Pengunjung

free counters

Saturday, November 2, 2013

Agama Buddha dan Kesaktian


 Seseorang bisa memiliki kesaktian jika orang tersebut dapat memasuki ketenangan dalam medhitasi dan memperoleh kebijaksanaan / kecerdasan, maka kesaktian akan datang dengan sendirinya. Ada enam macam kesaktian dalam ajaran agama Buddha yaitu : 
1. Kesaktian mata. 
2. Kesaktian telingan.
3. Kesaktian kaki. 
4. Kesaktian mengetahui pikiran orang lain. 
5. Kesaktian mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang. 
6. Kesaktian menghilangkan kerisauan. 
Iblis atau aliran sesat juga memiliki kesaktian, tetapi mereka tidak dapat memiliki Kesaktian nomor 6 yaitu Kesaktian menghilangkan kerisauan. Di dalam ajaran agama Buddha, kesaktian bukanlah tujuan utama untuk mencapai kebebasan hidup dan mati. Tetapi kadang-kadang dengan menggunakan sedikit kesaktian akan bisa menuntun umat kearah melatih diri. Para Buddha Bodhisattva karena ingin menuntun umat, maka dengan kebijaksanaan mereka akan menunjukkan kesaktian demi meyakinkan umat dan menuntun umat menuju ke arah melatih diri, karena umat memiliki sifat merasa aneh dan ingin tahu. Misalnya Avalokitesvara Bodhisattva, dengan menggunakan kesaktiannya, melihat dan mendengar penderitaan makhluk hidup lalu datang menolonginya. Walaupun demikian, kesaktian hanyalah salah satu dari 84.000 cara Buddha untuk menuntun umat. Kesaktian bukanlah tujuan yang sebenarnya dari ajaran Buddha. Di dalam ajaran agama Buddha, sebesar atau sekuat apapun kesaktian seseorang, dia tidak akan bisa mengalahkan kekuatan Karma. Karma adalah kekuatan yang tidak terkalahkan. Salah satu murid Buddha, Mahamaudgalyayana (Mu Jian Lian) yang mempunyai julukan Kesaktian nomor satu, dengan menggunakan kesaktiannya dia juga tidak bisa menolong ibunya terlepas dari penderitaan di neraka. Oleh sebab itu, untuk memperoleh kesaktian dan tidak terjerumus kearah sesat, maka pelatih harus memiliki syarat : 
1. Welas asih. Menggunakan kesaktian dengan hati yang welas asih akan membuat hati umat menjadi tenang. Jika pelatih telah menjauhi welas asih, maka iblis akan menguasai dirinya. 
2. Taat pada sila. Dengan menaati sila, maka pelatih akan mawas diri, tidak menggunakan kesaktiannya berbuat semaunya. 
3. Kebijaksanaan. Kesaktian tidak dapat menghilangkan kerisauan. Jika tidak ada kebijaksanaan, maka kesaktian akan membuat dirinya semakin risau. Dharma Buddha mengajari kebenaran bukan kesaktian. Pada saat Buddha berada di dunia, kegiatan hidup Beliau tidak ada bedanya dengan orang biasa, seperti yang tertera dalam kitab suci “Sutra Intan”. Buddha selalu menggunakan welas asih, kebijaksanaan dan moral untuk menuntun umat, tidak menggunakan kesaktian untuk merayu umat.

sumber :  http://guanyintemple.org/v20/ajaran/index.php?act=detail&nid=115

Thursday, July 4, 2013

Berkah dan Kesucian Tapa-Brata


BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (1/2)
TAPA-BRATA PRASYARAT UTAMA JALAN PENSUCIAN BATIN
Tapa bukanlah istilah yang samasekali asing bagi bangsa kita. Banyak mithologi dan sejarah menggunakan kata ini. Bahkan dalam sejarah tradisional Bali disebutkan keberadaan seorang raja Bali yang diberi gelar Sri Tapolung, Raja Tapa Ulung atau Bedahulu, yang tidak tunduk pada kekuasaan Majapahit ini, digambarkan amat sakti. Para Patihnyapun sakti mandraguna. Untuk menundukannya saja, Majapahit diharuskan mengirim satu armada besar dengan banyak senopati (arya) serta dipimpin oleh dua panglima perang besar Majapahit, Gajahmada dan Arya Damar.
The Divine Life Society menterjemahkannya dengan ‘austerity’. Dalam konteks ini, ia dapat diartikan dengan pola hidup disiplin, penuh pengendalian diri, pengekangan hawa nafsu, kecermatan dan kewaspadaan. Ia juga merupakan praktek penggemblengan diri guna memperoleh ketahanan fisik dan mental, kehidupan spiritual guna mensucikan diri, kehidupan yang dijalani oleh para orang-orang suci.
Brata sendiri diartikan sebagai taat pada sumpah spiritual. Baik pada Tapa maupun Brata tersirat adanya ‘tekad yang kuat’ untuk menjalankan apa yang dipandang sebagai kebenaran. Secara praktis, Tapa tiada dapat dipisahkan pelaksanaannya dengan Brata; oleh karenanyalah mereka lebih sering digunakan dalam satu rangkaian kata bentukan, Tapa-Brata. Istilah Tapa-Brata akan teramat sering kita temui dalam kisah-kisah mithologis Hindu, budaya spiritual India, Nusantara maupun wilayah-wilayah yang menganut budaya spiritual India (Hindu dan Buddha).
Inilah Brata bagi Sang Brahmana, dua belas banyaknya yaitu: dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajña, dana, dhrti dan ksama.
Dharma bersumber pada sifat Sattva. Tapa yakni disiplin mengendalikan jasmani dan mengekang hawa nafsu. Dama artinya keinsyafan, bisa menasehati diri sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak bersifat iri dan dengki. Hrih artinya malu untuk berbuat salah atau tak-senonoh. Titiksa artinya mengendalikan diri untuk tidak sampai marah besar. Anasuya artinya jangan berbuat dosa. Yajña berarti senantiasa melaksanakan korban suci. Dana artinya berdana-punia. Dhrti artinya melaksanakan penenangan dan pensucian pikiran. Ksama artinya tahan cobaan dan suka memaafkan. Semua itulah Brata Sang Brahmana.” (Sarasamušchaya: 63)
Dalam pustaka suci Sarasamušchaya, Tapa dimasukan sebagai salah satu item pelaksanaan Brata, seperti ditunjukkan oleh sloka 63 diatas. Jadi, ia dapat dikatakan sebagai suatu paket praktek spiritual (Sadhana). Melakoni Tapa-Brata dipandang sebagai satu prasyarat mutlak bagi upaya penggalangan kesucian batin, dalam ajaran Hindu. Para bijak dan orang-orang suci mampu memberi berkah karena ketekunan beliau dalam melaksanakan Tapa-Brata. Hal ini terungkap jelas pada sloka Manawa Dharmaçastra berikut.
Persembahan yang dilakukan kepada bijaksanawan (viprah) yang tinggi pengetahuan sucinya dan yang tekun dalam melaksanakan Tapa-Brata, memberi berkah selamat dari kesialan kecil maupun kesialan besar.” (MDs. III: 98)
PELAKSANAAN TAPA-BRATA DAN MEMPELAJARI WEDA, DUA PRILAKU BERAGAMA UTAMA BAGI UMAT HINDU
Seorang Dwijati yang telah disucikan dengan cara-cara yang sesuai, secara bertahap melaksanakan Tapa-Brata, yang telah ditetapkan bagi mereka yang mempelajari Weda. Seorang Arya harus mempelajari seluruh Weda beserta Upanishad-upanishadnya, sekaligus melakukan bermacam-macam Tapa-Brata serta mengindahkan pantangan-pantangan yang ditetapkan dalam Weda. Hendaknya seorang Brahmana yang hendak melaksanakan Tapa-Brata selalu mengulangi ajaran Weda, karena menurut para bijaksanawan mempelajari ajaran Weda merupakan Tapa-Brata tertinggi di dunia ini. Sesungguhnya, Dwijati melakukan Tapa-Brata tertinggi jika ia setiap hari mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuannya, walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung kaki.” (MDs. II: 164, 165, 166 dan 167)
Dwijati artinya telah terlahir untuk kedua kalinya, yakni: pertama terlahir dari rahim ibunya dan berikutnya terlahir dalam dunia ilmu pengetahuan, beserta segala upacara yang terkait sejak ia dalam kandungan (Sangaskara), sesuai dengan yang tersurat dalam Weda-weda. Menurut Manawa Dharmaçastra, golongan Triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Wesya) adalah mereka yang Dwijati, sedangkan kaum Sudra adalah Ekajati. Hanya para Dwijati yang diwajibkan untuk mempelajari Weda-weda. Manusia dari ke-empat Warna inilah yang membentuk peradaban Arya, yang diartikan sebagai orang-orang baik yang berkebajikan tinggi sesuai ajaran Hindu. Dalam hal ini, para Pendeta atau Sulinggih adalah Trijati, telah terlahir untuk ketiga kalinya di dunia spiritual-religius Hindu. Selain ke-empat Warna ini, Hindu tidak mengenal golongan kelima (dan seterusnya) dalam struktur kemasyarakatannya. Ini ditegaskan kembali pada sloka 61 pustaka suci Sarasamušchaya.
‘…mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuannya’, seperti yang diungkapkan dalam sloka diatas tiada lain adalah praktek sadhana dari Mantra Yoga. Darisini tampak jelas bahwasanya Tapa-Brata adalah fondasi yang kokoh bagi tahapan selanjut, Yoga-Samadhi. Sesungguhnyalah, Tapa-Brata-Yoga-Samadhi adalah jalan utama yang disodorkan oleh Hindu guna mencapai tujuan akhirnya, yakni Moksha.
‘…..walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung kaki.’; yang dimaksudkan dalam kiasan ini adalah: walaupun Dwijati tersebut masih bergelimang kemulyaan duniawi, namun beliau tiada terikat kepadanya. Banyak contoh-contoh dalam kitab-kitab suci Hindu yang menceritrakan tentang paradigma ini. Raja Janaka adalah salah satu contoh dari seorang Muni, sementara beliau tetap sebagai raja yang arif. Krishna adalah seorang raja, demikian pula Yudhistira; mereka adalah para raja-raja besar yang suci.
TAPA-BRATA MERUPAKAN JALAN YANG MENGHANTARKAN MANUSIA MENUJU PENCAPAIAN JAGAT HITA DAN MOKSHA
Obat-obatan, kesehatan yang prima, berbagai sifat kedewataan, dapat dicapai hanya melalui kesucian Tapa; oleh karena sesungguhnya Tapa-lah jalan untuk mencapainya.” (MDs. XI: 238)
Berapa banyakpun kita telah berhasil mengumpulkan harta benda duniawi, namun bila tubuh ini sakit-sakitan, semua itu tidak mendatangkan kebahagiaan walau hanya sejenak. Kesehatan yang prima menjadi salah-satu pilar utama penopang kebahagiaan hidup didunia ini (jagat hita). Dan itu dapat diberikan oleh pelaksanaan Tapa-Brata dengan tekun dan ersungguh-sungguh. Hakekat kedewataan manusia menjadi semakin samar dan redup cahayanya oleh liputan kenafsuan (kama), keserakahan (lobha), kemabukan (moha), belenggu keterikatan (tresna), kebodohan (avidya) dan egoisme (ahamkara) nya. Pengendalian, penahanan dan pengekangan diri adalah bahagian-bahagiaan pokok dari pelaksanaan Tapa-Brata yang secara pasti membangkitkan kembali cahaya luhur kedewataan (daivisampat) yang telah terbenam sekian lama dari batin manusia. Dari sloka diatas, kita tak hanya diberi penegaskan akan peran penting yang dimainkan Tapa bagi pencapaian jagathitam, akan tetapi juga sebagai upaya terarah menuju sifat-sifat luhur kedewataan.
Bukan hanya itu, lebih jauh lagi mereka yang mensucikan dirinya melalui Tapa-Brata juga dapat memperoleh kesiddhian, bahkan mencapai kebahagiaan abadi, ‘suka tanpa wali duka’ atau ‘anandam’ dan ‘kelepasan’ dalam kehidupan ini juga. Ini dinyatakan oleh tiga sloka berikut.
Dengan menguncarkan Weda setiap hari, dengan mematuhi peraturan-peraturan kesucian, dengan melakukan Tapa-Brata dan tiada menyakiti makhluk lain, seseorang bisa memiliki kemampuan untuk ‘mengingat masa-masa kehidupannya yang terdahulu’. Ia yang demikian, bila terus menguncarkan Weda, akan menikmati ‘kebahagiaan abadi’.” (MDs. IV: 148 dan 149)
Dengan tidak menyakiti makhluk lain, dengan memutuskan ikatan terhadap objek kenikmatan indriya, dengan upacara seperti yang ditetapkan dalam pustaka suci Weda serta dengan latihan berat Tapa-Brata, manusia dapat mencapai tingkat tertinggi (jivanmukta) dalam kehidupan ini juga.” (MDs. VI: 75)
Mereka yang telah sadar akan kepapaannya serta memahami hakekat dirinya yang Sejati, akan tiada bosan-bosannya untuk berupaya guna meraih kembali Kesujatiannya. Tapa menyediakan jalannya, yakni:
“Melalui pengakuan, penyesalan, pensucian dengan Tapa dan mengucapkan mantra-mantra Weda, yang berdosa akan bebas dari kesalahannya, apabila semua itu tiada mungkin dilaksanakan maka dapat pula dilakukan dengan berdana-punia.” (MDs. XI: 228)
Penebusan melalui Dana-punia banyak dianjurkan dalam Hindu, juga dalam ajaran agama lainnya. Dana-punia juga disebut-sebut sebagai kewajiban utama bagi manusia dalam Upanishad. Pustaka-pustaka suci menyebutkan bahwasanya Dana-punia berupa ‘pengetahuan suci’ (jnana) adalah Dana-punia yang tertinggi yang dapat dihaturkan manusia. Namun diingatkan pula bahwa, sama halnya dengan Yajna, ia mesti didasari ketulusan yang tanpa pamerih. Ketulusan inilah yang mensucikan semua bentuk korban yang kita haturkan, hingga layak disebut ‘korban suci’ (Yajna).
Kita sadar bahwa kecerobohan adalah salah satu dari indikasi keterbatasan kita. Secara senagaja mungkin kita tak hendak berbuat salah, ataupun melakukan pelanggaran; akan tetapi tiada kita pungkiri bahwa (mungkin) banyak kesalahan dan pelanggaran yang telah kita lakukan tanpa sengaja. Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk itu? Nah….masalah inilah yang kita cari pemecahannya dalam paparan sloka-sloka berikut.
Ia yang berkeinginan bebas dari semua kesalahannya, setelah melakukan pelanggaran, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja, hendaknya tiada mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya. Kalau pikirannya menjadi gelisah karena suatu perbuatan salah, hendaknya ia melakukan Tapa seperti yang diwajibkan sampai merasa tenang dan kembali kesadarannya. Dinyatakan oleh para Maharshi bijaksana penerima wahyu Weda bahwa, semua rakhmat dari para Dewa dan manusia berawal pada kesucian Tapa; karena kesuciannya ada ditengahnya maupun akhirnya.” (MDs. XI: 233, 234 dan 235)
———————————-
From: anatta-bali [SMTP:anattagotama@telkom.net// ]
To: Hindu-Dharma Net
Subject: [hindu] BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (2/2) Sent: 7/7/02 10:48 AM
BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (2/2)
BAGAIMANA TAPA DILAKSANAKAN?
“Mengejar pengetahuan suci adalah Tapa bagi para Brahmana, melindungi rakyat adalah Tapa dari kaum Ksatrya, melaksanakan kewajiban berusaha adalah Tapa bagi Wesya dan mengabdi adalah Tapanya kaum Sudra.” (MDs. XI: 236)
Dari sloka ini, kita ketahui bahwasanya ternyata bagi masing-masing warna punya bentuk Tapanya sendiri-sendiri. Melalui Tapa masing-masing inilah, semua manusia Hindu memiliki kesempatan yang sama besarnya dalam berupaya mensucikan-diri secara lahir-batin. Perlu kiranya diingatkan kembali bahwa dalam konteks ini, warna yang dimaksud hendaknya tidak dipandang berdasarkan pengertian sempit –garis keturunan, soroh ataupun warga; akan tetapi sebagai kecenderungan atau minat dasar yang dominan pengaruhnya dalam membentuk bakat dan karakter bawaan seorang anak manusia. Semua itu dibawa dari kelahirannya yang lampau, demikian doktrin Karma Phala dan Samsara mengajari kita.
Nah….secara kontekstual, di dalam semua bahagian tulisan ini, hendaklah kita memandangnya seperti itu; yang pasti bukan sebagai ‘kasta’. Jadi, sesungguhnya tiada diskriminasi dalam meraih tujuan akhir dalam Hindu. Caranyalah yang berbeda, disesuaikan dengan minat, bakat, serta sifat-sifat atau kecenderungan bawaan masing-masing. Dan bagusnya adalah, semua disediakan jalan yang paling sesuai untuknya. Peluang pencapaian tujuan antara maupun tujuan akhir terbuka lebar bagi semua manusia Hindu, tanpa kecuali.
Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa.” (MDs. XI: 237)
Dari sloka yang satu ini kita ketahui jenis makanan (diet) Sattvik yang menunjang keberhasilan seorang Yogi. Yang pasti, jenis makanan tersebut adalah jenis makanan vegetaris. Sementara, para akhli kesehatan dan psikolog modern juga telah menemukan keterkaitan erat antara makanan dengan ketenangan dan kesehatan mental, pada umumnya, walaupun tidak dapat dipandang sebagai suatu kemutlakan, maka para orang-orang suci dan Yogi purbakala, malah telah memanfaatkan pengetahuan tersebut bagi penyempurnaan dan pensucian jiwanya.
Terkait dengan makanan dan minuman, disamping jenis, waktu atau frekwensi, jumlah dan pola makan secara keseluruhan juga amat menentukan dalam praktek spiritual. Ada yang menganjurkan jenis makanan sattvik bagi para penekun jalan spiritual, dan ada juga yang hanya mengkonsumsi jenis makanan vegetaris saja. Namun, pada prinsipnya, yang perlu dipegang teguh dalam hal ini adalah: ‘Makanan maupun minuman tidak semata-mata dimaksudkan untuk memuaskan indriya pengecap (lidah), namun lebih pada penunjang kesehatan lahiriah maupun kestabilan batiniah’. Ini akan banyak menunjang dalam peningkatan spiritualitas dan pengembangan batin seorang penekun praktek spiritual.
PARA DEWA-PUN BERTAPA
Para Dewa dengan segala kecemerlangan sifat-sifat kedewataannya diperoleh sebagai anugerah dari pelaksanaan Tapa-Brata. Semesta raya juga diciptakan melalui Tapa Hyang Widhi, demikian disebutkan dalam Weda-weda, juga dalam Manawa Dharmaçastra.
“Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melampauinya.
Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapanya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapanya yang teguh, waspada bak hartawan menjaga kekayaannya.
Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapanya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Weda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa melalui Tapanya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa.” (MDs. XI: 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245)
Jadi, keutamaan dan keagungan Tapa-Brata seperti yang diajarkan dalam Hindu melalui Weda-Weda, tidaklah perlu diragukan lagi. Bagi kita, hanya keberanian dan kesiapan mental-lah yang dibutuhkan untuk melakoninya. Itu saja. Betapapun luhurnya suatu ajaran, ia tetap hanya berupa slogan, semboyan dan angan-angan kosong saja bagi kita, tanpa dilakoni. Semua itu sepenuhnya dipulangkan kembali kepada kita.
Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga Kebahagiaan dan Kedamaian senantiasa menghuni kalbu semua insan.
Hindu-Dharma Net

sumber : http://hukumhindu.blog.com/2011/07/15/berkah-dan-kesucian-tapa-brata/

Tuesday, April 30, 2013

Sloka 405-423 Sarasamuscaya (PENYEIMBANGAN INDRA)

PENYEIMBANGAN INDRA
  • 405. Seperti keberadaan seorang pandai emas yang sedang melebur emas, jika kurang cakap dan giat proses peleburan berlangsung lama; sebaliknya jika cakap dan giat, emas itu dapat dengan cepat dilebur.
  • 406. Demikianlah keberadaan sang jiwa dalam usaha pembersihannya agar menjadi suci dan bebas dari ego angkara, jika cerdas dan berusaha dengan giat niscaya jiwa dengan cepat dapat disucikan; sebaliknya jika bodoh dan malas, meskipun dalam beratus-ratus inkarnasi jiwa belum juga bisa disucikan.
  • 407. Bagaikan orang yang secara rutin membersihkan badannya, ia tidak memerlukan waktu lama untuk mandi; tidak demikian halnya dengan orang yang jarang mandi, diperlukan waktu lama dan usaha yang keras agar dapat terbebas dari kotoran. Demikianlah kemarahan, kerakusan, dan segala bentuk pencemaran indra-indra harus dibersihkan dengan giat dari badan.
  • 408. Cara menghilangkan kemarahan janganlah ambil hati hinaan. Cara menghilangkan birahi sesat jangan sampai dirasuki asmara buta. Cara menghilangkan kebodohan tinggalkanlah kebingungan. Cara menghilangkan keserakahan/kerakusan, sadarlah terhadap kemampuan diri dan puaskan hati. cara menghilangkan ikatan duniawi, sadarlah akan hakekat segala sesuatu yang tidak pernah abadi.
  • 409. Adapun harapan/khayalan akan tercapainya sesuatu dileyapkan oleh kesadaran akan kuasa takdir. Kelekatan pada kemewahan dan kesenangan dileyapkan oleh ketidakterlekatan diri padanya. belenggu cinta dan kasih sayang dapat dikendorkan oleh keyakinan akan ketidakkekalan hidup. Kesusahan dan kedukaan hati dilenyapkan oleh pengendalian indra-indra dalam yoga.
  • 410. Kesombongan diberantas oleh kasih sayang, nafsu dilenyapkan oleh perasaan puas dan gembira; kemalasan dihilangkan oleh usaha, kebimbangan pun keragu-raguan dihilangkan oleh kemantapan dan keyakinan pada kesejatian.
  • 411. Jika keangkuhan dan keakuan dapat dimusnahkan, cinta kasih masyarakat akan datang; jika nafsu birahi dapat dikendalikan dengan baik, kenikmatan sejati akan diperoleh; jika kemarahan dapat dihilangkan, lenyaplah musuh-musuh dan perasaan curiga; jika mampu lepas dari nafsu indrawi, tidak akan ada lagi kesedihan.
  • 412. Masing-masing Indra selalu menuntut kepuasannya, orang yang bijaksana akan mengendalikan indra-indranya dengan baik, sebab jika indra tanpa kendali, ia akan menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan bajik dan benar.
  • 413. Untuk menangkis datangnya nafsu birahi sesat, hendaknya orang jangan merindukan hubungan terlarang, jangan memikirkannya, jangan menyentuhnya, jangan melihat apapun yang menyebabkan munculnya nafsu sesat itu. Jika birahi dapat di kendalikan, pastilah akan jauh dari kejahatan.
  • 414. Sebab munculnya birahi sesat bersumber dari kegairahan pada sesuatu yang tidak pantas, jika hasrat hati itu tidak dapat dikekang dan bertambah kuat pastilah orang akan tenggelam dalam kesesatan. Maka dari itu orang yang bijaksana tidak akan membiarkan dirinya diperbudak oleh nafsu birahi.
  • 415. Orang bijaksana paham betul baik-buruk segala sesuatu, ia memiliki pemahaman sempurna akan hakekat apapun; ia yang tercerahi dapat melihat dunia yang tadinya kejam menjadi ramah, yang tadinya buruk menjadi indah, yang tadinya kurang kini berlimpah.
  • 416. Segala yang ada dan tersedia disemesta ini adalah milik bersama sekalian makhluk, hanya orang-orang serakahlah yang beranggapan bahwa ia adalah pemiliknya, lalu mereka terjebak dan diperbudak oleh kebencian dan kelobaan hati; sedangkan bagi orang bijaksana hanya kepuasan hati itulah yang dijadikannya harta pribadi.
  • 417. Bagi orang bijaksana kelekatan pada objek-objek indra itulah yang justru di tinggalkannya.
  • 418. Orang-orang sengsara dan merana kerena ditinggal kekasihnya, sedangkan bagi mereka yang bijaksana tidak akan ada kesedihan yang melemahkan hati, sebab paham betul akan hukum ketidak kekalan.
  • 419. Usahakanlah segala sesuatu untuk tujuan kebajikan, hendaknya dipertimbangkan betul kemalasan diri, sebab inilah sumber dari kebodohan.
  • 420. Maka bagi mereka yang hendak memperoleh kebahagiaan sejati, istirahatlah pada jam istirahat, bekerjalah pada jam kerja, jangan melamun, jangan diperbudak birahi, jangan mabok, jangan malas, jangan berbuat jahat, dan kendalikanlah nafsu-nafsu indrawi.
  • 421. Pengendalian pikiran harus terus di usahakan, jangan biarkan hawanafsu bebas bergerak semaunya, sebab kejahatan pasti muncul dari liarnya nafsu yang akhirnya akan menenggelamkan orang pada duka nestapa.
  • 422. Orang yang diperbudak nafsu dan mereka yang selalu memenuhi kenikmatan indrawinya sungguh tidak akan pernah merasa puas walau segala upaya telah dilakukan untuk memanjakan nafsu indrawinya itu, bagaikan usaha ayam hutan yang hendak berteduh pada bayangan burung elang, kapankah ia akan terhindar dari panas terik.
  • 423. Birahi sesat itu jika dituruti tidak akan pernah terpuaskan, meskipun orang telah memberikan apa yang diidam-idamkannya; makin dituruti makin hebat keadaannya. Bagaikan api yang menyala karena minyak, semakin banyak dituangi semakin bertambah besar saja nyalanya.
  •  
  • sumber : http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/06/sloka-405-423-sarasamuscaya.html

Sloka 424-442 Sarasamuscaya (WANITA JALANG / LELAKI HIDUNG BELANG)

WANITA JALANG / LELAKI HIDUNG BELANG
  • 424. Tidak ada yang menyamai kehebatan birahi sesat dalam membuat kesengsaraan, maka dari itu jauhi wanita jalang/lelaki hidung belang itu, jangan pernah diangan-angankan, sebaiknya ditinggalkan saja.
  • 425. Adapun mereka yang kehilangan akal, wanita jalang/lelaki hidung belang inilah salah satu penyebabnya; mereka menjual harta benda dan bahkan harga diri sekalipun demi wanita jalang/lelaki hidung; inilah awal dari segala kesengsaraan, oleh karena itu jangan sampai hati tertambat olehnya.
  • 426. Wanita jalang/lelaki hidung belang sesungguhnya lebih berbahaya dari badai, banjir bandang, api yang berkobar-kobar, ataupun bisa yang mematikan.
  • 427. Sebab wanita jalang/lelaki hidung belang senantiasa akan memancing nafsu birahi lalu mengikat si bodoh dalam tali temali asmaranya yang kuat.
  • 428. Tidak ada yang menjadi pantangan bagi wanita jalang/lelaki hidung belang, ia tidak membedakan apakah orang tua ataukah bocah, jika nafsu birahinya datang semua orang digoda dan diajak melakukan senggama.
  • 429. Umumnya wanita jalang/lelaki hidung belang itu berprilaku buruk, tidak dapat diatur walau telah dibatasi. Meskipun mereka berpendiikan agama, moral dan budi pekerti; jika ada kesempatan lupalah ia akan agama, moral pun budi pekerti.
  • 430. Bagaimanapun sulitnya ilmu pengetahuan ia dapat dipahami jika tekun mempelajarinya; namun sebaliknya, pikiran wanita jalang/lelaki hidung belang sangat sulit untuk diketahui dan tidak ada kepastian jika ia akan dapat dikuasai.
  • 431. Tidak ada puas-puasnya api itu, meskipun semua bahan bakar dibumi ini dituangkan padanya tidak akan membuat nyalanya mengecil, bahkan akan semakin besar dan berkobar-kobar saja keadaannya; demikian juga laut tiada pernah penuh mesikupun dialiri oleh jutaan sungai-sungai besar; demikian juga sang maut tidak pernah berhenti mengambil jiwa-jiwa makhluk hidup. Demikianlah keadaan wanita jalang/lelaki hidung belang yang tiada pernah puas akan birahi dan persetubuhan.
  • 432. Tidak akan ada akhirnya, jika perbuatan-perbuatan tercela wanita jalang/lelaki hidung belang itu diceritakan. Bilamana ada orang yang berlidah seribu menceritakan kejelekannya dalam seratus tahun dan ia tidak mengerjakan pekerjaan lain selain bercerita, pasti tidak akan berakhir juga ceritanya itu.
  • 433. Wanita jalang/lelaki hidung belang itu adalah bara dari lawan jenisnya, apabila wanita/lelaki birahi datang padanya, pasti akan hancur lebur dan kehilangan dayanya; sebaliknya jika orang berlaku bijaksana dan hatinya tidak dkuasai oleh wanita jalang/lelaki hidung belang, niscaya ia akan selalu berkeadaan selamat.
  • 434. Sesungguhnya wanita jalang/lelaki hidung belang itu tidak ubahnya seperti sulap yang berbahaya, maka dari itu ia dijauhi oleh wanita/lelaki yang bijaksana, apalagi oleh orang yang telah bersuami istri.
  • 435. Kebiasaan wanita jalang dan lelaki hidung belang senantiasa menimbulkan kesengsaraan bagi yang lainnya, ia jugalah yang menjauhkan orang dari kewajiban dan rutinitas kerja; mereka yang bijaksana menyadari akan hal ini dan tidak akan tergoda oleh kenikmatan birahi sesat.
  • 436. Adalah kepunyaan paling pribadi dari lelaki hidung belang dan wanita jalang yang sesungguhnya sangat menjijikkan lagi pula sangat kotor dan berpenyakitan; mestinya benda itu dijauhi saja, beruntunglah orang jika tidak sampai lekat dan rindu birahi padanya.
  • 437. Sebab didunia ini, sungguhpun orang cukup bijaksana, tiada luput ia dari nafsu birahi pada organ-organ seksual lawan jenisnya.
  • 438. Organ-organ seksual itu membuat banyak manusia bingung dan tergila-gila padanya, mereka seolah menjadi buta dan tuli karenanya.
  • 439. Tiada berdaya sesungguhnya orang jika selalu mengikuti nafsu birahinya yang sesat, semakin diikuti semakin bertambah kuat saja, tidak akan pernah menjadi puas ia akan persetubuhan.
  • 440. Terlalu menjijikkan organ-organ seks lelaki hidung belang dan wanita jalang itu jika dibicarakan, ia dipenuhi oleh bakteri-bakteri dan penyakit yang mematikan.
  • 441. Oleh karena itu hendaknya dijauhi saja lelaki hidung belang dan para wanita jalang, jangan didengarkan rayuannya, jangan dipandang wajahnya yang penuh birahi dan ajakan-ajakan sesat, jangan sampai tergoda padanya.
  • 442. Jangan tidak waspada akan datangnya nafsu birahi, jangan berfikir, jangan berbicara, jangan sampai melakukan birahi sesat.
  •  
  • sumber :http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/06/sloka-424-442-sarasamuscaya-wanita.html

Sloka 443-447 Sarasamuscaya (BIRAHI DAN KEBENCIAN)

BIRAHI DAN KEBENCIAN
  • 443. Bagaikan api dalam rongga kayu, ia akan membakar kayu itu tanpa sisa, mati seluruhnya hingga ke akar, dahan, ranting dan daun-daunya. Demikianlah nafsu birahi sesat itu dalam hati, ia pasti akan melenyapkan kebajikan, kekayaan, dan kebebasan. Nafsu birahi sesat itu senantiasa terkait dengan kebencian, selama nafsu birahi sesat itu ada dalam diri, kebencian pasti mendampinginya.
  • 444. Nafsu birahi sesat itu adalah belenggu utama umat manusia, jika ada orang yang mampu terbebas darinya, niscaya ia akan memperoleh alam sugawi, dimana tiada lagi kematian, kesengsaraan dan ketakutan.
  • 445. Mereka yang mampu mengendalikan birahinnya, mampu mengendalikan amarahnya, tahan terhadap kecaman dan pujian, niscaya akan menjadi bijaksana.
  • 446. Orang janganlah terbakar oleh kemarahan, biarpun didera fitnah, ejekan, kata-kata kasar dll; jangan pula melakukan fitnah, ejekan, dan berkata-kata kasar pada orang yang dianggap sesat sekalipun; sebab Tuhanlah yang maha tahu akan salah dan benar perbuatan manusia.
  • 447. Mereka yang dipengaruhi oleh pikiran sesat, kemudian akan berkeinginan sesat, berikutnya akan berusaha sesat, lalu mencintai kesesatan.
  •  
  • sumber : http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/06/sloka-443-447-sarasamuscaya-birahi-dan.html

Sloka 448-485 Sarasamuscaya (CINTA BUTA)

CINTA BUTA
  • 448. Yang disebut cinta buta itu, adalah sumber dari segala sumber bencana, yang menimbulkan kebencian dan ketakutan. Cinta buta diakui sebagai yang terjahat dari kejahatan, sungguh amat mengerikanlah akibat dari cinta buta itu.
  • 449. Mereka yang diperbudak cinta buta akan melakukan segalanya demi cintanya yang sesat, ia menjadi bodoh dan kehilangan kecerdasan, ia kehilangan jatidiri dan sesungguhnyalah ia telah binasa dalam hidupnya.
  • 450. Masa kecil berganti dewasa, masa dewasa berganti masa tua; demikian juga kesehatan akan berganti kesakitan; pun juga hidup akhirnya akan mati. Sebaliknya cinta sesat itu tidak pernah mati walaupun badan mati; ia tetap melekat kuat pada roh jika anda belum menemukan cara untuk menglenyapkannya.
  • 451. Perhatikanlah orang tua itu, rambutnya telah rontok, badanya kurus kering dan bungkuk; demikian juga giginya telah tanggal semua, berjalan terhuyung-huyung karena kaki sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya; akan tetapi keinginannya akan hidup yang berlimpah kekayaan sedikitpun tidak berkurang, sangat kukuh dan tidak tergoyahkan.
  • 452. Tidak ada apapun didunia ini yang dapat memenuhi keinginan, sebab orang yang diperbudak keinginan tiada bedanya dengan usaha si bodoh yang hendak memenuhi samudra dengan air sumurnya.
  • 453. Jika kekayaan dan harta bertambah, bertambah jugalah keinginan itu, bagaikan keadaan tanduk lembu yang akan menjadi semakin besar dan panjang jika si lembu semakin dewasa dan semakin gemuk, demikianlah keinginan itu akan menjadi semakin bertambah hebat jika segala kemauannya dituruti.
  • 454. Tiada bedanya keinginan itu dengan keberadaan seorang wanita yang dapat menundukkan suaminya, dengan tega si istri menyuruh suaminya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak pantas untuk dilakukan; demikianlah kehebatan keiinginan apabila selalu dituruti segala kehendaknya, niscaya ia akan memperbudak korbannya dan dibawalah mereka menuju kesesatan.
  • 455. Sesungguhnya sangat hebat pengaruh keinginan itu, timbulnya permusuhan, peperangan, dan berbagai kejahatan disebabkan olehnya; sebaliknya jika orang mampu menguasai keinginan maka tiada permusuhan dan dendam kesumat baginya, tiada kemiskinan pun kekayaan dan dapat terbebas dari duka nestapa.
  • 456. Bagaimanakah rupa dan wujud dari keinginan? Adalah sesuatu yang tidak berbadan namun sangat kuat melekat dalam badan, tidak mungkin tersingkirkan oleh orang-orang jahat; ia tidak turut musnah apabila badan sakit, merana dan sengsara, bahkan dapat tetap bertahan hidup walaupun badan telah mati. Jika keinginan itu dapat ditundukkan dan dikendalikan, kebahagiaan sejati pasti tercapai.
  • 457. Jika seluruh kesenangan di bumi dan kesenangan pahala surga disatukan, kemudian beratnya itu ditimbang dengan kebahagiaan sejati karena dapat terbebas dari keinginan, maka kesenangan bumi dan surga itu menjadi seringan kapas yang melayang tertiup angin.
  • 458. Keinginan itulah yang melahirkan keserakahan, tiada bedanya keserakahan itu dengan buaya, karena keduanya sama kejam menenggelamkan orang ke dalam kesengsaraan, jika keserakahan bertambah hebat timbullah kejahatan, adapun kejahatan itu mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan.
  • 459. Singkatnya keinginan menimbulkan keserakahan, keserakahan merupakan rumah dari segala macam kejahatan, jika orang telah di kuasai oleh keserakahan ia pasti akan menjadi jahat, walau awalnya ia bijaksana dan suci sekalipun.
  • 460. Semakin besar keserakahan itu, semakin bertambah besar saja ketidak puasan hati, jika orang tidak puas pastilah mengalami kesedihan dan kedukaan. Apabila keserakahan itu mengacaukan pikiran maka tiadagunalah kebijaksanaan dan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki.
  • 461. Melalui keserakahan harta kekayaan didapatkan, setelah berhasil munculah ketakutan akan adanya pencurian, perampokan dll; apabila harta itu berkurang bukan main sedih hatinya, apabila menjadi bangkrut rasanya lebih buruk dari kematian; singkat kata keserakahan itu hanya menimbulkan kesedihan dan kedukaan hati saja.
  • 462. Setelah berhasil memperoleh harta hasil keserakahan, berikutnya munculah kecongkakan, kebingungan dan kesusahan. Menjadi congkak karena harta diperoleh dengan mudah, bingung karena harta hasil kejahatan, dan susah karena takut harta akan segera habis.
  • 463. Mereka yang memperoleh harta dengan cara jahat, tiada orang yang tidak dicurigainya, bahkan ia juga curiga pada api yang bisa membakar hartanya, pada air yang bisa menghayutkan hartanya, pada angin yang bisa menerbangkan hartanya; bagaikan keberadaan sang maut yang selalu ditakuti oleh makhluk hidup. Dalam kecurigaan dan ketakutan kapankah kebahagiaan itu diperoleh?
  • 464. Tiada bedanya harta sesat itu dengan daging dendeng, semua tempat ditakutinya; jika ia ditaruh di atas burunglah yang ditakutinya, jika dibawah anjinglah yang ditakutinya, jika ditaruh di air ikanlah yang ditakutinya; semua tempat mendatangkan kecurigaan bagi orang yang memperoleh hartanya dengan cara sesat.
  • 465. Tiada yang abadi, persaudaraan, pernikahan, dan persahabatan yang terjalin semuanya kelak akan berpisah; bahkan lekatnya roh dengan badan sekalipun, kelak apabila tiba waktunya akan dipisahkan oleh maut. Menyadari itu semua apa sebabnya manusia menginginkan perolehan harta dengan cara yang sesat.
  • 466. Banyak orang yang berani mempertaruhkan nyawanya dan membunuh demi harta; ada orang yang mau menjual harga dirinya pun orang lain demi harta; bahkan banyak orang yang mau menjadi penjilat demi harta; demikian kuatnya keinginan akan perolehan harta, padahal ketika ia mati tidak akan ada sedikitpun yang bisa dibawanya ke alam akherat.
  • 467. Harta sesat adalah harta hasil keserakahan, keserakahan itu adalah sumber dari segala jenis kejahatan, kejahatan menghasilkan dosa, dari dosa diperolehlah neraka.
  • 468. Tiga yang dapat membuat manusia itu mabuk dan bingung, diantaranya: 1) lawan jenis (pria/wanita); 2) harta (kekayaan) dan 3) tahta (kekuasaan). Jika ada orang yang dikuasai olehnya, ia sesungguhnya sedang tidur atau pingsan dalam hidupnya.
  • 469. Hasrat akan kekayaan dan nafsu sesat pada lawan jenis berkeadaan sama dengan riaknya ombak, sama-sama goncang, berkeadaan tidak tetap, dan tidak bisa diprediksi; karena sifatnya yang berubah-ubah hendaknya orang bijaksana tidak lekat padanya, sebab kenikmatan yang diberikan oleh harta dan nafsu sesat itu sama persis dengan kenikmatan jika berlindung dibawah mulut ular yang berbisa.
  • 470. Janganlah menjadi bingung, jangan berlebih-lebihan dalam mengejar harta, hendaknya dilakukan secara wajar dan benar, sebab hasrat badaniah dan panca indra itu adalah rintangan terberat dari umat manusia.
  • 471. Kemiskinan dan kekayaan itu terlihat berbeda, seolah-olah si miskin adalah wujud kesengsaraan dan si kaya adalah wujud kebahagiaan; padahal jika dicermati, orang kaya yang tidak perah merasa puas akan selalu saja diganggu oleh perasaan takut bangkrut sedangkan si miskin yang puas dengan hidupnya berhasil memperoleh kebahagiaan.
  • 472. Oorang-orang yang suka mengejar perolehan harta secara sesat, tidak ada satupun dari mereka yang dapat terbebas dari kesusahan juga tidak ada satupun dari mereka yang akan memperoleh kebahagiaan sejati; maka dari itu orang bijak tidak akan mengumpulkan harta dengan cara sesat, bahkan pikiran-pikiran tentang kesesatan itu dengan cepat hendaknya dienyahkan dari dalam diri.
  • 473. Suka dan duka sejatinya disebabkan oleh pikiran sendiri; orang menjadi suka hatinya melihat suatu yang menyenangkan, sebaliknya orang dapat mengalami duka nestapa ketika melihat sesuatu yang tidak menyenangkan; seseorang menjadi senang ketika dapat memungut sekeping emas sebaliknya yang kehilangan menjadi berduka; orang berduka karena kecurian sedangkan si pencuri bergembira mendapat harta curian. Inilah yang menjadi alasan bahwa sesungguhnya suka dan duka itu di sebabkan oleh subjektifitas pikiran.
  • 474. Sangat sukar memperoleh harta kekayaan; sangat berat tanggung jawab untuk mensejahterakan keluarga, namun sebaliknya sangat mudah untuk memperoleh kesengsaraan, mereka yang dapat memahami ketiganya berdasarkan kewajiban pasti dapat terbebas dari belenggu kesengsaraan.
  • 475. Maka dari itu hendaknya segala sesuatu yang terkait dengan keduniawian dilakukan atas dasar kewajiban dan jangan sampai terikat olehnya, bagaikan keadaan sang ular yang melepaskan kulitnya dengan ikhlas demi perkembangan dirinya menuju kebaikan.
  • 476. Mereka yang terikat kuat oleh perasaan cinta buta, sesungguhnya sangat gemar hidup dalam kesedihan dan duka hati; bagaikan menusuk jatung sendiri dengan tombak.
  • 477. Karena cinta buta itulah asal mula dari kesedihan hati, perasaan yang buta itu membuat hidup terkekang dan terbelenggu duka hati.
  • 478. Jika sangat lekat cinta buta itu pada keluarga, hingga segala cara hendak dilakukan demi kemewahan keluarga, keadaan orang ini sama dengan seekor gajah tua yang dengan sengaja menenggelamkan diri dan keluarganya dalam lumpur.
  • 479. Mereka yang mencintai anak dan istrinya secara buta hingga tanpa sadar melakukan tindakan-tindakan yang justru menyesatkan keluarganya berkeadaan layaknya orang yang tanpa sadar minum minuman keras hingga mabuk, mereka menjadi bingung, kacau pikirannya dan membahayakan orang lain.
  • 480. Kelurga, istri, bahkan anak dengan sengaja harus dinasehati, dimarahi bahkan dihukum jika mereka melakukan tindakan-tindakan jahat; keluarga, istri, bahkan anak hendaknya dengan rela ditinggalkan ketika ajal tiba.
  • 481. Apapun yang berlebih-lebihan hendaknya ditinggalkan saja, karena tidak mungkin akan membawa pada kebaikan; demikian juga cinta yang berlebih-lebihan hanya akan membawa orang pada kesengsaraan saja.
  • 482. Jangan memikirkan lagi ikatan-ikatan duniawi, harta, keluarga anak dan istri ketika ajal menjemput, bebaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi agar dapat mencapai kebebasan.
  • 483. Sesunggunya segala kesenangan dan duka dalam hidup ini terkait erat dengan kehidupan terdahulu.
  • 484. Sesungguhnya orang terpisah kemudian bertemu kemudian berpisah lalu bertemu lagi pada akhirnya akan terpisah juga oleh kematian, walaupun kelak dapat bertemu lagi dalam kehidupannya yang akan datang.
  • 485. Demikianlah persahabatan terjalin, pernikahan terjadi, anak dilahirkan pada akhirnya semua akan dipisahkan oleh sang maut kematian, oleh karena itu janganlah terlalu besedih apalagi sampai menyengsarakan diri apabila perpisahan itu terjadi.
  •  
  • sumber :http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/06/sloka-448-485-sarasamuscaya-cinta-buta.html

Sloka 486-511 Sarasamuscaya (PEMBEBASAN)

PEMBEBASAN
  • 486. Tiada yang tahu akan penjelmaan manusia, tidak juga dapat diketahui berapa banyak penjelmaan yang telah dilalui, berkali-kali pernah menjadi ayah, ibu, sumi, istri, dan anak; menyadari siklus ini siapakah yang sebenarnya dengan permanen dapat dikatakan seketurunan, dan yang manakah dapat anda tunjuk satu keturunan permanen dengan anda?
  • 487. Tidak ada hubungan yang kekal, bahkan hubungan anda dengan badan pun tidak kekal, suatu saat dan pasti akan tiba saatnya anda berpisah dengan badan sendiri.
  • 488. Dinyatakan hidup datang dari ketiadaan dan akan kembali tiada, menyadari ini yang manakah sesungguhnya menjadi hak milik secara permanen, sedangkan cepat atau lambat akan tiba saatnya dimana anda akan berpisah dengan sesuatu yang dianggap kepunyaan sendiri.
  • 489. Akan tiba saatnya kita berpisah dengan kekayaan, akan tiba saatnya kita berpisah dengan orang tua, akan tiba saatnya kita berpisah dengan anak-anak, dengan sahabat, teman dll; ketika perpisahan itu terjadi hanyalah baik buruk perbuatan diri yang setia menemani.
  • 490. Adalah mereka yang selalu bersedih akan yang mati, adalah mereka yang selalu bersedih akan harta yang hilang; sangat besarlah kesedihan hatinya, kesedihan itulah sumber dari kesengsaraan.
  • 491. Inilah obat untuk memusnahkan kesedihan, jangan pernah membiarkan diri larut dalam kesedihan yang berkepanjangan akibat kehilangan dan kematian, jangan pernah menenggelamkan diri dalam kedukaan hati, sadarilah bahwa pada akhirnya tiada apapun yang kekal, manusia akhirnya akan berpisah dengan orang-orang yang disayang, akhirnya mereka akan kehilangan harta kekayaan; orang yang senantiasa sadar dan ikhlas pada yang hidup pasti akan mati, yang datang pasti akan hilang, dapat terbebas dari kedukaan dan kesedihan hati.
  • 492. Ada kalanya orang meninggalkan kekayaannya, seringkali kekayaan meninggalkan orang, tiada kekallah pertalian orang dengan hartanya dan harta dengan orangnya, inilah bukti bahwa segala sesuatu itu tidak akan pernah kekal; orang yang bijaksana dan sadar akan hakekat ini, pasti dapat terebas dari ikatan.
  • 493. Sebaiknya kuatkanlah diri dengan ilmu pengetahuan yang benar, yang dapat membimbing orang untuk senantiasa berkeadaan sadar pada hukum ketidak kekalan dan dapat terbebas dari ikatan.
  • 494. Mereka yang sadar akan ketidakkekalan, walaupun layu bunga yang disuntingkan dirambut kepalanya tidak akan membuatnya berduka atau bersedih, sedangkan mereka yang buta, amat bersedih hatinya jika sesuatu yang diyakininya sebagai kepunyaan menjadi berkurang walaupun hanya beberapa bagian kecil saja.
  • 495. Perhatikan orang yang bahkan hingga mempertaruhkan jiwanya demi menumpuk harta kekayaan, orang seperti ini sungguh kurang bijaksana sebab mereka yang bijaksana hanya mau bersusah-susah asalkan dengan tidak susah juga ia dihilangkan. Orang yang kurang bijak karena mendapatkan harta dengan sangat susah menjadi terikat kuat dengan hartanya itu, sedangkan mereka yang bijak meskipun tampaknya harta didapat dengan cara susah tidaklah terikat beliau olehnya.
  • 496. Ada suka pasti ada duka; ada yang kaya pasti ada yang miskin; ada yang hidup pasti ada yang mati. Sekarang suka suatu saat pasti mengalami duka, sekarang kaya suatu saat pasti menjadi miskin, sekarang hidup suatu saat pasti akan mati, demikianlah keadaannya datang dan pergi, hidup dan mati silih berganti; mereka yang bijaksana tidak bergembira pada yang datang dan tidak pula beliau bersedih pada yang pergi, senantiasa tenang dan jerih pikirannya.
  • 497. Nikmatilah kesukaan dan kesedihan, jalani hidup dalam kaya dan miskin, ikhlaslah pada yang hidup dan yang mati. Janganlah pikirkan hasil dan kontribusi yang didapatkan dari usaha, akan tetapi teruslah berbuat bajik dan benar, bagaikan orang bersawah tahan akan panas terik matahari dan tetap bekerja berdasarkan kewajiban, setelah saatnya tiba panen pasti akan diperoleh.
  • 498. Sesungguhnya tidak dapat dihindari suka dan duka itu, sebab keduanya adalah anugerah bagi pendewasaan diri; namun mereka yang bijak tidak akan dapat dikacaukan oleh keduanya dan justru mendapatkan manfaat darinya.
  • 499. Hidup ini bagaikan putaran roda, yang tadinya di atas berikutnya akan berada dibawah, demikian juga yang di bawah berikutnya akan berada di atas, demikian juga suka dan duka itu datang silih berganti, ada kalanya suka berikutnya duka, adakalanya duka berikutnya suka; sesungguhnya semua itu terhubung dengan hukum sebab akibat dari perbuatan sendiri; baik ataukah buruk kualitas hidup saat ini, sungguh disebabkan oleh perbuatan masa lalu.
  • 500. Jika orang sadar akan hakekat dari hukum sebab akibat perbuatan, demikian juga sadar akan hakekat kelahiran dan kematian (hukum karma), semakin ia sadar akan hakekatnya semakin tidak terlekati dirinya oleh kesenangan dan kesedihan, orang seperti inilah yang disebut bijaksana.
  • 501. Pikiran yang dipenuhi oleh pengetahuan sejati (hakekat karma), inilah hendaknya dipergunakan untuk melenyapkan kedukaan hati; seperti rempah-rempah dapat dipakai melenyapkan penyakit badan, demikianlah kearifan budi dapat dipakai menyembuhkan penyakit-penyakit rohani.
  • 502. Penyakit rohani pada akhirnya pasti akan menimbulkan penyakit fisik; seperti besi yang dibakar hingga panas lalu dicemplungkan kedalam air, panas jugalah air itu akhirnya.
  • 503. Oleh sebab itu kekacauan pikiranlah yang hendaknya dimusnahkan lebih dulu dengan kearifan budi, bagaikan keberadaan api yang akan padam oleh air, demikian juga apabila kekacauan pikiran lenyap, hilang jugalah sakitnya badan.
  • 504. Bukannya orang yang telah berusia lanjut, bukannya orang yang sudah ubanan, dan bukannya orang yang keriput kulitnya dikatakan bijaksana, melainkan hanya orang yang paham akan hekekat paling hakiki dari pengetahuan itu sajalah yang pantas dinyatakan bijaksana.
  • 505. Mereka yang arif bijaksana tidak bersedih jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika memperoleh kesenangan, tidak digelapkan hatinya oleh kemarahan, ketakutan dan kedukaan hati; mereka yang bijak tetap tenang dan jernih hatinya dalam berbagai situasi.
  • 506. Beribu-ribu kesusahan, demikian juga ribuan marabahaya dan kedukaan hati datang dalam hidup ini, hanya pikiran si bodohlah yang dapat dikacaukan oleh keadaan itu, sedangkan mereka yang arif bijaksana sedikitpun tidak terkacaukan.
  • 507. Mereka yang telah berhasil memahami hakekat paling hakiki dari pengetahuan pasti dapat melenyapkan segala pikiran kotor, dapat melenyapkan perkataan kotor, dan dapat melenyapkan perbuatan kotor. Mereka yang berkeadaan suci terbebas dari sifat ego dan malas, rohani pun jasmaninya dipenuhi oleh sifat baik dan bajik.
  • 508. Mereka yang arif bijaksana tidak akan dibutakan hatinya oleh kenikmatan duniawi; walaupun dikelilingi oleh berbagai kesenangan, oleh berbagai kelesatan makanan, mereka yang arif bijaksana tidak akan terlekati olehnya. Adapun mereka yang bodoh menjadi sangat senang saat memperoleh kenikmatan hidup pun amat berduka ketika memperoleh kesengsaraan hidup, hati mereka buta oleh kebodohannya.
  • 509. Kearifan budi jika dikotori oleh kekotoran pikiran berkeadaan tidak murni lagi, seperti kemurnian emas menjadi berkurang karena adanya logam campuran, menyebabkan cahaya emas menjadi kurang cemerlang.
  • 510. Jika tekun dalam melatih dan menyucikan pikiran niscaya kecemaran badanpun akan lenyap, jika kekotoran badan dapat dilenyapkan oleh pengetahuan hakiki, terhapuslah segala macam kesengsaraan hidup.
  • 511. Demikian hebatnya kekuatan pikiran itu, ia tidak tampak namun kenyataannya ia ada dan menjadi sumber dari segalanya, ia sumber dari kebahagiaan pun sumber dari kesengsaraan, berkeadaan layaknya jejak-jejak burung yang terbang diudara atau jejak ikan yang berenang di air.
  •  
  • sumber :http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/06/sloka-486-511-sarasamuscaya-pembebasan.html

Siap Mati


mors certa, hora incerta (kematian itu pasti, waktunya yang tidak pasti)
Kematian adalah saat berhentinya semua fungsi biologis pada suatu makhluk hidup, probabilitas terjadinya kematian adalah 1, atau 100% pasti terjadi pada semua makhluk hidup. Mungkin karena waktu kematian tidak diketahui, maka orang cenderung tidak mempersiapkan kematiannya. Saat kematian akhirnya datang, penderitaan batin yang dialami sangat menyakitkan.


Mengapa tidak siap mati? Pasti bukan karena tidak siap untuk terlahir kembali menjadi cacing kremi (bagi yang percaya kelahiran kembali) atau tidak siap terlempar ke neraka (bagi yang percaya neraka yang kekal), alasan yang sebenarnya adalah... tidak siap kehilangan. Bayangkan kalau harus kehilangan suami/istri/anak/keluarga/pacar gelap, harta, atau matahari pagi. Saking tidak siapnya dengan kematian, banyak orang merasa tabu membicarakannya, bahkan memikirkan tentang kematian pun dianggap hal buruk, tapi tetap saja pikiran yang liar akan sering "mengingatkan" kematian, terutama jika ada peristiwa yang mendukung seperti menghadiri pemakaman, sakit, atau melihat/mengalami kecelakaan.
PENTINGNYA SIAP MATI
Anggap seorang manusia hidup bahagia selama 69 tahun, menginjak tahun ke-70 ia sakit parah dan menderita secara fisik dan batin selama 1 tahun sebelum akhirnya mati. Saat ia mengalami 1 tahun terakhir penderitaan, 69 tahun kebahagiaan sebelumnya tidak akan berarti apa-apa, orang yang sedang menderita tidak akan terhibur dengan kenyataan bahwa ia telah melampaui banyak kebahagiaan di masa lalu, malahan pada saat sakit menjelang mati, orang mungkin lebih memilih menukar nasibnya (jika bisa), mengalami 69 tahun penderitaan asalkan mengalami 1 tahun terakhirnya dengan kebahagiaan. Jadi sebanyak dan selama apapun kebahagiaan yang pernah dialami tidak ada artinya lagi pada saat menderita menjelang mati, cuma gara-gara satu hal: tidak siap mati!
Saat yang terpenting bukan masa lalu, tetapi saat ini. Karena kematian adalah pasti, maka cepat atau lambat kematian akan menjadi saat ini. Kalau ada yang mengaku tidak takut mati, jangan langsung percaya terutama kalau ia tidak sedang dalam suasana hampir mati. Lihatlah reaksi para penumpang pesawat jika pesawat yang ditumpangi mengalami masalah, misalnya bergetar, semakin besar getaran akan semakin terlihat ketakutan penumpang. Seperti halnya orang yang sedang menderita sakit parah, orang yang sedang mengalami keadaan bahaya akan mengharapkan "bargain", menukar keselamatannya dengan apapun yang dapat dibayangkannya.
Tidak siap mati akan menampilkan ego yang sangat besar saat orang mengalami keadaan menjelang mati. Hal ini justru menambah penderitaan diri sendiri, dan dapat menambah penderitaan orang lain karena ego yang tinggi cenderung tidak perduli dengan orang lain. Tapi semua hal itu bisa dihadapi dengan satu jurus sakti, yaitu: siap mati.
KEMATIAN ADALAH HAL YANG ALAMI
Siap mati tidak sama dengan pesimis hidup. Seandainya siap mati = pesimis hidup, hasilnya adalah banyak orang bunuh diri. Kita harus dapat membedakan hal yang alami dan tidak. Belajar dan berusaha adalah alami. Sejak bayi, manusia sudah belajar berjalan, demikian juga makhluk hidup lainnya, misalnya anak burung secara alami akan belajar terbang. Menghindari kematian juga merupakan hal yang alami, makhluk kecil seperti semut pun akan berusaha menyelamatkan hidup jika terancam bahaya.
Kematian juga merupakan hal yang alami, karena itu menolak kematian adalah menentang hukum alam, menentang perubahan, yang hanya akan menghasilkan penderitaan yang lebih besar. Sebaliknya menerima kematian sebagai hal yang alami akan membuat batin tenang, menyadari bahwa kita harus melepas sanak saudara, harta, kesehatan terpisah dari diri kita.
Mental siap mati akan "terasah" jika kita melihat semuanya secara alami dan berlatih untuk itu. Memahami kalau semua hal tidak akan dimiliki selamanya, maka kehilangan harta, keluarga, atau apapun dalam kehidupan ini, tidak akan membuat batin terpuruk. Justru dapat mendorong perbuatan baik seperti berdana dan membantu makhluk lain yang sedang kesusahan tanpa menghitung untung-rugi. Jika ego dapat ditekan, maka semakin tinggi kepekaan/empati pada makhluk lain, tidak sebatas pada manusia, tetapi juga binatang yang juga dapat merasakan sakit fisik dan batin. Hanya karena tidak mengeluarkan air mata, tidak berarti binatang tidak menderita secara batin, kebanyakan binatang hidup dalam ketakutan dan ancaman yang lebih besar dari yang biasanya dialami manusia!
DALAM SUDUT PANDANG BUDDHISME
Bagi seseorang yang terlahir maka ada kematian. Hal ini tidak hanya berlaku bagi manusia/binatang, tetapi juga pada makhluk halus/peta dan bahkan dewa, tidak ada satu makhluk pun yang hidup kekal dan mampu menghindari kematian. Ajaran Buddha membahas mengenai kematian dengan sangat intens dan blak-blakan, tetapi hanya beberapa hal saja yang akan dibahas di tulisan ini.
Buddha mengajarkan ada tiga utusan surgawi, yaitu usia tua, sakit, dan kematian (AN 3:35), menyadari bahwa kita juga tunduk pada usia tua, sakit, kematian dan tidak dapat membebaskan diri darinya, maka sudah seharusnya kita melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran sesuai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Selama kita belum menembus 4 Kebenaran Mulia (kebenaran mulia penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan), kita akan terlahir kembali dan mengembara terus dalam lingkaran kelahiran-dan-kematian tanpa awal dan tanpa akhir.
Proses batin yang terjadi saat kematian secara prinsip tidak berbeda dengan proses batin yang kita alami sehari-hari, batin kita hari ini merupakan kelanjutan dari batin yang kemarin, bahkan batin kita detik ini adalah kelanjutan batin sedetik sebelumnya dan terus bergerak. Proses batin yang berkesinambungan ini menciptakan ilusi keakuan, sama seperti ilusi hamparan pasir yang ternyata merupakan butiran-butiran pasir kecil, tanpa ada inti yang dapat ditemukan. Dalam kelahiran kembali, tidak ada roh/jiwa yang kekal yang berpindah dari jasmani satu ke jasmani lainnya.
Mengapa kita seharusnya melakukan perbuatan mulia? Karena kematian sebenarnya bukanlah hal yang harus ditakuti, melainkan kelahiran akibat karma buruklah yang seharusnya ditakuti. Sewaktu meninggal, satu-satunya bekal kita adalah timbunan karma baik, tetapi jika yang berbuah adalah karma buruk, maka kelahiran kembali akan membawa lebih banyak penderitaan.
Salah satu karma buruk yang berpengaruh besar mengarahkan kelahiran pada alam yang rendah adalah pikiran menjelang kematian (cuti citta). Orang yang batinnya penuh dengan kesedihan atau kemarahan menjelang kematiannya akan cenderung mengarahkan kelahirannya ke alam rendah. Jangankan umat awam, bhikkhu yang hidup di zaman Buddha Gotama saja dapat terlahir di alam rendah karena hal ini, salah satunya adalah Bhikkhu Kokālika yang terlahir di neraka karena memendam permusuhan terhadap Bhikkhu Sāriputta dan Bhikkhu Moggāllāna (SN 6. Brahmasaṃyutta).
Memahami ini, mungkinkah kita memiliki batin yang tenang dan bahagia saat menjelang kematian tanpa latihan? Buddha mengajarkan moralitas dan meditasi yang dapat dijalankan setiap hari.
Jadi, sudah siapkah anda mati saat ini?
 
sumber : http://jokonurjadi.blogspot.com/2013/01/morscerta-hora-incerta-kematian-itu.html

Wednesday, March 20, 2013

Misteri Penderitaan, Yang Telah Tersibak

Di antara semua misteri kehidupan yang ada di Alam Semesta ini, penderitaan merupakan suatu misteri kehidupan yang terpelik dan terumit. Betapa tidak! Ada banyak orang yang bahkan masih meragukan eksistensi penderitaan itu sendiri, apakah memang betul-betul ada ataukah hanya semata-mata berfungsi sebagai pengungkap lawan-kata kata "kebahagiaan". Padahal, eksistensi penderitaan ini sebenarnya boleh dianggap sebagai sisi yang paling dasar jika dibandingkan dengan banyak sisi lainnya. Dengan bersumber acuan pada Kitab Suci Tipitaka Pâli, semua sisi itu secara garis besarnya akan diungkap melalui artikel di bawah ini. Selanjutnya, setelah artikel ini selesai disimak dan dipahami dengan seksama, pertanyaan-pertanyaan yang bernada seperti: Memang ada penderitaankah? Apakah penderitaan itu? Dapatkah penderitaan itu dilenyapkan? bagaimanakah cara melenyapkannya? Siapakah sesungguhnya yang berhasil melenyapkan penderitaan itu? Dan banyak rentetan pertanyaan lain; diharapkan tidak akan mencuat lagi di benak umat Buddha khususnya, dan umat manusia umumnya.

        Penderitaan adalah suatu misteri kehidupan yang sangat sulit dipecahkan. Kapan misteri ini mulai muncul dan mengisi Alam Semesta ini belumlah dapat dipastikan. Yang jelas, misteri ini tidak pernah menjadi catatan yang basi dalam sejarah perjalanan Alam Semesta ini.
        Makhluk hidup, sebagai penghuni Alam Semesta, tentu saja mempunyai kaitan dan hubungan erat dengan penderitaan. Dengan perkataan lain yang lebih jelas, dapatlah dinyatakan bahwa penderitaan adalah persoalan tunggal yang dihadapi setiap makhluk. Sejak dini sekali, penderitaan telah bercengkerama dengan semua makhluk hidup. Kekuasaannya tidak hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup yang masih lugu di zaman baheula saja. Tetapi, lebih dari itu, penderitaan masih tetap merajalela pada zaman apa pun dan di mana pun juga. Selama masih ada kehidupan, penderitaan selalu dapat dikenali dan dijumpai. Ketidak-hadirannya berarti tidak adanya kehidupan. Semua waktu yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup tersita untuk melayani ulahnya yang sesungguhnya sangat menjengkelkan itu. Tetapi, penderitaan tidak pernah peduli dengan semua itu. Penderitaan seakan-akan tidak pernah merasa bosan dan jemu dengan tampang-tampang menyedihkan yang terlukis dan tergurat secara jelas maupun samar-samar pada setiap makhluk hidup. Tampaknya, penderitaan tidak ingin dikubur atau dilupakan begitu saja. Hasrat untuk dapat selalu hadir di tengah-tengah makhluk hidup terasa berat untuk dilepaskan.
        Dalam menentukan mangsanya, penderitaan sama sekali tidak pernah pandang bulu. Apakah makhluk hidup itu tinggal di Alam Neraka, Alam Setan, Alam Binatang, Alam Raksasa, Alam manusia, Alam Surga[1], maupun di Alam Brahma; kesemuanya berada di dalam cengkeramannya yang mengerikan.
[1] Tanpa meneliti definisi kata "Surga" berdasarkan kata induknya, "SVARGA" (sanskrit), banyak orang menganggap Alam ini sebagai suatu Alam yang kekal; yang di dalamnya terdapat kehidupan bahagia yang abadi. Tampaknya, masih banyak orang yang terperangkap oleh perwujudan semu penderitaan sebagai "kesenangan sesaat". Berkenaan dengan hal ini, Prof. Rhys Davids, Ph.D. mengomentari, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah kemanusiaan, Sang Buddha menyatakan bahwa para dewa/gods —makhluk yang tinggal di Alam Surga— juga membutuhkan Kebebasan Sejati bagi diri mereka sendiri!"
        Secara teoritis, penderitaan dapat dipilih menjadi tiga bagian, yaitu: penderitaan sebagai derita biasa, penderitaan sebagai akibat dari perubahan, dan penderitaan sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi. Adapun penampilannya dalam kehidupan sehari-hari, penderitaan jenis pertama terwujud dalam bentuk: kelahiran; usia tua; kesakitan; berkumpul dengan yang tidak disenangi; terpisah dari yang dicintai; tidak mendapatkan apa yang didambakan; kesedihan; keluh-kesah; kekecewaan; gangguan fisik maupun mental; dan kematian. Penderitaan jenis kedua mencakup semua keadaan yang terpengaruh oleh hukum perubahan. Penderitaan jenis terakhir timbul sebagai akibat dari tidak adanya inti yang kekal dari unsur-unsur yang membentuk setiap makhluk hidup, yaitu: badan jasmani, perasaan, pencerapan/ingatan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran; yang secara garis besarnya lebih dikenali sebagai unsur jasmani dan unsur batin.
        Bertolak-belakang dengan kecenderungan umat manusia pada umumnya, yang seakan-akan menyembunyikan adanya penderitaan dengan mengkhayalkan keselamatan-keselamatan semu yang diharapkan akan dapat dicapai setelah kematian, Sang Buddha mengakui keabsahan penderitaan sebagai suatu keadaan-tetap yang mewarnai kehidupan ini. Bahkan Beliau memaparkan bukti-bukti nyata tentang adanya penderitaan. Pemahaman tentang adanya penderitaan itulah yang justru menjadi salah satu sebab yang membuat Beliau berani menyatakan diri kepada dunia dan kepada semua makhluk bahwa Beliau telah mencapai Pencerahan Agung (Anuttara Sammasambodhi). Tanpa memiliki pengetahuan dan pengertian tentang hal itu, Sang Buddha tidak akan menyatakan diri sebagai Sammasambuddha[2]. Kepada seorang brahmana yang bernama Sela, Sang Buddha menyatakan:
"Saya telah memahami apa yang seharusnya dipahami. Apa yang seharusnya dikembangkan telah Saya kembangkan, dan apa yang seharusnya dilenyapkan telah Saya lenyapkan. Oleh karena itulah, O Brahmana, Saya menjadi Buddha". (Sutta Nipata 558).
[2] Sammasambuddha adalah suatu sebutan bagi seseorang yang berhasil mencapai Pencerahan Agung dengan kemampuan, usaha dan kekuatan sendiri. Tingkatan ini sama sekali tidak pernah dimonopoli oleh Sang Buddha Gautama. Tidak ada pendiri agama selain Sang Buddha pernah menyatakan bahwa para pengikut-Nya mempunyai kesempatan untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pendiri-Nya!
        Melihat kehidupan ini sebagai suatu keadaan yang diliputi oleh penderitaan tidaklah menandakan bahwa seseorang itu bersifat pesimistis karena penderitaan itu memang benar-benar ada. Sebaliknya, mengingkari adanya penderitaan dapat dianggap sebagai tindakan yang sama pengecutnya dengan memalingkan diri dari fakta yang dihadapi. Pesimistis sebenarnya adalah suatu sikap yang putus asa dan pasrah dengan segala keadaan menderita yang dialami; tanpa suatu usaha untuk berjuang mengatasi dan mengubahnya. Sikap hidup yang memprihatinkan itu pada dasarnya timbul karena tidak adanya keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sedikit banyak karena teracuni oleh aci-acian sesat yang beranggapan bahwa kehidupan setiap makhluk telah ditentukan dan digariskan terlebih dahulu oleh sesuatu yang berada di luar dirinya.
        Sang Buddha dapat dianggap sebagai seorang pesimistis apabila Beliau hanya mengajarkan eksistensi penderitaan. Dalam realitas, dengan pelbagai cara Beliau telah menunjukkan serta membuktikan adanya kemampuan laten umat manusia dan makhluk-makhluk lain untuk bebas dari cengkeraman penderitaan pada kehidupan sekarang ini juga —tanpa harus menunggu ajal. Inilah perbedaan radikal antara Kebebasan Sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha— dengan keselamatan semu yang dianggap dapat dicapai setelah kematian.
        Para cendekiawan di abad-abad sekarang ini —yang cenderung untuk menerima segala sesuatu berdasarkan pada pengertian empiris, tentu akan meronta-ronta jika dipaksa untuk mempercayai ataupun mengakui adanya keselamatan yang tidak dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan ini. Dapat diperkirakan bahwa tidak begitu lama lagi ceritera-ceritera fiksi yang mengisahkan kehidupan abadi setelah kematian hanya diperlukan sebagai sajian pengisi waktu senggang bagi anak-anak kecil yang masih gemar mengkhayal, tetapi tidak cukup berbobot untuk meyakinkan —apalagi memuaskan— para pemikir modern yang rasionalistis dan realistis. Alam pemikiran modern kini rupanya telah banyak berubah sehingga tidak bersedia lagi memberikan tempat bagi ceritera-ceritera fiksi semacam itu sebagai doktrin-doktrin keagamaan. Fakta dan fiksi memang seharusnya dipisahkan, dan diperjelas batas-batasnya. Ajaran-ajaran yang tidak sanggup merealisasikan tugas ini, pasti tidak mampu mengimbangi derap kemajuan kecerdasan berpikir umat manusia. Pembelaan yang bernada seperti "Kebenaran agamis itu harus diterima berdasarkan pada iman atau kepercayaan saja; tidak boleh atau tidak dapat dijajaki dengan rasio, logika serta kecerdasan", dinilai tidak lebih hanyalah sebagai suatu sikap pelarian diri dari keadaan terpojok.
        Agama Buddha tidak menganak-emaskan rasio, logika dan kecerdasan dengan menyatakan bahwa kebebasan dari penderitaan dapat diraih dengan tiga hal itu saja. Pencapaian Kebebasan Sejati itu berada di luar jangkauan rasio, logika dan kecerdasan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa pencapaian Kebebasan Sejati itu bertentangan dengan rasio, logika dan kecerdasan. Rasio, logika dan kecerdasan diakui sebagai penghantar awal bagi pencapaian itu, sedangkan Kebijaksanaan dan Pengertian Empiris adalah puncaknya. Dalam Sutta Nipata 839 tertulis:
"Bukan karena pandangan-pandangan, tradisi-tradisi, pengetahuan semata-mata ataupun karena kebajikan dan kecerdasan, maka Kebebasan Sejati dapat dicapai. Tetapi, bukan juga tanpa pandangan-pandangan, tanpa tradisi-tradisi, tanpa pengetahuan, tanpa kebajikan dan tanpa kecerdasan, bahwasanya Kebebasan Sejati itu dapat dicapai".
        Suatu hal yang sangat mengherankan terjadi pada saat pertama Sang Buddha membabarkan Dhamma (Kebenaran) kepada lima orang pertapa yang masih meragukan dan menyangsikan pencapaian Pencerahan Agung-Nya. Walaupun sebelum kelahiran-Nya yang terakhir pernah tinggal di Alam Surga, —Sang Buddha tidak mengawali misi-Nya dengan mengisahkan kehidupan di Alam Surga; tempat di mana Beliau berasal, ataupun mempropagandakan Ajaran-Nya dengan menyatakan bahwa mereka yang mentaati serta mematuhi petunjuk-petunjuk-Nya akan dilahirkan di Alam tersebut. Beliau mengawali Ajaran-Nya justru dengan membeberkan Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, sesuatu yang lazimnya dianggap sebagai permasalahan yang tidak enak untuk didengar, dirasakan, dialami maupun dibayangkan. Dari situ dapat dilihat dengan jelas bahwa pemahaman tentang seluk-beluk penderitaan adalah salah satu syarat mutlak pertama untuk mencapai Kebebasan Sejati. Pemahaman tentang penderitaan dapat dianggap sebagai landasan utama yang terpenting dalam pandangan hidup seorang umat Buddha. Tanpa memahami penderitaan dengan jelas dan terang, rasanya tidak mungkin seseorang dapat mencapai Kebebasan Sejati. Kebebasan Sejati merupakan konsekuensi wajar dari eksistensi penderitaan. Kalau tidak ada penderitaan, Kebebasan Sejati juga tidak mungkin ada. Oleh karena itu, sangatlah mustahil jika seseorang yang tidak menyadari bahwa dirinya pernah mengalami penderitaan dapat merasakan betapa bahagiannya Kebebasan Sejati itu. Dalam Samyutta Nikaya v. 433 terdapat sabda Sang Buddha yang memperjelas hal ini, yang tertulis demikian:
"Ia yang melihat penderitaan, juga akan melihat asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia[3] menuju lenyapnya penderitaan".
[3] Jalan Mulia ini juga sering disebut "Jalan Madya" —yang berfaktor delapan, yakni: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata pencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar. Dalam bahasa Pali, Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini disebut: Ariya Atthangika Magga.
        Perlu diketahui bahwa Sang Buddha hanya menunjukkan asal mula penderitaan, yaitu: nafsu keinginan akan pemuasan kenikmatan indera, nafsu keinginan akan perwujudan dan kelahiran, dan nafsu keinginan akan pemusnahan diri; bukan asal mula kehidupan. Sang Buddha tidak mencoba memecahkan semua persoalan filsafat yang membingungkan umat manusia. Beliau tidak pernah membuang waktu-Nya yang sangat berharga hanya untuk berurusan dengan teori-teori dan spekulasi-spekulasi yang tidak membawa kemajuan batin dan Pencerahan Agung. Sang Buddha bukanlah mesin komputer yang selalu dengan sukarela menjawab setiap pertanyaan yang disodorkan padanya; tanpa menghiraukan apakah jawaban yang diberikan itu akan membawa manfaat pada si penerima atau tidak. Mengetahui asal mula kehidupan bukanlah suatu jaminan bagi seseorang untuk mencapai Kebebasan Sejati. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak menaruh perhatian pada masalah yang tak berfaedah itu.
        Pada suatu ketika, sewaktu tinggal di Kosambi di hutan Simsapa, Sang Buddha memungut segenggam daun yang terjatuh dari pohon, lalu bertanya kepada para bhikkhu,
        "Bagaimana pendapatmu, O para bhikkhu, manakah yang lebih banyak, daun-daun yang ada di tangan-Ku ini, ataukah daun-daun yang masih ada di pohonnya di hutan ini?"
        "Tentu lebih banyak yang masih di pohonnya di hutan ini", jawab para bhikkhu.
        Beliau kemudian bersabda, "Demikian juga, O para bhikkhu, masih sangat banyak hal-hal yang Saya ketahui, tetapi tidak Saya terangkan kepadamu. Apakah sebabnya Saya tidak membabarkannya? Hal-hal itu, O para bhikkhu, sesungguhnya tidak berguna, tidak penting dalam menempuh kehidupan suci, tidak membawa tanpa-kemelekatan, tanpa nafsu indera, penghentian, ketenangan, pengertian-sempurna, pencerahan agung, dan Kebebasan Sejati. Kemudian, O para bhikkhu, apakah yang telah Saya babarkan padamu? Penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan itulah yang telah Saya babarkan kepadamu!" (Samyutta Nikaya v. 437).
        Alih-alih membiarkan para pengikut-Nya terperangkap dalam spekulasi tentang asal mula kehidupan, Sang Buddha menasehatkan para pengikut-Nya untuk selalu bersemangat dalam berjuang mengatasi penderitaan.
        Penderitaan baru dapat diatasi setelah seseorang melenyapkan sebab-sebab yang mendorong dirinya mengalami proses kelahiran yang tiada hentinya. Amat sia-sialah jika seseorang mendambakan kebebasan dari penderitaan dengan masih memegang erat-erat keinginan untuk hadir dalam kehidupan ini. Keinginan akan perwujudan atau kelahiran adalah salah satu sebab yang menyeret seseorang untuk bertumimbal-lahir.
        Dalam Dhammapada XXIV: 9 tertulis:
"Makhluk-makhluk yangterikat pada nafsu-nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti kelinci yangterjebak. Karena terikat erat-erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, mereka mengalami penderitaan berulang kali dalam waktu yang lama".
        Jika pengertian seperti ini telah ditembus, seseorang juga tidak mungkin akan menuding-nuding makhluk lain sebagai penyebab penderitaan bagi dirinya. Pelimpahan kesalahan kepada makhluk lain sebagai perwujudan dari kemiskinan tanggung jawab pribadi juga akan dapat dihindarkan. Satu kali pun Sang Buddha tidak pernah menganggap penderitaan sebagai pelampiasan kebencian suatu makhluk yang tak bertanggung jawab. Alih-alih menggambarkan penderitaan sebagai akibat dari suatu "kutukan" tak terampunkan, ataupun sebagai penentuan "nasib" yang tak dapat diganggu gugat; yang harus diterima "tanpa komentar" dan "tanpa syarat", Sang Buddha menyatakan penderitaan sebagai akibat dari kebodohan batin sehingga makhluk hidup terjerumus dalam pemuasan tiga macam nafsu keinginan. Lebih lanjut, Beliau juga menyingkirkan anggapan sesat sementara orang bahwa dunia ini terciptakan sebagai tempat "pengujian" dan "peradilan" moral bagi umat manusia. Agaknya cukup naif seseorang memberikan komentar bahwa, "Jika kehidupan ini berjalan sesuai dengan takdir atau nasib, maka dunia ini sesungguhnya tidak lebih dari sebuah panggung sandiwara; di mana umat manusia dan makhluk lain dipaksa untuk memerankan suatu drama kehidupan yang mengharukan yang menuntut mereka berlari tunggang-langgang dalam lumpur kesedihan dan jurang penderitaan".
        Bertitik-tolak dari sabda suci yang tercantum dalam Samyutta Nikaya v. 433, dapatlah disimpulkan bahwa keempat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan pertama kali di Isipatana di Migadaya itu saling berkaitan dan bergantungan satu dengan yang lain. Keempatnya tidak dapat dipisahkan datu dengan yang lain. Empat Kesunyataan Mulia adalah suatu analisa praktis tentang misteri penderitaan yang telah lama terkubur di Alam Semesta ini. Pola berpikir yang sistematis itulah yang dewasa ini sering kali diterapkan oleh banyak ilmuwan terkemuka dalam melakukan penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian ilmiah. Oleh karena itu, agaknya tidak terlalu berkelebihan jika dalam bahasa Pali, Sang Buddha sering disebut "bhisakko" yang berarti "Tabib Agung yang tiada bandingnya". Berkisar pada masalah ini, dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul "Great Personalities on Buddhism", Ven. Dr. K. Sri Dhammananda tidak lupa menyitir kata-kata Dr. Edward Conze yang menyatakan bahwa sebagaimana seorang dokter yang pertama-tama harus menentukan diagnosa penyakit, kemudian menemukan penyebabnya, merenungkan kesembuhannya, dan akhirnya mempergunakan obatnya; demikian pula halnya dengan yang dilakukan Sang Buddha. Beliau telah membabarkan Empat Kesunyataan Mulia —yang menunjukkan bentuk-bentuk penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan".
        Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Sang Buddha menegaskan bahwa Kesunyataan Mulia tentang penderitaan itu harus dipahami (parinneyya), asal mula penderitaan itu harus dilenyapkan (pahatabba), sedangkan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan itu harus dikembangkan (bhavetabba). Dengan memahami Kesunyataan Mulia tentang penderitaan; dengan melenyapkan asal mula penderitaan; dan dengan mengembangkan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan, seseorang akan mencapai (saccikatabba) Kebebasan Sejati dari penderitaan (Nibbana). Kebebasan Sejati tidak pernah dan tidak akan pernah dapat dicapai dengan diratapi, ditangisi, direnungi maupun dengan berdoa, bersembahyang serta mempersembahkan sajian kurban.
        Empat Kesunyataan Mulia yang dapat menimbulkan Pandangan (Cakkhu), Pengetahuan (Nana), Kebijaksanaan (Pañña), Penembusan (Vijjâ) dan Pencerahan (Âloko) itu jelas membutuhkan kemandirian dari masing-masing individu. Dalam Anguttara Nikaya ii. 48 tertulis penjelasan lebih lanjut Sang Buddha berkenaan dengan hal ini, yang berbunyi demikian:
"Dalam tubuh yang panjangnya sepadem ini, beserta kesadaran dan pencerapannya, Kunyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan".
        Berdasarkan pada sabda suci ini, Eksistensi seorang Juru Selamat bagi umat Buddha dalam mencapai Kebebasan Sejati sangat tidak diperlukan[4]. Sang Buddha mengajarkan umat manusia untuk bersikap sebagai orang dewasa yang harus berikhtiar sendiri dalam segala hal, bukan seperti bayi cilik yang hanya untuk makan saja harus disuapi. Tampaknya, Sang Buddha sangat menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berjiwa besar yang tanggap, tangkas dan cakap dalam berupaya mencapai Kebebasan Sejati bagi dirinya sendiri dan oleh dirinya sendiri; tanpa harus merengek-rengek ataupun memelas pada makhluk lain apapun juga.
[4] Bandingkan dengan sabda suci Sang Buddha Gotama yang berbunyi: "Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Buddha hanyalah Penunjuk Jalan".
        Walaupun memfokuskan segala sesuatunya pada diri sendiri, Ajaran Sang Buddha kurang begitu tepat jika dianggap sebagai suatu pandangan yang Egoposentris —arus pemikiran yang cenderung berkisar pada dan ke dalam "pribadi" sendiri— karena Agama Buddha tidak mempercayai adanya atma (Ego) atau Roh yang kekal dalam diri setiap makhluk hidup.
        Anggapan ornag-orang tertentu bahwa di dalam diri setiap makhluk terdapat suatu atma yang bersumber dari suatu atma yang lebih tinggi (Paramatma) sebenarnya dapat dianggap sebagai manifestasi dari keadaan batin yang lemah sehingga membutuhkan suatu perlindungan yang dikhayalkan dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman penderitaan.
        Uskup Berkeley pun telah mengakui bahwa apa yang disebut atom —yang di dalamnya dianggap terdapat suatu inti spritual yang disebut Roh— itu sesungguhnya hanyalah suatu fiksi metafisik. Profesor James kemudian menambahkan, "Sejauh berkenaan dengan pembuktian fakta-fakta pengalaman kesadaran yang sesungguhnya, teori Roh merupakan suatu teori yang berlebih-lebihan. Sedemikian jauh, tak seorangpun dapat dipaksa menyetujuinya demi alasan-alasan ilmiah". Sebagai jalan keluar sementara dalam menyelesaikan masalah Roh, ia menyimpulkan, "Pikiran itu sendiri adalah sang pemikir".
        Tetapi, seseorang mungkin akan menyangsikan, "Kalau memang tidak ada Roh yang kekal, lalu siapakah yang mencapai Kebebasan Sejati itu?" Suatu Roh yang kekal memang sangat diperlukan untuk menopang kepercayaan tentang adanya kehidupan abadi di Alam Surga yang kekal, dan/atau siksaan tanpa akhir dalam Neraka abadi. Namun, Kebebasan Sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha justru tidak memerlukan hal itu karena Kebebasan Sejati bukanlah suatu Alam Kehidupan apapun juga. Kebebasan Sejati adalah suatu pencapaian yang unik; yang tak terperikan; yang hanya dapat diselami oleh mereka yang telah terbebas dari keserakahan, kebencian dan kesesatan batin.
        Untuk memberikan kejelasan mengenai pencapaian Kebebasan Sejati berkaitan dengan doktrin "tanpa Roh" (Anatta), dalam bukunya yag berjudul Visuddhi Magga, Bhikkhu Buddhaghosa menuliskan:
"Hanya penderitaan yang ada, namun tidak ada seorang pun yang menderita. Hanya perbuatan yang ada, namun tidak ada seorang pun yang berbuat. Hanya Jalan Mulia yang ada, namun tidak ada seorang pun yang berjalan di atasnya. Hanya Kebebasan Sejati (Nibbana) yang ada, namun tidak ada seorang pun yang memasukinya".
        Pernyataan ini bukanlah permainan kata-kata sebagaimana acapkali dilakukan oleh para ahli debat, tetapi merupakan filsafat Agama Buddha tertinggi yang memerlukan perenungan mendalam sehingga nantinya akan dapat mengikis habis semua aci-acian sesat yang mengkhayalkan segala sesuatu sebagai "aku", "diriku" dan "milikku".
        Kebebasan Sejati memang bukan sesuatu yang gampang dicapai, dan misteri penderitaan juga bukan sesuatu yang mudah terkuakkan. Pada galibnya, untuk dapat menyibak tabir misteri penderitaan, dibutuhkan suatu perjuangan yang maha dahsyat; suatu perjuangan yang tak tergambarkan dan tak tertandingkan; yang mungkin hanya mampu dilaksanakan oleh segelintir makhluk hidup. Sang Budha Gotama adalah salah satu makhluk hidup yang telah berhasil menyibak tabir misteri penderitaan yang telah menyelimuti Alam Semesta selama lebih dari beribu-ribu tahun, dan mampu menunjukkan Jalan yang ditempuh-Nya kepada makhluk lain. Dengan tersibaknya misteri penderitaan, berarti Beliau juga telah menyampaikan "good bye" kepada dunia yang terliputi oleh penderitaan ini. Tak tergoncangkan Kebebasan Batin yang telah dicapainya. Itulah kelahiran-Nya yang terakhir. Bagi-Nya, tidak ada lagi tumimbal lahir dalam Alam mana pun, dan dalam wujud apa pun.
        Kemunculan seorang Penyibak misteri penderitaan betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat langka. Menurut catatan sejarah kuno, di bumi yang sekarang ini[5], telah lahir empat orang Penyibak misteri penderitaan, dan Sang Buddha Gotama adalah orang yang keempat. Dalam catatan sejarah kuno itu juga, dituliskan bahwa sebelum bumi ini hancur, akan muncul seorang penyibak misteri penderitaan yang lain. Kemunculan-Nya tentu sangat diharapkan dan dinantikan oleh semua makhluk hidup yang batinnya waras, dan yang pasti, kehadiran-Nya di bumi ini bukan untuk "mengadili" dan "menghukum" orang-orang jahat, tetapi semata-mata untuk mengajak umat manusia dan makhluk-makhluk lain mencapai Kebebasan Sejati dari penderitaan.***
[5] Menurut pandangan Agama Buddha, bumi yang sekarang ini —yang ditempati umat manusia dan makhluk-makhluk lain— bukanlah bumi yang pertama dan bukan pula bumi yang terakhir, tetapi telah ada dan akan ada beribu-ribu bumi lain yang muncul dan hancur kembali sesuai dengan hukum perubahan dan hukum ketidak-kekalan.

Apakah dipercayai atau tidak, penderitaan; penyebab penderitaan; lenyapnya penderitaan; dan jalan menuju lenyapnya penderitaan tetap berada dalam diri makhluk hidup masing-masing.



sumber :
http://sasanaonline.tripod.com/dhamma/misteri_.htm