“…Akulah yang mengirim mereka untuk kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian…”, kalimat yang keluar dari mulut Soekarno, pengakuan atas kematian mengerikan para romusha.
Pada 1943, Soekarno menghimpun secara paksa orang-orang Indonesia dan kemudian mengirim mereka sebagai romusha
untuk dipekerjakan dalam proyek pembangunan rel kereta api milik
Jepang. Konsekuensi atas kesepakatan politik dengan Kaisar Tenno Heika
untuk mendukung kemerdekaan penuh Indonesia. Para romusha itu
kemudian mati seperti daun yang berguguran. Mereka kelaparan, sakit,
dibunuh dan bahkan ada yang menjadi santapan binatang buas. Jumlahnya
tidak sedikit, sekira 4 sampai 10 juta orang, luar maupun dalam negeri.
Soekarno sendiri berkata terkait para romusha yang dikirim ke Burma: “Hampir 99% dari mereka mati.”
Soekarno tidak menyesali perbuatannya meskipun dia merasa sangat berat melakukannya. Alasannya sederhana, dia mengatakan: “…dalam
setiap perang ada korban. Tugas dari seorang panglima adalah
memenangkan perang, sekalipun akan mengalami beberapa kekalahan dalam
pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa
demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam
suatu perjuangan untuk hidup…” Atau dengan kata lain, soekarno membunuh demi bangsa.
Soeharto,
pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, mengomandani sebuah gerakan
mahabesar: pembasmian Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekira 3 juta
orang anggota PKI atau orang-orang yang di-PKI-kan mati dibantai.
Soeharto kemudian mengakuinya dan mengatakan telah bertindak (membunuh)
demi bangsa.
Bolehkah membunuh demi bangsa? Adakah orang yang mau dibunuh demi bangsa?
Sumber:
“Bung Karno dan Lembar Hitam Romusha” oleh Roso Daras.
“Neraka Rimba Logas” oleh Marthias Dusky Pandoe.
http://fachrulkhairuddin.blogspot.com/2010/10/romusha.html
No comments:
Post a Comment