Pada suatu hari Shankaracharya bersama murid-muridnya berjalan menuju Sungai Gangga. Didapatinya seorang brahmana duduk di bawah sebatang pohon sambil mengulang-ulang peraturan tata bahasa Sansekerta sistem Panini"Dukrun karane,dukrun karane."
Ia berusaha menghafalkan tata bahasa Panini agar dapat menjadi cendekaiawan yang hebat. Ketika ditanya oleh Shankara, brahmana itu menjawab, bahwa ia ingin memperlihatkan kecendekiawanannya di istana raja agar memperoleh imbalan banyak materiil. Shankara bertanya, "Apa yang akan Anda lakukan dengan harta tersebut?" Brahmana itu berkata, bahwa ia akan menikmati segala kesenangan dan kemewahan seumur kehidupannya. Shangkara mengajukan pertanyaan lebih lanjut," Setelah ajal tiba, apa yang akan terjadi terhadap harta Anda? Dapatkah Anda mengingat hal yang sekarang Anda pelajari?"
Sang brahmana tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Kemudian Shangkara berkata, "Oh, orang bodoh, berusahalah memahami prinsip ketuhanan yang selalu ada di dalam dirimu sebelum engkau lahir dalam kelahiran sekarang ini dan setelah ajal tiba."
Tidak ada yang menyertai manusia pada waktu lahir juga tidak ada seorang pun yang akan mengikutinya setelah meninggal. Ia datang seorang diri dan akan kembali demikian pula. Seseorang terbaring di ambang maut.Ia dikelilingi sanak saudaranya yang menangis karena ia hampir meninggal.Ia membuka mata dan berkata, "Mengapa kalian menangis?" Mereka berkata,"Engkau akan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Ini membuat kami bersedih." Ia sadar bahwa semua harta yang telah diperolehnya harus ditinggalkan dan ia harus pergi dengan tangan hampa. Pada waktu itulah ia insyaf, betapa sia-sianya usaha untuk mengejar harta meteri.
Hanya orang yang menyelidiki sifatnya yang sejati layak disebut manusia. Kebanyakan orang bertanya kepada orang lain, “Siapakah Anda?", tetapi tidak mengerti,"Siapakah saya?" Ini adalah gejala maya yang merupakan pangkal penyebab segala kesedihan. Sebelum lahir bagaimana seseorang bisa berkerabat dengan orang lain? Setelah meninggal, siapa yang akan mengikuti siapa? Pertalian jasmani itu bersifat sementara. Akhirnya setiap orang harus menempuh jalannya sendiri, tidak ada seorang pun yang akan menyertai orang lain. Manusia menganggap dunia yang bersifat sementara dan cepat berlalu ini sebagai hal yang nyata dan menempuh hidupnya dalam khayal maya. Ia harus berusaha memahami kenyataan dirinya yang sejati dan menghayati kedamaian batin.
Karena tidak menyadari kenyataan bahwa kedamaian itu berada di dalam dirinya, manusia mencari kedamaian di tempat lain.Kita tidak dapat menghayati kedamaian di dunia luar. Ke mana pun seseorang pergi, ia hanya mendapati keresahan dan pergolakan. Kedamaian yang didambakan berada di dalam dirinya sendiri. Prinsip ketuhanan di dalam dirinya sesungguhnya adalah perwujudan kedamaian.Ia melupakan kenyataan ini dan mendambakan kedamaian yang tidak langgeng di dunia luar. Manusia diharapkan berhenti mencari kedamaian di luar dirinya dan harus berpaling ke dalam batin serta berusaha menghayati kedamaian yang merupakan wujud sejatinya.
Apa pun yang dicari di dunia luar, ada di dalam diri.Tidak ada apa pun di dunia luar yang tidak ada di dalam diri. Bila kita membuka mata, kita dapat melihat ribuan kepala. Bila mata dipejamkan, kita tidak melihat siapa pun. Dari pengalaman ini jelaslah bahwa semua yang dilihat dengan matajasmani bersifat sementara. Selama mata jasmani berfungsi, kita dapat melihat dunia. Bila mereka menjadi tidak berfungsi, kita tidak dapat melihat apa-apa. Akan tetapi, ada sesuatu yang dapat dilihat, baik dengan mata terbuka ataupun terpejam.Itulah Tuhan.Tuhan tidak berubah dan abadi. Tuhan tidak dilahirkan atau mati.Sesungguhnya umat manusia adalah perwujudan prinsip ketuhanan tersebut.
Pertama-tama kita harus menyelidiki identitas kita yang sejati adalah kasih. Kasih ada dalam segala nama dan wujud. Kasih itu abadi, tidak mendua, dan penuh kebahagiaan. Manusia bersifat pilih kasih dalam memberikan cinta kasihnya; ia melimpahkannya kepada mereka yang dekat dan disayanginya, tetapi ia bersikap tidak peduli kepada yang lainnya. Selama ia tenggelam dalam perasaan dualistis. Manusia yang merasa dirinya berbeda dari makhluk lain adalah orang yang setengah buta. Manusia harus berusaha menyamakan dirinya dengan orang atau makhluk lain dan menghayati kemanunggalan advaita dharshanam jnanam. Artinya penghayatan kemanunggalan adalah kebijaksanaan tertinggi.
Pahami kebenaran, bahwa semua berada di dalam diri dan ada dalam semuanya.Atma yang bersemayam dalam diri sama dengan atma yang bersemayam dalam makhluk lain, berusahalah melihat kemanunggalan ini dengan pandangan batin dan hayati kebahagiaan jiwa.
Ada seekor anjing yang mencari makan. Ia menemukan sepotong tulang kering dan mulai menggigitnya.Setelah beberapa waktu, sepotong serpihan tulang itu menusuk gusinya dan darah mulai mengalir. Anjing itu dengan senang menjilati darahnya sendiri dan mengira darah itu merembes keluar dari tulang yang digigitnya.
Demikian pula manusia melupakan kebahagiaan jiwa yang merupakan pembawaannya dan mempunyai pandangan yang keliru mengira, bahwa ia dapat memperoleh kebahagiaan dari dunia luar. Sesungguhnya segala hal yang menurut perkiraannya dialaminya di dunia luar berasal dari dalam dirinya sendiri. Sakit atau senang merupakan hasil imajinasinya sendiri. Ada dikatakan, "Kesenangan merupakan interval di antara dua penderitaan dan begitu sebaliknya." Senang dan sakit itu berada di dalam diri, bukan di luar. Segala hal yang dilihat hanyalah cerminan, kenyataannya yang sejati berada di dalam diri.Karena itulah, maka Vedanta menghimbau manusia” ketahuilah dirimu sendiri.
sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:rQFLJG6-NHQJ:majalahhinduraditya.blogspot.com/2011/05/kesenangan-indra-itu-ibarat-anjing.html+&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a
No comments:
Post a Comment