Pengunjung

free counters

Thursday, July 4, 2013

Berkah dan Kesucian Tapa-Brata


BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (1/2)
TAPA-BRATA PRASYARAT UTAMA JALAN PENSUCIAN BATIN
Tapa bukanlah istilah yang samasekali asing bagi bangsa kita. Banyak mithologi dan sejarah menggunakan kata ini. Bahkan dalam sejarah tradisional Bali disebutkan keberadaan seorang raja Bali yang diberi gelar Sri Tapolung, Raja Tapa Ulung atau Bedahulu, yang tidak tunduk pada kekuasaan Majapahit ini, digambarkan amat sakti. Para Patihnyapun sakti mandraguna. Untuk menundukannya saja, Majapahit diharuskan mengirim satu armada besar dengan banyak senopati (arya) serta dipimpin oleh dua panglima perang besar Majapahit, Gajahmada dan Arya Damar.
The Divine Life Society menterjemahkannya dengan ‘austerity’. Dalam konteks ini, ia dapat diartikan dengan pola hidup disiplin, penuh pengendalian diri, pengekangan hawa nafsu, kecermatan dan kewaspadaan. Ia juga merupakan praktek penggemblengan diri guna memperoleh ketahanan fisik dan mental, kehidupan spiritual guna mensucikan diri, kehidupan yang dijalani oleh para orang-orang suci.
Brata sendiri diartikan sebagai taat pada sumpah spiritual. Baik pada Tapa maupun Brata tersirat adanya ‘tekad yang kuat’ untuk menjalankan apa yang dipandang sebagai kebenaran. Secara praktis, Tapa tiada dapat dipisahkan pelaksanaannya dengan Brata; oleh karenanyalah mereka lebih sering digunakan dalam satu rangkaian kata bentukan, Tapa-Brata. Istilah Tapa-Brata akan teramat sering kita temui dalam kisah-kisah mithologis Hindu, budaya spiritual India, Nusantara maupun wilayah-wilayah yang menganut budaya spiritual India (Hindu dan Buddha).
Inilah Brata bagi Sang Brahmana, dua belas banyaknya yaitu: dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajña, dana, dhrti dan ksama.
Dharma bersumber pada sifat Sattva. Tapa yakni disiplin mengendalikan jasmani dan mengekang hawa nafsu. Dama artinya keinsyafan, bisa menasehati diri sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak bersifat iri dan dengki. Hrih artinya malu untuk berbuat salah atau tak-senonoh. Titiksa artinya mengendalikan diri untuk tidak sampai marah besar. Anasuya artinya jangan berbuat dosa. Yajña berarti senantiasa melaksanakan korban suci. Dana artinya berdana-punia. Dhrti artinya melaksanakan penenangan dan pensucian pikiran. Ksama artinya tahan cobaan dan suka memaafkan. Semua itulah Brata Sang Brahmana.” (Sarasamušchaya: 63)
Dalam pustaka suci Sarasamušchaya, Tapa dimasukan sebagai salah satu item pelaksanaan Brata, seperti ditunjukkan oleh sloka 63 diatas. Jadi, ia dapat dikatakan sebagai suatu paket praktek spiritual (Sadhana). Melakoni Tapa-Brata dipandang sebagai satu prasyarat mutlak bagi upaya penggalangan kesucian batin, dalam ajaran Hindu. Para bijak dan orang-orang suci mampu memberi berkah karena ketekunan beliau dalam melaksanakan Tapa-Brata. Hal ini terungkap jelas pada sloka Manawa Dharmaçastra berikut.
Persembahan yang dilakukan kepada bijaksanawan (viprah) yang tinggi pengetahuan sucinya dan yang tekun dalam melaksanakan Tapa-Brata, memberi berkah selamat dari kesialan kecil maupun kesialan besar.” (MDs. III: 98)
PELAKSANAAN TAPA-BRATA DAN MEMPELAJARI WEDA, DUA PRILAKU BERAGAMA UTAMA BAGI UMAT HINDU
Seorang Dwijati yang telah disucikan dengan cara-cara yang sesuai, secara bertahap melaksanakan Tapa-Brata, yang telah ditetapkan bagi mereka yang mempelajari Weda. Seorang Arya harus mempelajari seluruh Weda beserta Upanishad-upanishadnya, sekaligus melakukan bermacam-macam Tapa-Brata serta mengindahkan pantangan-pantangan yang ditetapkan dalam Weda. Hendaknya seorang Brahmana yang hendak melaksanakan Tapa-Brata selalu mengulangi ajaran Weda, karena menurut para bijaksanawan mempelajari ajaran Weda merupakan Tapa-Brata tertinggi di dunia ini. Sesungguhnya, Dwijati melakukan Tapa-Brata tertinggi jika ia setiap hari mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuannya, walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung kaki.” (MDs. II: 164, 165, 166 dan 167)
Dwijati artinya telah terlahir untuk kedua kalinya, yakni: pertama terlahir dari rahim ibunya dan berikutnya terlahir dalam dunia ilmu pengetahuan, beserta segala upacara yang terkait sejak ia dalam kandungan (Sangaskara), sesuai dengan yang tersurat dalam Weda-weda. Menurut Manawa Dharmaçastra, golongan Triwangsa (Brahmana, Ksatria dan Wesya) adalah mereka yang Dwijati, sedangkan kaum Sudra adalah Ekajati. Hanya para Dwijati yang diwajibkan untuk mempelajari Weda-weda. Manusia dari ke-empat Warna inilah yang membentuk peradaban Arya, yang diartikan sebagai orang-orang baik yang berkebajikan tinggi sesuai ajaran Hindu. Dalam hal ini, para Pendeta atau Sulinggih adalah Trijati, telah terlahir untuk ketiga kalinya di dunia spiritual-religius Hindu. Selain ke-empat Warna ini, Hindu tidak mengenal golongan kelima (dan seterusnya) dalam struktur kemasyarakatannya. Ini ditegaskan kembali pada sloka 61 pustaka suci Sarasamušchaya.
‘…mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuannya’, seperti yang diungkapkan dalam sloka diatas tiada lain adalah praktek sadhana dari Mantra Yoga. Darisini tampak jelas bahwasanya Tapa-Brata adalah fondasi yang kokoh bagi tahapan selanjut, Yoga-Samadhi. Sesungguhnyalah, Tapa-Brata-Yoga-Samadhi adalah jalan utama yang disodorkan oleh Hindu guna mencapai tujuan akhirnya, yakni Moksha.
‘…..walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung kaki.’; yang dimaksudkan dalam kiasan ini adalah: walaupun Dwijati tersebut masih bergelimang kemulyaan duniawi, namun beliau tiada terikat kepadanya. Banyak contoh-contoh dalam kitab-kitab suci Hindu yang menceritrakan tentang paradigma ini. Raja Janaka adalah salah satu contoh dari seorang Muni, sementara beliau tetap sebagai raja yang arif. Krishna adalah seorang raja, demikian pula Yudhistira; mereka adalah para raja-raja besar yang suci.
TAPA-BRATA MERUPAKAN JALAN YANG MENGHANTARKAN MANUSIA MENUJU PENCAPAIAN JAGAT HITA DAN MOKSHA
Obat-obatan, kesehatan yang prima, berbagai sifat kedewataan, dapat dicapai hanya melalui kesucian Tapa; oleh karena sesungguhnya Tapa-lah jalan untuk mencapainya.” (MDs. XI: 238)
Berapa banyakpun kita telah berhasil mengumpulkan harta benda duniawi, namun bila tubuh ini sakit-sakitan, semua itu tidak mendatangkan kebahagiaan walau hanya sejenak. Kesehatan yang prima menjadi salah-satu pilar utama penopang kebahagiaan hidup didunia ini (jagat hita). Dan itu dapat diberikan oleh pelaksanaan Tapa-Brata dengan tekun dan ersungguh-sungguh. Hakekat kedewataan manusia menjadi semakin samar dan redup cahayanya oleh liputan kenafsuan (kama), keserakahan (lobha), kemabukan (moha), belenggu keterikatan (tresna), kebodohan (avidya) dan egoisme (ahamkara) nya. Pengendalian, penahanan dan pengekangan diri adalah bahagian-bahagiaan pokok dari pelaksanaan Tapa-Brata yang secara pasti membangkitkan kembali cahaya luhur kedewataan (daivisampat) yang telah terbenam sekian lama dari batin manusia. Dari sloka diatas, kita tak hanya diberi penegaskan akan peran penting yang dimainkan Tapa bagi pencapaian jagathitam, akan tetapi juga sebagai upaya terarah menuju sifat-sifat luhur kedewataan.
Bukan hanya itu, lebih jauh lagi mereka yang mensucikan dirinya melalui Tapa-Brata juga dapat memperoleh kesiddhian, bahkan mencapai kebahagiaan abadi, ‘suka tanpa wali duka’ atau ‘anandam’ dan ‘kelepasan’ dalam kehidupan ini juga. Ini dinyatakan oleh tiga sloka berikut.
Dengan menguncarkan Weda setiap hari, dengan mematuhi peraturan-peraturan kesucian, dengan melakukan Tapa-Brata dan tiada menyakiti makhluk lain, seseorang bisa memiliki kemampuan untuk ‘mengingat masa-masa kehidupannya yang terdahulu’. Ia yang demikian, bila terus menguncarkan Weda, akan menikmati ‘kebahagiaan abadi’.” (MDs. IV: 148 dan 149)
Dengan tidak menyakiti makhluk lain, dengan memutuskan ikatan terhadap objek kenikmatan indriya, dengan upacara seperti yang ditetapkan dalam pustaka suci Weda serta dengan latihan berat Tapa-Brata, manusia dapat mencapai tingkat tertinggi (jivanmukta) dalam kehidupan ini juga.” (MDs. VI: 75)
Mereka yang telah sadar akan kepapaannya serta memahami hakekat dirinya yang Sejati, akan tiada bosan-bosannya untuk berupaya guna meraih kembali Kesujatiannya. Tapa menyediakan jalannya, yakni:
“Melalui pengakuan, penyesalan, pensucian dengan Tapa dan mengucapkan mantra-mantra Weda, yang berdosa akan bebas dari kesalahannya, apabila semua itu tiada mungkin dilaksanakan maka dapat pula dilakukan dengan berdana-punia.” (MDs. XI: 228)
Penebusan melalui Dana-punia banyak dianjurkan dalam Hindu, juga dalam ajaran agama lainnya. Dana-punia juga disebut-sebut sebagai kewajiban utama bagi manusia dalam Upanishad. Pustaka-pustaka suci menyebutkan bahwasanya Dana-punia berupa ‘pengetahuan suci’ (jnana) adalah Dana-punia yang tertinggi yang dapat dihaturkan manusia. Namun diingatkan pula bahwa, sama halnya dengan Yajna, ia mesti didasari ketulusan yang tanpa pamerih. Ketulusan inilah yang mensucikan semua bentuk korban yang kita haturkan, hingga layak disebut ‘korban suci’ (Yajna).
Kita sadar bahwa kecerobohan adalah salah satu dari indikasi keterbatasan kita. Secara senagaja mungkin kita tak hendak berbuat salah, ataupun melakukan pelanggaran; akan tetapi tiada kita pungkiri bahwa (mungkin) banyak kesalahan dan pelanggaran yang telah kita lakukan tanpa sengaja. Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk itu? Nah….masalah inilah yang kita cari pemecahannya dalam paparan sloka-sloka berikut.
Ia yang berkeinginan bebas dari semua kesalahannya, setelah melakukan pelanggaran, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja, hendaknya tiada mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya. Kalau pikirannya menjadi gelisah karena suatu perbuatan salah, hendaknya ia melakukan Tapa seperti yang diwajibkan sampai merasa tenang dan kembali kesadarannya. Dinyatakan oleh para Maharshi bijaksana penerima wahyu Weda bahwa, semua rakhmat dari para Dewa dan manusia berawal pada kesucian Tapa; karena kesuciannya ada ditengahnya maupun akhirnya.” (MDs. XI: 233, 234 dan 235)
———————————-
From: anatta-bali [SMTP:anattagotama@telkom.net// ]
To: Hindu-Dharma Net
Subject: [hindu] BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (2/2) Sent: 7/7/02 10:48 AM
BERKAH DAN KESUCIAN TAPA-BRATA (2/2)
BAGAIMANA TAPA DILAKSANAKAN?
“Mengejar pengetahuan suci adalah Tapa bagi para Brahmana, melindungi rakyat adalah Tapa dari kaum Ksatrya, melaksanakan kewajiban berusaha adalah Tapa bagi Wesya dan mengabdi adalah Tapanya kaum Sudra.” (MDs. XI: 236)
Dari sloka ini, kita ketahui bahwasanya ternyata bagi masing-masing warna punya bentuk Tapanya sendiri-sendiri. Melalui Tapa masing-masing inilah, semua manusia Hindu memiliki kesempatan yang sama besarnya dalam berupaya mensucikan-diri secara lahir-batin. Perlu kiranya diingatkan kembali bahwa dalam konteks ini, warna yang dimaksud hendaknya tidak dipandang berdasarkan pengertian sempit –garis keturunan, soroh ataupun warga; akan tetapi sebagai kecenderungan atau minat dasar yang dominan pengaruhnya dalam membentuk bakat dan karakter bawaan seorang anak manusia. Semua itu dibawa dari kelahirannya yang lampau, demikian doktrin Karma Phala dan Samsara mengajari kita.
Nah….secara kontekstual, di dalam semua bahagian tulisan ini, hendaklah kita memandangnya seperti itu; yang pasti bukan sebagai ‘kasta’. Jadi, sesungguhnya tiada diskriminasi dalam meraih tujuan akhir dalam Hindu. Caranyalah yang berbeda, disesuaikan dengan minat, bakat, serta sifat-sifat atau kecenderungan bawaan masing-masing. Dan bagusnya adalah, semua disediakan jalan yang paling sesuai untuknya. Peluang pencapaian tujuan antara maupun tujuan akhir terbuka lebar bagi semua manusia Hindu, tanpa kecuali.
Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa.” (MDs. XI: 237)
Dari sloka yang satu ini kita ketahui jenis makanan (diet) Sattvik yang menunjang keberhasilan seorang Yogi. Yang pasti, jenis makanan tersebut adalah jenis makanan vegetaris. Sementara, para akhli kesehatan dan psikolog modern juga telah menemukan keterkaitan erat antara makanan dengan ketenangan dan kesehatan mental, pada umumnya, walaupun tidak dapat dipandang sebagai suatu kemutlakan, maka para orang-orang suci dan Yogi purbakala, malah telah memanfaatkan pengetahuan tersebut bagi penyempurnaan dan pensucian jiwanya.
Terkait dengan makanan dan minuman, disamping jenis, waktu atau frekwensi, jumlah dan pola makan secara keseluruhan juga amat menentukan dalam praktek spiritual. Ada yang menganjurkan jenis makanan sattvik bagi para penekun jalan spiritual, dan ada juga yang hanya mengkonsumsi jenis makanan vegetaris saja. Namun, pada prinsipnya, yang perlu dipegang teguh dalam hal ini adalah: ‘Makanan maupun minuman tidak semata-mata dimaksudkan untuk memuaskan indriya pengecap (lidah), namun lebih pada penunjang kesehatan lahiriah maupun kestabilan batiniah’. Ini akan banyak menunjang dalam peningkatan spiritualitas dan pengembangan batin seorang penekun praktek spiritual.
PARA DEWA-PUN BERTAPA
Para Dewa dengan segala kecemerlangan sifat-sifat kedewataannya diperoleh sebagai anugerah dari pelaksanaan Tapa-Brata. Semesta raya juga diciptakan melalui Tapa Hyang Widhi, demikian disebutkan dalam Weda-weda, juga dalam Manawa Dharmaçastra.
“Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melampauinya.
Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapanya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapanya yang teguh, waspada bak hartawan menjaga kekayaannya.
Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapanya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Weda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa melalui Tapanya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa.” (MDs. XI: 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245)
Jadi, keutamaan dan keagungan Tapa-Brata seperti yang diajarkan dalam Hindu melalui Weda-Weda, tidaklah perlu diragukan lagi. Bagi kita, hanya keberanian dan kesiapan mental-lah yang dibutuhkan untuk melakoninya. Itu saja. Betapapun luhurnya suatu ajaran, ia tetap hanya berupa slogan, semboyan dan angan-angan kosong saja bagi kita, tanpa dilakoni. Semua itu sepenuhnya dipulangkan kembali kepada kita.
Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita. Semoga Kebahagiaan dan Kedamaian senantiasa menghuni kalbu semua insan.
Hindu-Dharma Net

sumber : http://hukumhindu.blog.com/2011/07/15/berkah-dan-kesucian-tapa-brata/