Sekelumit catatan ini, hanyalah sebagai
respon curhatan atau lebih tepatnya obrolan saya dengan seorang Ibu yang
memiliki putri kelas 3 SD. Ibu ini bertutur kepada saya, tentang
pertanyaan-pertanyaan yang nyleneh dari putrinya—lebih tepatnya cukup
membuat Ibu’nya bingung untuk mendapatkan jawaban yang tepat atas
pertanyaan putrinya tersebut. Ada dua pertanyaan dari putrinya yang
diceritakan kepada saya. Pertama, kenapa malaikat gak mau masuk ke rumah yg ada anjingnya? kan malaikat itu makhluk yg tak bernafsu,kok dia gak mau sih? Kemudian kedua, suatu saat putrinya gak mau diajak pulang dari masjid sama mbaknya alasannya karena belum ketemu sama allah.
Catatan ini hanya sekedar memberikan
tambahan catatan yang mungkin teman-teman sudah memiliki catatan
tertentu berkaitan tentang anjing. Apapun catatan Anda,…monggo. Dan
catatan saya ini hanyalah catatan yang bisa jadi berbeda dengan catatan
yang selama ini sudah Anda catat—atau bahkan catatan Anda selama ini
malah sudah menjadi keyakinan Anda terhadap Anjing.
Apapun catatan kita tentang anjing
adalah sah. Toh,…semua itu juga hanya sekedar catatan dari proses kita
membaca; hasil dari pengalaman olah panca indera kita mencatat
kasunyatan yang ada. So, dengan demikian sangat tidak bijak ketika
kemudian kita bertengkar ataupun membela mati-matian catatan kita
masing-masing. Jelas, bahwa di wilayah catatan bisa jadi setiap kita
tidak sama.
Anjing yang masuk Swarga dalam cerita perjalanan hidup Yudistira
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna,
Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi.
Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk
melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya.
Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan
tersebut menjadi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki
puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal
dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah
mereka perbuat. Hanya Yudistira dan anjingnya yang berhasil mencapai
puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan
kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira
dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk
masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah
dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan
saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran
jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan
seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan
mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma,
Ayahnya. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra.
Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan
adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra
menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang
menjalani penyiksaan di neraka.
Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika
terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan
dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari
neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara
saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal
di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama
sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun
ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi
indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus
ujian, karena waktunya yang sebentar di Neraka adalah sebagai penebus
dosa ketidakjujuran Yudistira terhadap Drona soal kematian Aswatama. Ia
menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya
dinyatakan sebagai penghuni Surga, sementara para korawa akan menjalani
siksaan yang kekal di neraka.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
Bagi kebanyakan orang -terutama muslim-,
hewan yang satu ini dianggap sebagai hewan yang menakutkan, menjijikkan,
kotor dan label-label “minus” lainnya. Dalam syariat (hukum) Islam
sendiri, segala sesuatu yang basah (kullu ruthbin) dan berasal dari
tubuh anjing -seperti air liur, kencing, kotoran, hidung dan lain
sebagainya- dihukumi sebagai najis mugholladzoh (najis berat). Sehingga
ketika seseorang terkena olehnya, ia diwajibkan untuk mencucinya dengan 7
kali basuhan dan salahsatunya menggunakan tanah. Selain itu, hukum
memakannya adalah haram.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas mengenai
hukum-hukum yang berkaitan dengan anjing. Saya lebih tertarik untuk
sedikit mengupas sisi baik yang terdapat pada hewan yang “kadung” dicap
sebagai hewan berkasta rendah lagi najis ini, lalu kemudian mencoba
meneladaninya.
Lha, kok meneladani anjing? Yak!, seperti
saya bilang di atas, di balik label-label negatif dari hewan ini, ada
sifat-sifat baik yang justeru menurut al-Qulyubi dalam kitabnya
an-Nawadir patut dijadikan sebagai teladan. Bahkan beliau menambahkan,
sekiranya sifat-sifat baik yang melekat pada diri anjing dimiliki oleh
manusia, niscaya ia akan sampai pada kedudukan yang mulia di sisi Allah
SWT. Lagi pula, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari segala
sesuatu yang baik. Jangankan anjing yang termasuk hewan besar, Allah SWT
juga memerintahkan kita mengambil pelajaran serta hikmah dari
seekor nyamuk atau lalat yang juga “bernasib sama”, yaitu sama-sama
dicap menjijikkan, kotor dan biang penyakit.
Nah, berikut ini sifat-sifat baik yang ada pada seekor anjing.
Pertama,
anjing adalah hewan yang seringkali merasakan lapar. Hal ini
mengingatkan kita pada keadaan orang-orang yang saleh. Orang-orang saleh
adalah mereka yang senantiasa ruhaninya merasakan lapar akan ”harapan
dan rindu” untuk diridlai dan dicintai oleh Allah SWT. Bagi orang-orang
saleh, setiap perintah Allah SWT adalah pengenyang lapar ruhaninya,
dan setiap detik usia adalah waktu untuk bersantap.
Kedua,
pada umumnya anjing tidak memiliki tempat tinggal yang mewah di dunia.
Anjing tidak pernah meminta diberikan tempat tinggal yang mewah kepada
tuannya. Di manapun ia ditempatkan, ia akan dengan senang hati
menerimanya. Sama seperti halnya orang yang berpasrah diri (tawakkal)
kepada Allah SWT. Insan yang bertawakkal adalah mereka yang menyerahkan
segala urusan hidupnya kepada Allah SWT. Karenanya, di manapun,
bagaimanapun dan seperti apapun keadaan dirinya, ia tidak pernah
berkeluh kesah karena kuatnya keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan
apa yang dibutuhkan olehnya, bukan apa yang diinginkan.
Ketiga,
Anjing adalah hewan yang biasanya hanya tidur sebentar, seperti
keberadaan orang yang punya kecintaan besar pada Allah (muhibbin).
Seorang pecinta Tuhan, lebih banyak menggunakan waktunya untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, daripada “membuangnya” percuma dengan tidur
yang berlebihan. Bahkan ketika tidurpun, ruhaninya tetap “siaga” dan
“terjaga” untuk mengingat Allah.
Keempat,
anjing tidak memiliki harta, sebagaimana kondisi orang-orang zuhud atau
merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Kelima,
anjing tidak akan meninggalkan tuannya sendirian, kendati tuannya
sendiri tidak menghiraukannya, seperti sifat orang-orang yang selalu
ingin dekat pada Allah (muridin).
Keenam, anjing rela ditempatkan di mana saja, seperti sifatnya orang-orang tawadlu’.
Ketujuh,
anjing rela untuk pergi dari tempat di mana ia diusir ke tempat
lainnya, seperti sifatnya orang-orang yang ridla kepada kehendak Allah.
Kedelapan,
jika seekor anjing dipukul lalu diberi sesuatu. Ia akan kembali dan
mengambilnya tanpa merasa dendam, seperti sifat orang-orang yang
khusyu’.
Masih banyak sebenarnya sifat-sifat baik yang
terdapat pada seekor anjing yang bisa kita jadikan sebagai sebuah
tauladan. Tinggal terserah kita saja, mau tidak belajar dari seekor
anjing?
Anjing sebagai symbol Dewa Dharma
Dalam cerita Yudistira yang memasuki
swarga dengan anjing, dan ternyata anjing kemudian berubah wujud menjadi
Dewa Dharma yang tak lain adalah Anyahnya. Yang mendampingi Yudistira
masuk swarga adalah Dewa Dharma. Wujudnya adalah anjing. Ini sebagai
symbol, bahwa hanya dengan dharma-lah manusia bisa memasuki swarga.
Dharma memiliki arti segala perbuatan atau tindakan yang memuliakan,
yang luhur yang bermafaat bagi orang banyak dan selaras dengan alam. Dan
anjing memberikan teladan bagaimana agar manusia memiliki sifat juga
sikap dharma tersebut.
Khasanah kearifan Jawa memberikan
penjelasan tersendiri terhadap siapakah orang yang akan masuk swarga?
Ritual-ritual yang kita lakukan (contoh: sholat, puasa,dll), berikut
persembahan-persembahan yang kita persembahkan kepada Tuhan—tidak akan
mampu menghantarkan diri kita masuk swarga. Tetapi yang akan membuat
diri kita memasuki swarga adalah perilaku-perilaku bajik kita.
Tindakan-tindakan dharma kita. Karenanyalah, Jawa sangat memegang
prinsip “wong nandhur bakal ngundhuh atau manungsa bakal ngundhuh wohing pakarti”.
Referensi tentang Anjing:
1. Anjing yang Masuk Surga (pengarang Dawam Rahardjo)
2. Berguru kepada Anjing (pengarang lupa)
3. Ceritera Ash-haabul Kahfi
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/11/anjing-yang-masuk-swarga/
No comments:
Post a Comment