Sanghyang Rwa Bhinneda
Oleh : Dra. Ida Ayu Made Suerti, Bandung
Kata
Rwa Bhinneda sangat akrab di telinga dalam hidup dan kehidupan
masyarakat Hindu. Rwa Bhinneda dalam pemahaman masyarakat, sering
diartikan suatu sistem yang memutar kehidupan berkrama (bermasyarakat).
Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu
yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, hidup ini
berputar.
Sanghyang Rwa Bhinneda
Oleh : Dra. Ida Ayu Made Suerti, Bandung
Kata
Rwa Bhinneda sangat akrab di telinga dalam hidup dan kehidupan
masyarakat Hindu. Rwa Bhinneda dalam pemahaman masyarakat, sering
diartikan suatu sistem yang memutar kehidupan berkrama (bermasyarakat).
Dengan kata Rwa Bhinneda ini, suatu perbuatan atau keadaan, maupun waktu
yang senantiasa bertentangan. Dengan pertentangan inilah, hidup ini
berputar.
Sangat ironi, termasuk mencuri, membunuh dan sejenisnya,
ini sering dikatakan sebagai bagian Rwa Bhinneda, sehingga hidup ini
berputar. Secara logika, siapapun mänusia itu, baik polisi, tentara,
penegak hukum politisi dan lain sebagainya, tentu tidak berharap ada
pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Padahal bilamana
dicermati, bahwa ketika tidak ada pencurian, pembunuhan, perampokan dan
lain-lain, kehidupan ini tetap berputar.
Tentu terjadi pergeseran
pemahaman dalam masyarakat tentang Rwa Bhinneda. Sejatinya Rwa Bhineda,
tidak berhubungan langsung dengan perbuatan atau karma. Rwa Bhinneda
memiliki hakikat yang sangat rahasia dan esensial. Sehingga tidak semua
yang nampak bertentangan disebut Rwa Bhinneda.
Rwa Bhinneda
Secara
harfiah, Rwa Bhinneda terdiri dan 2 (dua) katayaitu Rwa dan Bhinneda,
yang mengandung arti Rwa berarti 2 (dua) sedangkan Bhinneda berarti dua
hal yang berbeda. Berangkat dengan pemahaman ini, lalu orang
mengartikan, bahwa setiap 2 (dua) hal yang berbeda serta nampak
bertentangan diistilahkan dengan Rwa Bhinneda. Padahal berbicara masalah
Rwa Bhinneda, pemahaman dan pemaknaannya tidak hanya terlihat dalam
konteks arti secara harfiah. Rwa Bhinneda, sejatinya membahas tidak
hanya membahas yang nampak secara harfiah. Rwa BJiinneda membahas
melampaui batas pemikiran manusia. Artinya pembahasannya menjangkau
hakikat dan, sensial tentang kehidup yaitu Ang dan Ah. Ang dengan Ah
adalah induk (bapak dan ibu) aksara. Sebagaimana dalam Siwagama, Ang Ah
inilah yang dimaksud dengan Sanghyang Rwa Bhinneda, sebagai induknya
(bapak-ibu) nya aksara.
Ang adalah akasa, Ah adalah prethiwi.
Akasa adalah bapak, sedangkan prethiwi adalah ibu. Bapak-ibu Juga
menyandang status Purusa-Pradana. Diniskalakan dalam bentuk mantra maka
bapak ibu berturut-turut berwujud Om (bapak) …….. Swaha (ibu)/ Ong
(bapak) ………. Swadhah (ibu), sebagaimana contoh berikut:
Om Sudhamam Swaha
Om Ati Sudhamam Swaha
Artinya:
Tangan kanan ini suci berkat tuntunan bapak-ibu
Tangan kiri ini suci berkat tuntunan bapak-ibu
Ong namo wah pitaro suksma yenamah swadah
Ong namo wah pitaro turya yenamah swadah
Ong namo wah pitaro ktah yenamah swadah (Puja Pitra)
Artinya:
Semoga
arwah leluhur kembali dengan cepat kepada Brahman berkat tuntunan
leluhur (ibu-bapak yang telah lebih dahulu kembali kepada Tuhan). Semoga
arwah leluhur yang telah kembali kepada Brahman dapat mencapai keadaan
jiwa tingkat keempat atau jnana, berkat bantuan bapak-ibu (leluhur).
Arwah teluhur telah menyatu dengan Brahman berkat tuntunan bapak-ibu
(leluhur).
Om Swaha dan Ong Swadah sebagaimana kutipan mantra di
atas, memiliki makna yang sangat dalam, esensial. Tanpa tuntunan
bapak-ibu, maka semua permohonan tidak akan berhasil. Berdampingannya
bapak-ibu dalam suatu upacara adalah syarat utama untuk berhasilnya
suatu permohonan. Lebih-lebih pemujaan itu dilakukan untuk para leluhur.
Bapakibu adalah wujud Brahman dalam hidup dan kehidupan skala
(mayapada) bagi putra-putrinya, maka puja dan hormati bapak-ibu/leluhur.
Dalam
bentuk cairan, bapak ibu yang menyatukan rasa dalam purna candra
(vagina), puncak rasa dalam purna candra keluarlah kama petak (sperma)
dan kama bang (sel telur). Dalam bentuk niskala kama petak adalah dan
kama bang adalah Ang dan kama bang adalah Ah. Itu sebabnya ketika kama
petak dengan kama bang menyatu membentuk menyerupai telor berkabut putih
bagaikan salju dalam siwagarbha (rahim), dijaga oleh Adi Brahma yang
keluar dari pusat Ongkara. Sehingga Rwa Bhinneda adalah dua hal berbeda
namun hakikatnya 1(satu). Menyatu rasa dalam purna candra, demikian pula
manyatu dalam wujud wuwunda (bayi), urghapada (posisi bayi berdiri),
dan jatismara posisi bayi kepala di bawah di dalam Siwa Garbha yang
disebut dengan jatismara. Jatismara sejatinya gabungan dari kama petak
dengan kama bang, yang masing-masing telah mewujud menjadi tri mhandya
dengan tri murti, tri chandya adalah tulang, sumsum dan saraf, sedangkan
tri murti adalah daging, darah, darah dan kulit (ditambah bulu dan
rambut).
Bilamana, kita lebih mencermati Naskah Siwagama, tri
chandya merupakan tabung ajaran Yogasanyasa, sedangkan tri murti adalah
tabung ajaran Karmasannyasa. Penterapan Yogasannyasa lebih didasari dan
penguasaan serta pelaksanaan Jñana Marga dan Yoga Marga, sedangkan
Karmasannyasa lebih didasari pada penguasaan dan pelaksanaan Karma Marga
dan Bhakti Marga. Pada diri manusia sejatinya kedua ajaran ini menyatu
dengan padu. Kesempurnaan Karmasannyasa terletak pada didasari
penguasaan, pemahaman serta pelaksanaan Yogasannyasa. Demikian pula
Yogasannyasa ini dapat mewujud, tentu dengan adanya pelaksanaan
Karmasannyasa. Pelaksanaan keagamaan Hindu khususnya Bali, bahwa
Karmasannyasa dengan Yoga-sannyasa adalah menyatu. Walaupun pada
awalnya, sebagaimana dipaparkan dalam Siwagama bahwa Karmasannyasa
dengan Yogasannyasa adalah ajaran yang satu dengan lainnya berbeda.
Karmasannyasa pelaksanaan ajarannya menekankan pada Karma Marga dan
Bhakti Marga. Ajaran ini menggunakan sarana-sarana, seperti tempat
ibadah:
Sanggah/Merajan, Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat dan
sejenisnya, pula menggunakan sarana banten. Sedangkan Yogasannyasa
menekankan ajarannya yang didasari dengan Jñana Marga dan Yoga Marga,
sama sekali tidak menggunakan sarana sebagaimana dalam pelaksanaan
ajaran Karmasannyasa.
Kontekstualnya pelaksanaan kedua ajaran ini,
sejatinya tidak perlu lagi penyatuannya. Dikarenakan ia tidak hanya
menyatu dalam pelaksanaan keagamaan secara komunal, namun ia sejatinya
pula menyatu dalam diri manusia. Karmasannyasa, merupakan refleksi
ajaran Siwa, sedangkan Yogasannyasa refleksi ajaran Buddha. Sebagaimana
kita pahami bersama Siwa-Buddha di Bali demikian menyatu dengan padu,
tidak hanya dalam hubungan keberagaman secara komunal, namun pula secara
individu. Bila kita kembangkan pemahaman ini maka laki-laki sejatinya
adalah tabung ajaran Buddha, sedang wanita tabung ajaran Siwa.
Manakala
kita mengkajinya lebih mendalam mengenai Naskah Siwagama, khususnya
sargah 19 (sembilan belas), bahwa kesempurnaan wanita, karena di dalam
wanita terletak tabung (dan purna candra-Siwagarbha) menyatunya
Siwa-Buddha. Proses pernyatuan itu terjadi, sejatinya dimulainya bapak
ibu ketemu pandang, berlanjut pada pacaran, kemudian menikah. Penyatuan
Siwa-Buddha dalam wujud awalnya, ketika Buddha dengan kepala botak,
berambut berlingkar-lingkar dipangkal leher bertamasya di taman purna
candra, yang pintu gerbangnya penuh ditumbuhi semak belukar. Maksud
perjalanan Budha ini, untuk ketemu dengan manifestasinya yaitu Panca
Tatagata di taman purna candra, untuk melanjutkan tugas karmanya di
taman tersebut. Konteks Siwaisme, purna candra terletak pada tabung
karmasannyasa. Dengan demikian purna candra identik dengan milik Siwa,
dengan kata lain purna candra wujud jasmaniah rahasia yang dimiliki
wanita. Ini artinya peristiwa tamasyanya Buddha di purna candra, dalam
wujud jasmaniahnya yang berkepala botak itu dengan berambut
melingkar-lingkar di pangkal lehernya, memiliki makna yang sangat dalam
yakni sebelum melakukan karma lanjut menapaki bakti, hendaknya dilandasi
dengan jñana dan yoga terlebih dahulu. Dengan demikian jñana adalah
power dalam melakukan karma, bakti maupun yoga.
Setelah Buddha
yang plontos puas bermain-main dengan mempermainkan suatu benda yang
menyerupai bunga teleng, yang sejatinya benda itu adalah putik sari
bunga padma yang berada di taman purna candra, taman purna candra pula
telah puas atas kunjungan Buddha. Kemudian Buddha dan ujung kepalanya
yang botak itu meluncur dengan kencang jutaan embrio tri candhya yang
tiada lain adalah kama petak (sperma), selalu diusahakan dalam bentuk
bersamaan dari pangkal putik sari padma ke luarlah dengan gemulai embrio
tri murti yang tiada lain adalah kama bang (sel telur).
Kemudian
kedua kama ini mengalir menyatu ke dalam Siwagambha atau alam Siwa,
untuk melanjutkan karmasannyasa. Dengan demikian Siwa Buddha menyatu di
dalam Siwagarbha. Siwa-Buddha yang sejatinya adalah Siwa Guru. Guna
kepentingan kehidupan Siwa Guru mewujudkan masing-masing menjadi Buddha
dan Siwa. Dalam bentuk aksara Buddha-Siwa mewujudkan menjadi (Ang Ah).
Kama petak dengan kama bang menyatu mewujud menjadi telor
berkabut-wuwunda-bongkahan daging menyerupai wayang-Urdhapada, dan pada
usia sembilan bulan pada akhirnya masing-masing menjadi tri chandya
dengan tri murti. Tri chandya dengan tri murti menyatu menjadi
jatismara, kemudian lahirlah bayi (manusia). Dengan demikian dalam diri
manusia secara individual merupakan tabung-tabung ajaran Siwa Buddha.
Subhasubha KarmaDengan
demikian, tidak semua 2 (dua) hal yang nampak bertentangan dapat
disebut Rwa Bhinneda, seperti: tidak membunuh dengan membunuh, tidak
mencuri dengan mencuri, membakar dengan tidak membakar. 2 (dua) hal yang
nampak berbeda dan bertentangan ini sejatinya adalah subhasubha karma
(perbuatan baik dan benar dengan tidak baik dan tidak benar) dan
manusia. Dengan demikian subyek subhasubha karma adalah manusia, karena
hanya manusia yang dapat melakukannya. Kalau menginginkan kebaikan, maka
berbuatlah. yang baik dan benar, bila berbuat tidak baik dan tidak
benar, maka yang didapatkan tidak baik dan tidak benar.
Sehingga
baik-tidak baik, membunuh-tidak membunuh dan lain-lain sebagaimana
diuraikan di atas, bukan tergolong Rwa Bhinneda, dengan kata lain
disebut dengan Subhasubha karma. Hakikat subhasubha karma tidak
bisa/tidak dapat dipertemukan, ia akan dan selalu bertentangan,
sebagaimana halnya madu dengan racun.
Memang subha-subha karma
memberikan warna dalam hidup dan kehidupan, dalam bahasa agama akan
berhubungan kehidupan setelah kematian, yaitu sorga dan neraka. Dalam
konteks hukum positif, subhasubha karma tidak selalu memberikan pengaruh
dan dampak, dalam hal ini berhubungan dengan penghargaan maupun sanksi.
Bila masyarakat berbuat sesuai dengan aturan hukum (misal KUHP), tidak
serta merta mendapatkan penghargaan. Demikian pula bila masyarakat,
walaupun sesungguhnya melakukan tindakan kriminal, namun tidak dapat
dibuktikan secara sah, maka yang bersangkutan tidak dapat dikenakan
sanksi, bila terbukti secara sah tentu mereka dikenakan sanksi.
Sangat
berbeda dengan Rwa Bhinneda, nampaknya berbeda, namun hakikatnya satu,
sebagaimana Siwa dengan Buddha hakikatnya adalah satu. yaitu Siwaguru,
yang merupakan induk aksara manakala menyatu, akan menjadi hal yang
paling esensial yaitu Ongkara. Bapak (laki) dan ibu (perempuan) adalah
wujud nyata Rwa Bhinneda, orang terlahir laki-laki bukan sebuah
kebenaran, orang terlahir perempuan bukan sebuah kesalahan, demikian
pula sebaliknya. Dengan demikian Rwa Bhinneda, tidak langsung
berhubungan dengan hukum karma, ia adalah subyek karma, sedangkan
subyeknya adalah Brahman.
Pergeseran Rwa Bhinneda ke Subhasubha Karma
Sangat
latah kjta dengar dalam hidup dan kehidupan masyarakat, seperti ketika
seseorang di suatu tempat barang miliknya dicuri, atau di suatu pura
kehilangan barong dan sejenisnya, pemberi pembinaan mengatakan bahwa itu
adalah Rwa Bhinneda. Entah dan mana sümbemya, yang jelas pembina
dimaksud dengan penuh keyakinan, bahwa terjadmnya pencurian, pembunuhan
dan sejenisnya merupakan benang rantai Rwa Bhinneda.
Manakala
disadari, bahwa setip manusia normal, tidak menghendaki terjadinya
pencurian, pembunuhan dan sejenisnya, karena hal itu dapat menimbulkan
tidak hanya kehilangan barang, maupun taksu, namun dapat berakibat fatal
yaitu kehilangan nyawa. Lebih ironis lagi pelanggaran peraturan
dikatakan Rwa Bhinneda. Sepatutnya hal ini bukan rangkaian Rwa Bhinneda,
namun sejatinya adalah subhasubha karma atau baik buruknya suatu
perbuatan. Selain dampak sebagaimana diuraikan di atas, subha-subha
karma dapat menimbulkan sanksi hukum, bila terbukti secara sah melakukan
tindak pidana.
Lebih lanjut dijelaskan siartgmalam,
laki-perempuan, baik-buruk dan lain sebagainya adalah Rwa Bhinneda.
Penjelasan ini, tidak sepenuhnya benar, siang-malam dan laki perempuan
adalah benar Rwa Bhinneda, sedangkan baik-buruknya suatu perbuatan dan
sejenisnya tergolong subha-subha karma. Siang-malam, laki perempuan,
baik-buruk dan sejenisnya lebih tepat dikatakan duandas. Dengan kata
lain gabungan Rwa Bhinneda dengan subha-subha karma disebut duandas.
Pergeseran
pemahaman mengenai Rwa Bhinneda, dan subhasubha karma ke Rwa Bhinneda
atau ke duandas atau sebaliknya, memberikan pemahaman kepada kita, bahwa
tidak semua yang nampak berbeda dan bertentangan adalah Rwq Bhinneda
atau subhasubha karma, namun sudah pasti duandas. Rwa Bhinneda, tidak
berhubungan langsung dengan karma atau baik buruknya suatu perbuatan,
namun ia bagian esensial dan suatu penciptaan hidup dan kehidupan ini,
ia subyek subhasubha karma. Dengan demikian Rwa Bhinneda tidak
ditentukan oleh nilai, misal kelahiran seorang wanita bukanlah sebuah
kesalahan, demikian halnya laidlaki bukanlah sebuah kebenaran. Berbeda
dengan subha-subha karma atau baik buruknya perbuatan perjalanannya
menentukan dan ditentukan oleh nilai. Orang berbuat baik pasti bernilai
baik di mata Brahman, bila berbuat buruk pasti mendapatkan ganjaran dari
Brahman. Bila terbukti bersalah secara sah menurut aturan hukum yang
berlaku, harus dikenakan sanksi. Bila pergeseran pemahaman dan pelakuan
ini terus terjadi, maka manusia akan latah dan menjadi suatu budaya
untuk melakukan kesalahan-kesalahan. [WHD No. 515 November 2009].
sumber : http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1588&Itemid=120
No comments:
Post a Comment