluk, sesuai dengan tingkat pertumbuhan jiwa-nya masing-masing dalam roda samsara :

1. ASHANTI

Orang seperti ini tunduk oleh sifat lobha [serakah]. Keinginannya liar, tidak pernah puas.

Misalnya saja :
- Ketika sudah bisa punya mobil Kijang, dia bandingkan dengan mobil BMW.
- Ketika sudah bisa punya rumah, dia bandingkan dengan rumah mewah.
- Sudah menikah punya suami atau istri, dia banding-bandingkan dengan orang lain yang tampan atau cantik.
- Mampu menghasilkan uang satu juta, dia bandingkan dengan uang lima juta.
- Bisa menjadi camat, dia bandingkan dengan menjadi gubernur.
- Dsb-nya.



Ciri lain orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis-habisan : seks yang bebas se-enak-enaknya, makan yang se-enak-enaknya, ingin dihormati semua orang, dll. Sangat sulit menemukan kebahagiaan atau kedamaian, karena keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-citanya selalu tidak terpuaskan. Orang seperti ini cenderung mudah gelisah, sering resah dan cepat marah. Tidak sadar bahwa dia akan menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.

2. KAMA SHANTI

Orang seperti ini merasakan kebahagiaan atau kedamaian karena sebagian keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-citanya terpenuhi. Dengan kata lain sumber kebahagiaan atau kedamaian dari "diluar diri". Dengan MENDAPAT.

Sifat kebahagiaan atau kedamaian seperti ini rapuh atau goyah, umurnya tidak lama.

Perhatikan saja :
- Orang yang bahagia bisa beli HP model baru, senangnya paling lama dua bulan, karena kemudian sudah ingin beli model yang lebih baru lagi.
- Karyawan yang bahagia karena naik gaji, paling lama dua minggu sudah merasa kurang lagi.
- Bahagia karena bisa pergi jalan-jalan rekreasi, pulangnya bahagianya sudah lenyap karena cucian menumpuk.
- Damai karena paginya disayang dan dimanja istri, sorenya damainya lenyap karena istri marah-marah.
- Gembira dan puas karena malamnya menonton lawakan di TV, besok paginya gembira dan puas sudah lenyap karena boss di kantor marah-marah.
- Bahagia, puas dan damai karena dipuji serta dihormati orang, tapi berikutnya bahagia, puas dan damai seketika hilang lenyap karena ketemu orang yang menghujat - menghina kita.
- Damai karena bisa makan enak di restaurant, besoknya damainya sudah hilang karena ban mobil pecah di jalan dan sangat sulit mencari bengkel.
- Yang paling celaka adalah merasa bahagia dan puas bisa melampiaskan kemarahan atau memuaskan ego. Padahal kemarahan atau ego tidak akan pernah padam dengan cara demikian, malah semakin membakar menjadi penyakit di lubuk bathin. Dan hidup kita kemudian tidak akan tenang karena khawatir, curiga dan was-was.
- Dsb-nya.



Tentu sama sekali tidak salah mencari dan menemukan kebahagiaan atau kedamaian seperti ini. Hal ini juga bagus dan berguna. Pertama, lihatlah wajah-wajah yang ceria dan gembira sepulang dari tempat rekreasi, seusai membeli HP model baru, sehabis menonton lawakan di TV, dll. Kedua, karena hal-hal seperti ini berguna sebagai sebagai energi pendorong kemajuan. Ketiga, karena semuanya sedang melakukan hal yang sama : bertumbuh.

Catatannya : Gunakan semua hal itu sebagai energi pendorong kemajuan, tapi hindari semua hal itu agar tidak menjadi perangkap kehidupan.

3. MANAH SHANTI

Orang seperti ini merasakan kebahagiaan atau kedamaian karena sudah banyak “melepaskan”. Melepaskan diri dari keterikatan kepada pikiran, perasaan, materi dan tubuh, melalui sikap penuh kerelaan [aparigraha], pikiran positif [manacika], rasa syukur yang mendalam [santhosa], dll. Dengan kata lain sumber kebahagiaan atau kedamaian dari "dalam diri". Dengan MELEPASKAN, MERELAKAN dan MEMBERI.

Misalnya saja :
- Tidak saja ketika istri lagi baik ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika istri lagi marah-marah juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa syukur yang mendalam dan penuh kerelaan, karena istri yang lagi marah sedang menjadi guru tertinggi yang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana.
- Tidak saja ketika lagi banyak uang ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika lagi bangkrut-pun juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa syukur yang mendalam dan penuh kerelaan, karena bangkrut sedang mengajarkan kita untuk menjadi sederhana dan rendah hati.
- Tidak saja ketika sedang sehat ada kebahagiaan atau kedamaian, ketika lagi sakit keras juga ada kebahagiaan atau kedamaian. Melalui pikiran positif, rasa syukur yang mendalam dan penuh kerelaan, karena sakit keras membuat kita banyak membayar hutang karma.
- Dsb-nya.



Ini adalah tahap dimana welas asih dan kebijaksanaan mulai bersemi. Dan sifat kebahagiaan atau kedamaian seperti ini mulai dalam dan kokoh.

4. PARAMASHANTI

Ini adalah tahapan orang suci, tahapan jivan-mukti [terbebaskan]. Sifat kebahagiaan atau kedamaian sudah sempurna, tidak tergoyahkan.

Karena seluruh kegelapan bathin [sad ripu] dan ke-aku-an [ahamkara] sudah lenyap sempurna. Termasuk keinginan untuk menjadi suci ataupun mengalami pembebasan juga sudah lenyap. Sadar bahwa sebenarnya tidak ada dualitas sedih-bahagia, baik-buruk, suci-kotor. Sadar bahwa semua itu hanya kecenderungan pikiran belaka. Tetua kita dulu menyebutnya rwa bhinneda, ketika dualitas disatukan, disana yang absolut muncul.

Ketika seseorang berhenti digerakkan oleh keinginan, yang bekerja adalah hukum semesta. Dia mengalir sempurna dalam sungai kehidupan alam semesta.



EVOLUSI JIWA DAN SVADHARMA DALAM MENGARUNGI KEHIDUPAN

Setiap orang dalam hidup ini jiwanya bertumbuh dan punya tugas kehidupan yang berbeda-beda dalam setiap tahap kehidupan [Catur Asrama]. Idealnya hidup ini bisa kita ibaratkan seperti menanak nasi memakai kompor. Di awal menanak nasi kita perlu api yang besar. Tapi begitu airnya mendidih, airnya mau habis, apinya kita kecilkan. Setelah nasinya masak, apinya kita matikan.

Begitu pula dalam hidup ini, ketika kita masih di tahap Brahmacari [tahap lajang dan belajar di sekolah] dan Grhasta [tahap menikah dan berumah-tangga], kita masih muda dan kuat, kita perlu api yang besar. Artinya keinginan, harapan, hasrat, gairah, kepentingan, ego, ambisi atau cita-cita tidak apa-apa masih menyala-nyala, sebagai pendorong kemajuan, dengan catatan tidak boleh melanggar dharma. Karena kita punya kebutuhan dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi. Cirinya adalah kebahagiaan kita ada saat keinginan terpenuhi. Ingin punya motor, kemudian dapat motor, kita bahagia. Ingin punya rumah, kemudian dapat rumah, kita bahagia. Ingin gaji naik, kemudian gaji naik, kita bahagia [Kama Shanti].

Tapi begitu umur kita bertambah dan kita menua [idealnya mulai saat memasuki umur 40 tahun], di depan gerbang tahap Vanaprastha [tahap belajar melepas keduniawian], apinya secara bertahap harus mulai kita kecilkan. Cirinya kita tidak lagi bahagia karena keinginan kita terpenuhi, tapi karena pikiran positif, rasa syukur yang mendalam dan sikap penuh kerelaan [Manah Shanti].

Dan memasuki tahap paripurna yaitu tahap Sanyasin [tahap mendaki gunung pencerahan], sangat bagus kalau apinya kita matikan. Artinya seluruh kegelapan bathin [sad ripu] dan ke-aku-an [ahamkara] sepenuhnya lenyap [Paramashanti]. Tidak terbayang indahnya kalau di saat menjelang kematian, kita bisa menyambut kematian dengan pikiran yang hening sempurna.

Om shanti shanti shanti.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Kajeng Kliwon Uwudan & Anggara Kasih Kulantir

sumber : http://www.facebook.com/notes/rumah-dharma-hindu-indonesia/empat-macam-kebahagiaan/10150897342476722

No comments:

Post a Comment