Om Namo Narayanaya.
Om Buddhagni-devaya namah.
Sejak dahulu kala, para leluhur bangsa Indonesia telah mengenal cara hidup vegetarian. Tetapi, pada umumnya pengertian/pengenalan terhadap vegetarian tersebut adalah sebagai cara orang-orang untuk mematangkan “ilmu” tertentu. Bahkan sekarang pun orang masih tetap beranggapan bahwa cara hidup vegetarian adalah cara yang “tidak normal”, yang hanya dilakukan oleh orang-orang tua atau beberapa anak muda yang sedang “mematangkan ilmu”, sedang mempelajari kerohanian, dan lain-lain semacam itu.
Dalam masyarakat Hindu di Indonesia, hanya sebagian kecil umat yang telah menyadari ke-”alami”-an cara hidup vegetarian sebagai seorang pemeluk agama Hindu. Mereka adalah orang-orang yang terkelompok dalam berbagai perkumpulan dan organisasi agama atau kerohanian. Di dalam kelompok ini pun sebagian besar mereka masih beranggapan bahwa mereka melaksanakan vegetarian hanyalah sebagai persyaratan ajaran dalam perkumpulan atau organisasi mereka. Mereka belum melihat ke-”alami”-annya sebagai seorang umat manusia, atau sebagai seorang pemeluk agama Hindu untuk melaksanakan vegetarian.
Agama Hindu adalah agama yang sangat sederhana dan alami. Tetapi, walaupun demikian, ia tetap sangat sulit dimengerti oleh mereka yang menjauh dari kesederhanaan dan kealamian. Kesederhanaan adalah sangat indah, dan kealamian adalah sangat wajar. Orang-orang tidak lagi menyadari bahwa keindahan dan kewajaran sangat diperlukan dalam hidup ini. Sebab, ia akan mengantarkan orang kepada kebahagiaan yang sejati, dan bukan kesukaan biasa, yang juga dapat dirasakan oleh makhluk-makhluk lain seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Keutamaan dalam hal makan memakan sangat ditekankan dalam agama Hindu. Makan memakan bukan hanya bertujuan memelihara dan menjaga kesehatan badan tetapi makan memakan juga adalah sebuah sadhana bagi umat Hindu dalam rangka mengamalkan ajaran-ajaran suci untuk mencapai tujuan hidup yang sejati, bebas dari kesengsaraan duniawi (Moksa).
Mengenai cara hidup vegetarian, sering umat terpelajar dalam masyarakat Hindu pun mengabaikannya, dengan memasukkan teori-teori menarik yang menaburkan janji-janji kesehatan, sambil menolak pendapat serta hasil penyelidikan para dokter dan para ahli yang telah dilakukan bertahun-tahun dengan bersusah payah dan teliti.
Adalah tidak apa-apa jika orang menolak vegetarian dan meneruskan memakan daging. Tetapi, adalah hal yang tidak sepatutnya terjadi jika seseorang mulai; mencampuri cara hidup orang yang melaksanakan vegetarian, menakut-nakuti mereka dengan alasan kesehatan, kekuatan badan dan kecerdasan otak, melarang orang melaksanakan hidup vegetarian dengan mengatakan cara hidup vegetarian adalah cara yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu, dan lain-lain alasan.
Kecendrungan-kecendrungan seperti ini di kalangan orang-orang terpelajar semestinya sudah tidak ada lagi, sebab selain ia merugikan orang lain ia juga merugikan diri sendiri. Paling tidak, “orang-orang terpelajar” tersebut akan menjadi “tidak terpelajar” di hadapan orang-orang terpelajar. Sedangkan sifat-sifat demikian adalah sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Berikut kita akan melihat keindahan ajaran-ajaran agama Hindu kita tentang hidup vegetarian.
Ahimsa Parama Dharma
Ahimsa berarti tanpa kekerasan, dan parama berarti tertinggi. Sedangkan kata dharma berarti kewajiban-kewajiban suci, atau, seperti halnya dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia juga meneri- ma terjemahannya sebagai agama. Dengan demikian Ahimsa Paramo Dharmah dapat diartikan sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama atau pelaksanaan agama yang paling tinggi.
Hal ini ditegaskan berkali-kali di berbagai kitab suci Veda dengan istilah-istilah yang sama atau juga dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti Ahimsayah paro dharmah,[1] Ahimsa laksano dharmah,[2] Ahimsa parama tapa, Ahimsa parama satya,[3] dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa agama Hindu kita menaruh perhatian yang sangat penting pada ajaran tanpa kekerasan dan cara hidup vegetarian.
Kembali kita melihat penekanan paragraf di atas, bahwa Ahimsa parama dharma berarti pelaksanaan kewajiban-kewajiban suci yang tertinggi, atau pelaksanaan ajaran agama Hindu yang termurni atau tertinggi. Penjelasan ini secara langsung telah berarti bantahan terhadap anggapan-anggapan negatif terhadap para pelaku Ahimsa dan vegetarian. Apalagi jika mempunyai kesempatan yang lebih lagi untuk melihat bukti-bukti keagungan ajaran Ahimsa dan vegetarian dalam literatur Veda, orang akan dipaksa menundukkan kepala diiringi rasa kagum terhadap ajaran-ajaran kitab suci Veda kita.
Alasan lain Ahimsa disebut sebagai Parama Dharma juga adalah karena Ahimsa dan vegetarian merupakan pintu gerbang pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan (Ahara-suddhau …. sarva-granthinam vipra moksah).[4]
Bukan hanya dalam literatur Veda kita dapat jumpai ajaran indah tentang Ahimsa dan vegetarian tetapi juga dalam lontar-lontar serta tradisi warisan leluhur kita.
Lontar Mahesvari Sastra menyebutkan: “Apan yan tan karaksang Ahimsa brata, maka nimitta kroddha, moha, mana, mada, matsarya, nguni-unin makanimittang kama, yeka panten dadanya”,[5] sebab jika ajaran-ajaran brata Ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, khayalan, kebanggaan, kebingungan, rasa iri hati, dan bahkan ia dapat menyebabkan tumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, yaitu musuh di dalam diri setiap makhluk hidup yang paling sulit dikendalikan (kama-rupa durasadam).
Selanjutnya lontar Mahesvari Sastra menunjukkan daftar nama-nama binatang, burung dan/atau bangsa burung yang tidak boleh dimakan. Khususnya bagi para pendeta, berkali-kali diperingatkan: “Tan bhaksya ika de sang siddhanta brata, tan bhaksya nika, tan bhukti nika”, — tidak boleh dimakan semua itu oleh para pendeta yang ingin mantap dalam pantangan-pantangan suci.
Kadang-kadang, orang berpendapat bahwa hanya para Vaisnava sajalah yang melaksanakan vegetarian atau pantangan-pantangan daging, ikan (telor, terasi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain). Di Bali lontar Vrhaspati Tattva dikenal sebagai lontar ke-Saiva-an. Ternyata, menurut lontar ini, para Saiva pun perlu melaksanakan ajaran Ahimsa, tidak membunuh-bunuh dan tentu pula tidak memakannya (Ahimsa ngaranya tan pamati-mati)[6].
Ajaran Saiva juga mengajarkan pengikutnya untuk maju terus dalam kerohanian. Semakin maju seseorang di dalam kerohanian biasanya semakin maju pula ia dalam hal berpantangan dan pelaksanaan kesucian. Lebih-lebih bagi mereka yang telah mampu mencapai meditasi tingkat pendeta, menurut lontar ajaran leluhur kita, adalah merupakan keharusan untuk meningkatkan kesucian dan tidak membunuh-bunuh makhluk lain (kadi buddhi sang pandita, sahisnu tan prana-ghata …. nguniweh tan hingsa-karma tan pamati-mati)[7]. Bahkan, ada pula ajaran-ajaran leluhur kita di dalam lontar bernada amat keras, seperti misalnya lontar kekawin Astikasraya dan kekawin Arjuna Vivaha.
(bersambung)
_____________________
Referensi
[1]dikutip dari Yogasara Samgraha.
[2]Resi Canakya dalam Canakya Sutra Sangraha.
[3]Wejangan Resi Bhisma kepada Yudhisthira dalam Mahabharata.
[4]Chandogya Upanisad.
[5]Lontar Mahesvari Sastra 2b.
[6]Vrihaspatii Tattva60.
[7]lihat Tantri Kamandaka.
Sumber: HDNet
sumber : http://www.hindu-dharma.org/2010/09/pandangan-hindu-terhadap-vegetarian/
Om Buddhagni-devaya namah.
Sejak dahulu kala, para leluhur bangsa Indonesia telah mengenal cara hidup vegetarian. Tetapi, pada umumnya pengertian/pengenalan terhadap vegetarian tersebut adalah sebagai cara orang-orang untuk mematangkan “ilmu” tertentu. Bahkan sekarang pun orang masih tetap beranggapan bahwa cara hidup vegetarian adalah cara yang “tidak normal”, yang hanya dilakukan oleh orang-orang tua atau beberapa anak muda yang sedang “mematangkan ilmu”, sedang mempelajari kerohanian, dan lain-lain semacam itu.
Dalam masyarakat Hindu di Indonesia, hanya sebagian kecil umat yang telah menyadari ke-”alami”-an cara hidup vegetarian sebagai seorang pemeluk agama Hindu. Mereka adalah orang-orang yang terkelompok dalam berbagai perkumpulan dan organisasi agama atau kerohanian. Di dalam kelompok ini pun sebagian besar mereka masih beranggapan bahwa mereka melaksanakan vegetarian hanyalah sebagai persyaratan ajaran dalam perkumpulan atau organisasi mereka. Mereka belum melihat ke-”alami”-annya sebagai seorang umat manusia, atau sebagai seorang pemeluk agama Hindu untuk melaksanakan vegetarian.
Agama Hindu adalah agama yang sangat sederhana dan alami. Tetapi, walaupun demikian, ia tetap sangat sulit dimengerti oleh mereka yang menjauh dari kesederhanaan dan kealamian. Kesederhanaan adalah sangat indah, dan kealamian adalah sangat wajar. Orang-orang tidak lagi menyadari bahwa keindahan dan kewajaran sangat diperlukan dalam hidup ini. Sebab, ia akan mengantarkan orang kepada kebahagiaan yang sejati, dan bukan kesukaan biasa, yang juga dapat dirasakan oleh makhluk-makhluk lain seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Keutamaan dalam hal makan memakan sangat ditekankan dalam agama Hindu. Makan memakan bukan hanya bertujuan memelihara dan menjaga kesehatan badan tetapi makan memakan juga adalah sebuah sadhana bagi umat Hindu dalam rangka mengamalkan ajaran-ajaran suci untuk mencapai tujuan hidup yang sejati, bebas dari kesengsaraan duniawi (Moksa).
Mengenai cara hidup vegetarian, sering umat terpelajar dalam masyarakat Hindu pun mengabaikannya, dengan memasukkan teori-teori menarik yang menaburkan janji-janji kesehatan, sambil menolak pendapat serta hasil penyelidikan para dokter dan para ahli yang telah dilakukan bertahun-tahun dengan bersusah payah dan teliti.
Adalah tidak apa-apa jika orang menolak vegetarian dan meneruskan memakan daging. Tetapi, adalah hal yang tidak sepatutnya terjadi jika seseorang mulai; mencampuri cara hidup orang yang melaksanakan vegetarian, menakut-nakuti mereka dengan alasan kesehatan, kekuatan badan dan kecerdasan otak, melarang orang melaksanakan hidup vegetarian dengan mengatakan cara hidup vegetarian adalah cara yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu, dan lain-lain alasan.
Kecendrungan-kecendrungan seperti ini di kalangan orang-orang terpelajar semestinya sudah tidak ada lagi, sebab selain ia merugikan orang lain ia juga merugikan diri sendiri. Paling tidak, “orang-orang terpelajar” tersebut akan menjadi “tidak terpelajar” di hadapan orang-orang terpelajar. Sedangkan sifat-sifat demikian adalah sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Berikut kita akan melihat keindahan ajaran-ajaran agama Hindu kita tentang hidup vegetarian.
Ahimsa Parama Dharma
Ahimsa berarti tanpa kekerasan, dan parama berarti tertinggi. Sedangkan kata dharma berarti kewajiban-kewajiban suci, atau, seperti halnya dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia juga meneri- ma terjemahannya sebagai agama. Dengan demikian Ahimsa Paramo Dharmah dapat diartikan sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama atau pelaksanaan agama yang paling tinggi.
Hal ini ditegaskan berkali-kali di berbagai kitab suci Veda dengan istilah-istilah yang sama atau juga dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti Ahimsayah paro dharmah,[1] Ahimsa laksano dharmah,[2] Ahimsa parama tapa, Ahimsa parama satya,[3] dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa agama Hindu kita menaruh perhatian yang sangat penting pada ajaran tanpa kekerasan dan cara hidup vegetarian.
Kembali kita melihat penekanan paragraf di atas, bahwa Ahimsa parama dharma berarti pelaksanaan kewajiban-kewajiban suci yang tertinggi, atau pelaksanaan ajaran agama Hindu yang termurni atau tertinggi. Penjelasan ini secara langsung telah berarti bantahan terhadap anggapan-anggapan negatif terhadap para pelaku Ahimsa dan vegetarian. Apalagi jika mempunyai kesempatan yang lebih lagi untuk melihat bukti-bukti keagungan ajaran Ahimsa dan vegetarian dalam literatur Veda, orang akan dipaksa menundukkan kepala diiringi rasa kagum terhadap ajaran-ajaran kitab suci Veda kita.
Alasan lain Ahimsa disebut sebagai Parama Dharma juga adalah karena Ahimsa dan vegetarian merupakan pintu gerbang pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan (Ahara-suddhau …. sarva-granthinam vipra moksah).[4]
Bukan hanya dalam literatur Veda kita dapat jumpai ajaran indah tentang Ahimsa dan vegetarian tetapi juga dalam lontar-lontar serta tradisi warisan leluhur kita.
Lontar Mahesvari Sastra menyebutkan: “Apan yan tan karaksang Ahimsa brata, maka nimitta kroddha, moha, mana, mada, matsarya, nguni-unin makanimittang kama, yeka panten dadanya”,[5] sebab jika ajaran-ajaran brata Ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, khayalan, kebanggaan, kebingungan, rasa iri hati, dan bahkan ia dapat menyebabkan tumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, yaitu musuh di dalam diri setiap makhluk hidup yang paling sulit dikendalikan (kama-rupa durasadam).
Selanjutnya lontar Mahesvari Sastra menunjukkan daftar nama-nama binatang, burung dan/atau bangsa burung yang tidak boleh dimakan. Khususnya bagi para pendeta, berkali-kali diperingatkan: “Tan bhaksya ika de sang siddhanta brata, tan bhaksya nika, tan bhukti nika”, — tidak boleh dimakan semua itu oleh para pendeta yang ingin mantap dalam pantangan-pantangan suci.
Kadang-kadang, orang berpendapat bahwa hanya para Vaisnava sajalah yang melaksanakan vegetarian atau pantangan-pantangan daging, ikan (telor, terasi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain). Di Bali lontar Vrhaspati Tattva dikenal sebagai lontar ke-Saiva-an. Ternyata, menurut lontar ini, para Saiva pun perlu melaksanakan ajaran Ahimsa, tidak membunuh-bunuh dan tentu pula tidak memakannya (Ahimsa ngaranya tan pamati-mati)[6].
Ajaran Saiva juga mengajarkan pengikutnya untuk maju terus dalam kerohanian. Semakin maju seseorang di dalam kerohanian biasanya semakin maju pula ia dalam hal berpantangan dan pelaksanaan kesucian. Lebih-lebih bagi mereka yang telah mampu mencapai meditasi tingkat pendeta, menurut lontar ajaran leluhur kita, adalah merupakan keharusan untuk meningkatkan kesucian dan tidak membunuh-bunuh makhluk lain (kadi buddhi sang pandita, sahisnu tan prana-ghata …. nguniweh tan hingsa-karma tan pamati-mati)[7]. Bahkan, ada pula ajaran-ajaran leluhur kita di dalam lontar bernada amat keras, seperti misalnya lontar kekawin Astikasraya dan kekawin Arjuna Vivaha.
(bersambung)
_____________________
Referensi
[1]dikutip dari Yogasara Samgraha.
[2]Resi Canakya dalam Canakya Sutra Sangraha.
[3]Wejangan Resi Bhisma kepada Yudhisthira dalam Mahabharata.
[4]Chandogya Upanisad.
[5]Lontar Mahesvari Sastra 2b.
[6]Vrihaspatii Tattva60.
[7]lihat Tantri Kamandaka.
Sumber: HDNet
sumber : http://www.hindu-dharma.org/2010/09/pandangan-hindu-terhadap-vegetarian/
No comments:
Post a Comment